Saling Berebut Titel Paling Indie, Buat Apa, sih?

Bukan Lebih Diterima, Nasib Musik Indie Masih Sama Sejak Dulu terminal mojok.co

Bukan Lebih Diterima, Nasib Musik Indie Masih Sama Sejak Dulu terminal mojok.co

Jika melihat bagaimana dinamika perkembangan musik di Indonesia sekarang ini, kita jelas patut untuk berbangga diri. Banyak bermunculan musisi-musisi baru yang semakin memeriahkan industri musik kita. Berbagai macam rilisan dari berbagai macam genre banyak bermunculan dan beraneka warna. Acara-acara musik juga banyak hadir tiap pekannya, mulai dari yang berskala kecil hingga acara berskala besar. Satu hal yang menjadi kunci: kemudahan teknologi. Inilah yang membuat segala sesuatu, mulai dari menjadi musisi, membuat lagu, dan membuat acara musik menjadi semakin mudah saat ini.

Namun, dari banyaknya yang terjadi di dunia musik kita, ada satu perdebatan yang seharusnya tidak terjadi. Ada semacam perdebatan di beberapa kalangan penikmat musik: siapa di antara mereka (atau idola mereka) yang seleranya atau musiknya paling indie?

Oke, tunggu sebentar, kita mundur sejenak. Mungkin kita ingat perdebatan beberapa tahun sebelumnya (setidaknya 5-15 tahun sebelumnya) tentang musik indie dan musik mainstream (label besar). Perdebatan atau lebih tepatnya perbedaan ini seakan membuat jarak yang cukup jauh antara masing-masing musisi dan masing-masing penggemar. Titel-titel yang menempel juga aneh-aneh. Mulai dari musisi yang ada di ranah mainstream dianggap norak dan kampungan, atau musisi-musisi yang ada di ranah indie dianggap tidak jelas, begitu pula dengan fansnya.

Perdebatan ini akhirnya mereda beberapa tahun belakangan. Memudarnya jarak dan hilangnya batas-batas yang memisahkan ranah indie dan mainstream menjadikan dunia musik kita menjadi lebih dinamis dan kolaboratif. Penikmat musik juga sudah banyak yang mengerti apa definisi dari indie, yang sebenarnya lebih mengarah pada pergerakan, bukan pada genre.

Tapi ternyata, masih ada semacam perdebatan di dalamnya, tentang mereka-mereka yang merasa paling indie, dan ini jelas menjangkit di kalangan fans. Bukan hanya membuat ekosistem yang tidak menyenangkan, hal-hal semacam ini juga membiaskan lagi definisi mengenai frasa indie mengarah pada genre-genre tertentu, bukan lagi pada gerakan atau sikap.

Kalau boleh dibilang, munculnnya beberapa musisi baru menjadi “penyebab” adanya perdebatan ini. Kemunculan mereka jelas menciptakan ekosisitem baru. Sialnya, ada beberapa orang di dalamnya yang terjangkit penyakit sok indie tersebut. Watak-watak seperti itulah yang memberi pondasi sebuah pengakuan hingga perdebatan bahwa dia lah yang paling indie, hanya karena dia mendengarkan musisi tersebut. Atau dia yang merasa paling pertama dan paling lama mendengarkan musisi tersebut.

Saya terpaksa harus sebut beberapa nama musisi yang setidaknya sering disebut sebagai alasan ke-indie-an banyak orang. Ada nama .Feast, Hindia, Pamungkas, dan Ardhito Pramono. Saya pribadi tidak ada masalah dengan musisi-musisi yang saya sebutkan ini, musik mereka easy listening semua. Akan tetapi, bagaimana kelakuan fans mereka yang merasa sok indie hanya karena mereka fans musisi tersebut jelas membuat ekosistem menjadi kurang menarik.

Beberapa orang di dalam masing-masing basis penggemar saling berebut titel paling indie di antara mereka. Tidak tahu juga apa bentuk support mereka terhadap musisinya, entah itu selalu beli karyanya atau datang tiap kali manggung. Pokoknya, mereka merasa paling indie saja.

Hampir setiap hari, ada saja argumen-argumen di media sosial, mengenai perebutan pengakuan ini. Mulai dari pernyataan yang bilang, “…aku sudah basah, kalian baru nyemplung dengerin si A, bla bla bla…” sampai yang mencela-cela genre musik yang lain dan merasa musiknya atau musisi yang disukainya paling keren.

Apa sebenarnya yang mereka kejar dari berebut titel ini? Pengakuan dari orang lain, di-waro, di-notice idolanya, atau sekadar menghibur diri sendiri? Kalau sikap mereka yang seperti itu hanya mengejar pengakuan dari orang lain, harusnya mereka malu dengan orang-orang yang sudah dari dulu berkecimpung di pergerakan musik independen. Kalau berharap di-waro idolanya, saya rasa tidak mungkin, malah yang ada sikap mereka dianggap norak oleh idolanya sendiri. Kalau sekadar menghibur diri sendiri, saya cukup heran: kok, ada orang yang menghibur diri sendiri dengan sikap yang terlalu bodoh ini?

Lagian, buat apa juga bersikap seperti itu? Merasa paling indie? Merasa musiknya paling keren? Tidak perlu seperti itu. Tidak ada gunanya juga, malah kadang menjadi hal yang berdampak negatif terhadap musisi terkait. Daripada berebut titel seperti itu, mending kita support karyanya, beli album atau merchandise lainnya, dan datang ke konsernya. Support dengan cara itu saja, tidak perlu berlebihan. Kalau berlebihan, tidak membuat kalian jadi keren, malah jatuhnya jadi norak.

BACA JUGA Mengkritisi Anak Indie yang Tidak Tahu Arti Musik Indie atau tulisan Iqbal AR lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version