Sambiroto, Sebaik-baiknya Daerah untuk Ditinggali di Semarang

Semarang Mungkin Kota yang Menyebalkan, tapi Meninggalkannya Tidak Pernah Mudah Mojok.co sambiroto

Semarang Mungkin Kota yang Menyebalkan, tapi Meninggalkannya Tidak Pernah Mudah (unsplash.com)

Jika kalian merasa Semarang sudah tak layak untuk ditinggali, kalian mungkin belum tahu Sambiroto, daerah terbaik untuk ditinggali di Semarang

Membicarakan Semarang memang tidak ada habisnya. Kota yang terletak di bagian utara Pulau Jawa tersebut memang senantiasa mengundang perdebatan. Ada yang bilang bahwa kota dengan simbol alun-alun ikonik Simpang Lima itu menyebalkan. Namun, tak sedikit pula yang berpendapat jika Semarang berhasil membuat siapa saja yang sempat singgah selalu terkenang.

Sudah bukan rahasia apabila Semarang identik dengan masalah rob dan banjir, sampai-sampai terpatri menjadi secarik kalimat legendaris yang terselip di lagu Jangkrik Genggong. Citra buruk Ibu Kota Jawa Tengah ini masih diperburuk lagi dengan desas-desus biaya hidup yang tinggi. Sangat mungkin, berita miring semacam itulah yang membuat orang merasa Semarang adalah tempat yang mengesalkan lantas enggan tinggal di sana.

Kota Semarang terbilang sangat luas. Menjatuhkan vonis buruk lantaran pengalaman kurang baik di satu daerah saja agaknya kurang bijak. Andai saja mereka tahu sejumlah daerah tertentu di Semarang yang nyaman ditinggali, bisa jadi opini negatif seperti itu akan berubah. Daerah Sambiroto, misalnya.

Letak geografis yang menguntungkan

Sambiroto sebenarnya adalah sebuah nama kelurahan di Kota Atlas yang masih termasuk dalam cakupan Kecamatan Tembalang dengan luas sekitar 318 hektar. Tembalang berkorelasi dengan dataran tinggi di Semarang. Namun, Sambiroto tidak benar-benar terletak persis di Semarang atas, meski sebagian wilayahnya terdiri dari perbukitan landai. Faktor inilah yang menjadi salah satu alasan cukup kuat bahwa Sambiroto merupakan tempat yang direkomendasikan untuk didiami di Semarang.

Berada di perbatasan antara Semarang atas dan bawah membuat para pemukim di lingkungan ini mendapat keunggulan dari segi mobilitas. Mau bepergian ke daerah atas maupun bawah, jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Hal ini juga pada akhirnya  berimbas pada penghematan waktu dan ongkos.

Contohnya saja untuk menuju ke Lapangan Pancasila, Simpang Lima, waktu tempuh yang dibutuhkan hanya 23 menit apabila berkendara menggunakan mobil. Sementara, guna menyambangi Patung Pangeran Diponegoro, yang lebih tersohor dengan sebutan ‘Patung Kuda Undip’ sebagai simbol universitas negeri ternama di Semarang, rata-rata waktu yang diperlukan kurang lebih adalah 27 menit saja. Jika hendak melancong ke luar kota via tol dari daerah Sambiroto pun cukup mudah dan cepat. Gerbang Tol Banyumanik dapat dijangkau dalam waktu kurang dari setengah jam. Di sisi lain, dalam kisaran waktu seperempat jam saja, seseorang sudah sampai di Gerbang Tol Gayamsari.

Tidak berhenti sampai di situ. Penduduk di sekitar wilayah Sambiroto juga tidak terlalu khawatir ketika musim hujan tiba. Jauh dari pantai dan masih banyak area resapan membuat kawasan Sambiroto cenderung bebas dari ancaman banjir.

Baca halaman selanjutnya: Daerah pinggiran Semarang yang …

Daerah pinggiran Semarang yang kaya akan fasilitas

Sambiroto memang daerah pinggiran. Akan tetapi, status itu tidak lalu membuat penyediaan fasilitas di lingkungan tersebut menjadi terabaikan. Pom bensin, rumah sakit, universitas, dan sekolah ternama berdiri di seputar kawasan tersebut. Selain dikelilingi oleh satu rumah sakit umum dan dua rumah sakit swasta, wilayah Sambiroto dilengkapi pula dengan rumah sakit khusus gigi.

Perihal kebutuhan nongkrong juga tak perlu dicemaskan oleh mereka yang tinggal di Sambiroto. Sederet waralaba kafe lokal dan working space siap sedia menjadi jujukan mengisi hari. Baru-baru ini saja, franchise makanan siap saji seperti McDonalds dan KFC juga mulai beroperasi 24 jam sehingga masyarakat tak perlu khawatir kelaparan tengah malam.

Fenomena masuknya beberapa brand besar dan melimpahnya fasilitas publik membuktikan bahwa Sambiroto menyimpan potensi dari sudut pandang bisnis. Fakta ini secara tidak langsung memvalidasi bahwa daya beli penduduk setempat cukup tinggi. Oleh karena itu, kesempatan ini dapat menjadi landasan kuat untuk tidak hanya tinggal, melainkan juga meraup cuan dari berbisnis.

Biaya hidup yang masih terjangkau

Dalam benak umum, hidup di Semarang itu mahal. Melansir dari Kompas, Kota Lumpia menduduki peringkat ke-5 terkait kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bekasi, dan Depok. Pernyataan tersebut tidak salah, tetapi juga tidak seratus persen benar.

Banyak variabel yang berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran seseorang, tidak terkecuali pemilihan tempat tinggal. Bermukim di Sambiroto memungkinkan seseorang menekan biaya hidup, bahkan mungkin hampir sama dengan mereka yang tinggal di daerah Kabupaten Semarang. Ingat, biaya hidup berbeda dengan gaya hidup.

Banyak penjual sayur keliling dengan gerobak maupun di emperan yang menjajakan dagangannya dengan harga murah meriah di seputar Sambiroto. Pedagang kaki lima jajanan seharga lima ribuan juga semangat meramaikan jalanan semenjak sore hari. Menikmati seporsi nasi goreng atau ayam geprek dengan merogok kocek antara sepuluh sampai lima belas ribu pun bukan sesuatu yang mustahil diperoleh di Sambiroto.

Tak cuma urusan perut, harga sewa kamar kos berikut perabot standar dengan kamar mandi dalam sebesar 500 ribuan masih banyak dijumpai. Kalau boleh jujur, biaya hidup di Jalan Kaliurang, Jogjakarta jauh lebih tinggi ketimbang biaya hidup di Sambiroto, Semarang. Ironisnya, Jogja malah sering digadang-gadang sebagai kota yang ramah kantong untuk keputusan menetap.

Semarang tidak seburuk itu

Setidaknya, tiga argumen di atas akan membuka mata masyarakat luas bahwa Semarang tidak semengerikan dan semenjengkelkan yang disampaikan kebanyakan orang. Opini di atas tentu saja bukan omong kosong belaka. Sepuluh tahun tinggal di Kota Pelajar yang erat dengan romantisasi hidup murah nyatanya tak kuat mengekang saya untuk berdomisili lebih lama di sana. Justru, bertempat tinggal di Sambiroto seolah menemukan hidden gem yang membuat saya yakin menghabiskan sisa hidup di Semarang.

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Semarang Mungkin Kota yang Menyebalkan, tapi Meninggalkannya Tidak Pernah Mudah 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version