Kenapa segitunya sih sama warung kopi?
Salah satu tanda kesuksesan dan keberhasilan mahasiswa ketika sudah kembali ke kampung halaman adalah ketika mereka sudah mempunyai kantor, berangkat pagi, pulang sore, berseragam rapi, dan mempunyai gaji bulanan. Barangkali anggapan seperti itu masih saja diyakini oleh sebagian masyarakat. Padahal kadar keberhasilan tiap manusia tidak bisa digeneralisir sesempit itu.
Menjadi manusia yang pernah sekolah di wilayah perkotaan, apalagi sekolah hingga ke luar negeri, tentu akan menjadi sorotan masyarakat. Minimal ketika kembali ke kampung halaman, aktivitasnya akan dipertanyakan. Entah pekerjaannya di mana? Mengabdi di lembaga apa? Atau nganggurnya bersembunyi di mana?
Tapi bagi sebagian mantan mahasiswa alias sarjana yang cuek-cuek saja dengan anggapan masyarakat, ia akan dengan santainya menjalani hidup, penuh rasa syukur, cengengesan sambil ngopi dan main game. Mungkin jenis sarjana yang ini memegang prinsip yang diajarkan Gus Dur, “Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran.”
Singkat kata, warung kopi adalah tempat persembunyian paling nyaman bagi beban sosial yang melekat pada dirinya. Pertanyaannya adalah sampai kapan masyarakat kita terutama yang berada di wilayah pedesaan akan tetap menganggap bahwa nongkrong di warung kopi adalah aktivitas yang tak berfaedah? Sampai kapan nongkrong di warung kopi dianggap sebagai aktivitas pengangguran? Tidakkah masyarakat membuka cakrawala berfikirnya bahwa warung kopi adalah tempat kerja paling samar bagi para pelaku industri kreatif?
Mengapa saya menyebut demikian? Sebab, banyak sekali saya temui orang-orang di warung kopi bukan untuk sekadar bermain game, ngerumpi, main kartu, dan aktivitas tak berfaedah lainnya. Akan tetapi, mereka diam-diam justru fokus merampungkan projek kerjanya di dunia maya, yang mungkin sulit dipahami oleh orang di wilayah pedesaan.
Bahkan aktivitas nge-game saja kalau diseriusi ternyata juga menghasilkan. Saya berkata seperti ini karena ada beberapa kawan yang kerjaannya hanya bermain game, tapi siapa sangka, ternyata dia bermain untuk orang lain. Dia adalah “joki” game online. Dan hasil kerjanya ini bisa untuk membiayai hidup dan kuliahnya selama berada di perantauan.
Ada juga sebagian kawan saya yang nyaris tiap hari nongkrong di warung kopi hanya untuk berdiam diri di depan laptop, eh ternyata diam-diam kesibukannya adalah menjadi tukang desain dan tukang posting di sebuah perusahaan Lowongan Kerja yang ia rintis sejak awal menjadi mahasiswa. Dari aktivitasnya yang hanya berdiam diri di warung kopi itu, dia sering mentraktir kawan-kawannya ketika makan bareng.
Saya juga punya kawan yang menjadi penerjemah dan penulis buku. Aktivitasnya ya hanya nongkrong di warung kopi. Tapi siapa sangka, mereka ternyata memiliki royalti tidak sedikit dari banyak buku-buku yang mereka terjemahkan dan mereka tulis. Apalagi, di zaman revolusi industri 4.0, ini merupakan lahan basah bagi para konten kreator dan influencer yang sekali posting di akun media sosial atau channel Youtube, penghasilannya bisa melebihi kerja satu bulan di bawah perintah atasan.
Banyak sekali jenis pekerjaan yang tampak “samar-samar” dan terlihat sepele tapi pendapatannya… mohon maaf, bisa jadi lebih banyak dari pekerjaan formal yang berangkat pagi pulang sore, berseragam rapi, dan berkantor. Intinya pekerjaan yang dianggap sebagai profesi ideal.
Beberapa contoh di atas tentu tidak sepenuhnya mewakili banyaknya ruang kerja kreatif yang sampai hari ini belum diketahui oleh masyarakat di wilayah pedesaan. Masih banyak lagi aktivitas remeh lainnya yang bisa dilakukan di balik bangku warung kopi. Aktivitas yang menunjukkan bahwa tidak selamanya nongkrong di warung kopi itu sama artinya dengan pengangguran.
Alasan saya menulis tema ini lantaran ketidakrelaan saya terhadap nasib sahabat dekat saya yang lamarannya ditolak karena menjawab bahwa aktivitas sehari-harinya hanya nongkrong di warung kopi sambil online. Bagi calon mertuanya, ia tidak yakin anaknya bisa dinafkahi oleh tukang online. Apalagi onlinenya pakai wifi di warung kopi lagi. Seolah-olah, untuk sekadar membeli kuota internet saja tidak bisa. Lantas, bagaimana mau menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarganya kelak?
Sungguh sayang sekali. Andai calon mertuanya tahu bahwa revolusi industri berdampak luar biasa bagi pelaku industri kreatif berbasis online, mungkin ia akan tercengang.
Seseorang yang tak punya sepetak tanah untuk bercocok tanam, tak punya kantor untuk bekerja, atau tak punya toko untuk berjualan pun, di kehidupan yang serba online ini bisa mendapatkan rezeki yang halal, berkah, bahkan bisa menggaji partner kerjanya hanya dengan memiliki satu akun game, satu website, satu platform startup, satu akun sosial media, atau satu channel YouTube.
Jadi, sampai kapan nongkrong di warung kopi dianggap nganggur?
BACA JUGA Nyangkruk: Ngopi itu Ngobrol atau Ngopi Saja Sendiri atau tulisan Ali Adhim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.