Sepertinya sudah jadi rahasia umum, mahasiswa S2 UGM itu kebanyakan bukan lulusan S1 UGM. Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin menegaskan, tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan program S2 UGM. Apalagi memandang sebelah mata mahasiswa yang tidak berasal dari UGM.
Saya hanya penasaran, alasan apa saja yang membuat lulusan S1 UGM cenderung kurang berminat melanjutkan studi S2 di UGM. Dan, rasa penasaran ini sedikit banyak terjawab ketika saya menempuh studi di sana.
Lebih memilih studi di luar negeri daripada di S2 UGM
Melanjutkan studi di luar negeri tidak salah memang. Bagus malah. Orang-orang jadi terpapar pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas. Dan, itulah yang banyak dikejar oleh lulusan S1 UGM.
Tidak mengherankan sih, sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia, PTN satu ini punya banyak jaringan dengan kampus luar negeri. Kesempatan mahasiswa untuk bisa melanjutkan studi ke luar negeri pun semakin besar. Selain ada kesempatan, melanjutkan S2 di luar negeri dipilih demi akselerasi karier dan mengantongi kredibilitas internasional.
Sulit dimungkiri, melanjutkan kuliah di luar negeri memang terdengar jauh lebih mentereng. Selain pamor yang lebih oke, kuliah di luar negeri setidaknya jadi bukti kemampuan bahasa Inggris nggak abal-abal.
Jujur saja, saya pun sebenarnya punya minat melanjutkan studi di luar negeri. Hanya saja, belum ada kesempatan yang pas dan terkendala biaya. Jalan tengahnya, saya sempat ambil program pertukaran pelajar. Setidaknya, saya sempat mencicipi sedikit pengalaman belajar di luar negeri.
Baca halaman selanjutnya: Kurang prestisius karena …
Kurang prestisius karena masuknya mudah
Ada semacam anggapan S2 UGM itu kurang prestisius karena persaingan masuknya yang mudah. Apalagi dibandingkan dengan persaingan masuk S1 UGM. Persaingan masuk S2 UGM jauh lebih santai karena pesertanya lebih sedikit. Asal tahu saja, persaingan masuk S1 UGM itu gila-gilaan. Tiap tahunnya ada puluhan ribu peserta mendaftar ke PTN ini. Bahkan, saking ketatnya persaingan, ada program studi yang peluang tembusnya hanya 1,97 persen.
Hal itu tidak dialami saat mendaftar S2. Ada pengalaman pribadi yang membuat saya agak tercengag. Di program yang saya ambil, mahasiswa masih diberi kesempatan ujian susulan ketika hasil tes TOEFL mereka tidak lulus standar buat masuk kelas internasional. Padahal mereka secara resmi sudah diterima sebagai mahasiswa S2 UGM dan tengah menjalani kuliah matrikulasi.
Saya kampus punya pertimbangan tersendiri soal kebijakan itu. Namun, jujur saja, seleksi yang longgar membuat rasa bangga atau prestise selama studi di sana agak terkikis. Bagi alumni S1 UGM yang memegang pride tinggi, jelas mereka berpikir dua kali untuk kembali kalau standarnya segampang ini.
Sudah kenyang eksplorasi Jogja
Alasan yang satu ini terdengar sepele, tapi saya yakin ada juga yang mengamini. Walau Jogja punya predikat kota yang bikin rindu, tapi nggak semua orang pengin balik untuk studi di kota ini. Orang-orang mungkin sudah kenyang menjelajah Jogja saat masih menempuh S1 di UGM. Mungkin juga, kota ini malah menyimpan kenangan buruk secara personal. Misal, bikin teringat mantan yang dulu sama-sama berjuang mengejar gelar sarjana. Praktis, kebanyakan mantan mahasiswa UGM pindah tempat kuliah S2 demi mencari petualangan baru di kota lain.
Dari sini, terlihat kalau loyalitas terhadap almamater juga punya batasnya sendiri. UGM mungkin memang pas jadi pelabuhan terakhir buat lulusan kampus lain yang ingin mencicipi kuliah di salah satu PTN terbaik di Indonesia. Namun, bagi alumni S1 UGM yang haus tantangan dan punya kesempatan, lanjut studi di tempat lain jadi lebih dipertimbangkan.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Kuliah S2 Itu Wajib Caper kalau Tidak, Kalian Cuma Buang-buang Uang dan Melewatkan Banyak Kesempatan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
