Tiap hari, ada aja bahan ribut atau samsak hidup di media sosial. Kalau kemarin polisi, sekarang Satpol PP yang jadi samsak. Pasalnya, di lini masa Twitter beredar rekaman video sekelompok petugas Satpol PP sedang “menghalau” seekor anjing di salah satu lokasi wisata (halal) di Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Dan, ini yang saya nggak tahu bagaimana kronologisnya, anjing itu mati. Yo jelas ngamuk, lah, netizen.
Sebetulnya, bukan kali ini saja petugas Satpol PP dikecam oleh masyarakat. Kalau boleh mundur ke belakang, banyak juga aksi-aksi “heroik” petugas instansi tersebut yang berujung polemik. Masih ingat, kan, ketika petugas Satpol PP Kota Serang menyita dagangan warung nasi Bu Saeni? Atau aksi petugas Satpol PP Kota Pontianak yang mematahkan gitar ukulele milik pengamen yang terkena razia? Atau yang paling anyar adalah pemukulan petugas Satpol PP Kabupaten Gowa terhadap ibu hamil saat razia PPKM? Dan, kalau mau disebutkan, sebetulnya masih banyak lagi kasus-kasus yang serupa.
Sek sek, memangnya sebejat itukah mereka? Apakah tugas mereka adalah memukuli sipil?
Sebagai sesama abdi negara, saya sering berinteraksi dengan mereka. Bahkan, sempat bertetangga dekat dengan petugas instansi tersebut ketika saya ditempatkan di Sumatera Utara beberapa tahun silam. Setahu saya, sebenarnya mereka itu adalah orang-orang baik. Kalau mereka terlihat garang dan galak di lapangan, yaaa, sebetulnya itu tergantung situasi dan kondisi. Tugas mereka, kan, menegakkan Peraturan Daerah (Perda), menyelenggarakan ketertiban, dan menyelenggarakan perlindungan buat masyarakat. Kalau mereka galak, harusnya ada sebabnya. Harusnya loh ya.
Saya malah sempat berpikir. Jangan-jangan stigma buruk Satpol PP selama ini adalah produk framing media. Bisa jadi, kan? Misalnya mereka melakukan razia terhadap pedagang kaki lima yang buka lapak di trotoar. Sudah diingatkan sekali dua kali, pedagangnya tetap bandel. Yo wes, tak angkut barang dagangannya. Pedagang nggak terima, lalu terjadilah konflik dengan petugas itu tadi. Nah, yang diberitakan di media, ya, konfliknya itu. Bodo amat dengan latar belakang, penyebab, atau kronologis kejadian. Sing penting viral beritanya. Akhirnya, stigma buruk melekat pada meski mereka sudah bertindak sesuai SOP.
Lebih jauh lagi, karena Satpol PP sudah punya stigma buruk di mata masyarakat, akhirnya mereka dijadikan tameng atas lemahnya peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Misalnya, pemerintah membuat peraturan larangan berdagang di trotoar dengan alasan ketertiban.
Akan tetapi, pemerintah sendiri nggak menawarkan alternatif tempat berdagang yang strategis. Ya, pasti pada protes, lah, para pedagang itu. Siapa juga yang mau berdagang di tempat sepi macam kuburan? Nah, biar para pedagang tadi nggak banyak bacot, maka pemerintah menurunkan petugas Satpol PP sebagai eksekutor untuk membungkam pedagang dengan dalih menjaga ketertiban. Kepalang tanggung punya stigma buruk, soalnya.
Lho, hal itu bisa terjadi loh. Udah bukan rahasia kalau ada yang dikorbankan dan dijadikan kambing hitam agar suatu urusan selesai di negeri ini. Fungsinya ya buat menggeser opini publik atau pengalihan isu. Masalah sebenarnya nggak terdeteksi, geger yang nggak substansial malah jadi perhatian utama.
Meski demikian, usaha dan kerja keras para petugas Satpol PP selama ini sepertinya perlu diapresiasi. Seenggaknya mereka sudah menjalankan tugas negara sesuai dengan SOP. Tapi, kalau kenyataan di lapangan masih ditemui petugas Satpol PP yang banyak tingkah, laporkan saja. Itu hanyalah kelakuan oknum yang nggak bertanggungjawab.
Tapi, kalau oknum yang dihasilkan kebetulan banyak, berarti ada yang salah. Entah dari SOP, dari pengarahan, atau memang kebetulan yang direkrut kok ndilalah kayak gitu.
Kalau udah begitu, kita punya orang yang bisa disalahkan, yaitu… Ole. Nggak lucu ya? Maaf.
Sumber gambar: Pixabay