Saat Oligarki Media Mainstream Dihadang oleh Kekuatan Media Sosial Bersama Hashtagnya

oligarki

oligarki

Merespon ketidakstabilan politik di Indonesia belakangan ini yang disemarakkan dengan aksi-aksi jalanan yang dipelopori oleh tenaga terdidik-dalam hal ini mahasiswa-yang konon katanya atas nama keadilan membuat banyak orang mulai berlomba-lomba untuk turut ambil bagian di dalamnya. Saya malah salfok menyoroti bagaimana gilanya peran media dalam hubungan masyarakat, oligarki, dan pemerintah atau pengaruhnya dengan sosial-politik-ekonomi.

Masalahnya sih klise, tapi masih tetap menarik untuk di bahas. Bermodal ‘online‘, mustahil bagi kita untuk tidak menyadari bahwa kondisi perpolitikan Indonesia belakangan ini sedang mengalami fase yang bobrok tidak stabil akibat kepercayaan kalangan muda yang sedang kacau-kacaunya terhadap parlemen. Itu loh, mosi tidak percaya dari rakyat—mahasiswa—yang diberikan kepada DPR-nya sendiri. Negeri ini memang kadang-kadang lucu.

Pesatnya perkembangan media pemberitaan setelah berakhirnya masa orde baru yang diharapkan dapat menguatkan pilar demokrasi di Indonesia justru menjadi alat politisasi demi kepentingan kelompok tertentu. Sejauh ini, media-media arus utama menjadi lebih partisan akibat konsentrasi kepemilikan yang semakin menguat di ranah politik. Namun juga memiliki pengaruh yang sangat kuat di ruang-ruang redaksi turut menjadi elit politik—yang akan dengan mudah menggiring arah pemberitaan ke arah kepentingan oligarki yang menunggangi media tersebut. Kemudian saling berusaha memenuhi dominasi opini publik. Bahkan hubungannya tidak terbatas pada politik semata, namun erat hubungannya dengan ekonomi-politik.

Menurunnya kepercayaan masyarakat, terutama kalangan muda, terhadap konglomerasi media mainstream (arus utama) mendorong terbukanya alternatif media atau ruang publik yang lebih luas dan bebas. Misalnya, Komp*s dengan K*ompasiana-nya, Liputan 6 dengan C*tizen Jurnalism-nya, T*mpo dengan Ind*nesiana-nya, dan media sosial dengan kekuatan tagarnya. Namun, berbanding lurus juga dengan meningkatnya debat publik dan pemberitaan-pemberitaan tak berdasar atau lebih akrab disebut hoaks. Dewasa ini, sebagian kalangan muda bahkan sudah tak begitu akrab dengan benda yang kita sebut televisi maupun media pemberitaan seperti radio dan media cetak. Banyak diantaranya lebih senang memanfaatkan media sosial sebagai media utama untuk mengakses dan berbagi hoaks informasi.

Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa pada awalnya, pemberitaan-pemberitaan di media populer ini mengikuti pemberitaan arus utama, namun ketika lebih banyak platform atau ruang media publik yang dibuka untuk menyemarakkan perang opini di masyarakat, konglomerasi media oleh aktor-aktor oligarki di bangku-bangku pemerintahan sekaligus di meja redaksi tetap saja sulit mengalahkan people power bersama senjatanya, #trending. Kecepatan penyebaran informasi melalui sistem algoritma tagar di media sosial memang jauh lebih mudah mempengaruhi seseorang untuk turut bersuara atau mengekpresikan diri secara lebih bebas. Akhirnya, media populer pun menjadi lebih terpolarisasi mengikuti opini publik.

Kembali kepada kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi yang ke-empat, kita menyadari benar bahwa kekuatan media saat ini menjadi jauh sangat berkuasa dalam mempengaruhi pilar yang lain. Akibat kenyataan inilah, dalam beberapa kasus yang menyentil pers dan pelanggaran UU ITE menjadi lebih diperhatikan sejak era kepemimpinan Jokowi. Banyak yang berpendapat bahwa kekuasaan era Jokowi cenderung lebih memperhatikan media daripada sebelumnya-tentu setelah orde baru-ada juga yang berpendapat bahwa pemerintahan menjadi lebih sulit di kritik karena kita memiliki porsi yang sama besarnya untuk terseret ke sel penjara sekecil apapun keyboard gadget yang kita miliki.

Menilik kembali kasus Ananda Badudu dan Jurnalis Dandhy Dwi Laksono misalnya, dalam sekejab, tagar #BebaskanAnandaBadudu dan #BebaskanDandhy jadi tren di media populer twitter diikuti media lainnya. Keduanya di kenal sebagai influencer atau public figure yang memang memiliki banyak pengikut. Contoh lainnya adalah ketika masa kampanye hingga Pemilihan Umum presiden beberapa waktu yang lalu, debat publik dan ujaran kebencian di media menjadi melonjak tinggi.

Berdasarkan Siaran Pers No. 69/HM/KOMINFO/04/2019, Tim AIS berhasil mengidentifikasi sebanyak 453 hoaks hanya sepanjang Maret 2019 terkait isu politik menyasar pada isu-isu lainnya seperti kesehatan, kriminalitas, ras dan agama, penipuan, perdagangan, pendidikan hingga isu-isu internasional pun tak luput dari hoaks, sampai-sampai Tim AIS Kemkominfo harus mengerahkan 100 personil yang di dukung mesin AIS yang bekerja 24 jam 7 hari tanpa henti hanya untuk mengatasi ke-chaos-an di media populer. Tidak berhenti sampai di situ saja, akibat sudah tak terkendalinya pemberitaan-pemberitaan berbagai arah yang membuat resah, pemerintah sampai membatasi akses internet dalam kurun waktu tertentu~wahhh, kecepatan cahaya bisa-bisa kalah nih sama kecepatan penyebaran informasi oleh netizen.

Melawan polarisasi yang secara jelas sudah tercermin melalui media sosial, peran media arus utama dalam menggiring opini publik menjadi kurang efektif dikarenakan kekuatan media sosial jauh lebih masif daripada sebelumnya. Misalnya #GejayanMemanggil yang sempat ramai beberapa waktu lalu, sadar atau tidak, pada kenyataannya, tagar tersebut mendorong lebih banyak orang untuk turut bersuara atau bertindak terlepas dari alasan apakah mereka benar-benar prihatin, ikut merasa muak, atau sekedar ikut-ikutan tanpa tahu substansi dan esensi dari aksi ataupun tindakan lain yang mereka lakukan.

Beginilah, bagaimana kekuatan media sosial melahirkan perang opini mulai dari yang ekstrimis hingga yang sekedar numpang pamor ataupun ikut-ikutan. Dampaknya ya dapat mengakibatkan chaos hingga ke dunia nyata. Hari ini, kita harus lebih berhati-hati dalam menerima, menelaah, dan menanggapi tren informasi agar tidak mudah terprovokasi oleh pihak yang tak bertanggungjawab dan dipolitisasi atau ditunggangi oleh kelompok kepentingan tertentu secara tidak sadar. Be a smart netizen. (*)

BACA JUGA Siksakubur Jadi ‘Musisi Istana’: Metalheads Kecewa atau tulisan Ulfa Setyaningtyas lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version