RUU PDP dan Penggunaan Media Sosial untuk Anak di Bawah Umur yang Perlu Dibatasi

RUU PDP dan Penggunaan Media Sosial untuk Anak di Bawah Umur yang Perlu Dibatasi terminal mojok.co

RUU PDP dan Penggunaan Media Sosial untuk Anak di Bawah Umur yang Perlu Dibatasi terminal mojok.co

Belakangan ini, ramai pembahasan soal aturan penggunaan media sosial untuk anak di bawah umur yang tertuang dalam RUU PDP. Beberapa berpendapat anak di bawah umur memang belum siap menghadapi atmosfer media sosial yang begitu kompleks. Tapi, apakah memang begitu seharusnya?

Menurut data BPS pada 2018, jumlah anak muda yang menggunakan media sosial adalah 54% dari 143 juta jiwa. Bisa kalian bayangkan seberapa besar pengaruh media sosial terhadap masa pertumbuhan anak-anak.

Mungkin ada beberapa dari orang tua yang menjadwalkan penggunaan media sosial termasuk media elektronik per hari atau per minggunya, tetapi saat pandemi ini, pembelajaran jarak jauh mengharuskan anak-anak menggunakan media elektronik tersebut untuk pembelajarannya. Tapi, pasti anak memiliki kesempatan untuk membuka media sosial di tengah jam pelajarannya.

Contohnya adik sepupu saya yang sudah duduk dibangku kelas 6 SD. Orang tuanya membiarkan adik sepupu saya untuk membuka laptopnya karena alasan sedang dilakukannya pembelajaran lewat aplikasi Zoom, tanpa adanya pengawasan dari orang tuanya. Tapi, apa yang saya lihat saat saya menemaninya melakukan sekolah online? Dia memang sih membuka aplikasi Zoom yang memperlihatkan guru dan teman-temannya. Sayangnya, dia juga membuka aplikasi YouTube untuk menonton. Saya tegur dia sebab menonton saat sekolah online sedang berlangsung, bahkan dia menonton tayangan yang bukan untuk umurnya.

Seharusnya orang tuanya maupun orang tua di luar sana lebih mengawasi anak-anaknya dalam penggunaan media sosial. Sebab, sudah jelas di hampir seluruh aplikasi itu sudah dibuatkan peringatan untuk anak di bawah umur agar tidak menggunakan aplikasi tersebut. Tapi, kecurangan itu mudah dilakukan, anak akan selalu mencari cara untuk mencuri waktu membuka media sosial lain dan berselancar di internet.

Keresahan saya soal penggunaan media sosial pada anak di bawah umur ini meningkat karena semakin banyak yang cepat menggiring opini keliru dan jadi topik hangat yang dibicarakan netizen. Hanya karena opini di media sosial tersebut banyak dibicarakan banyak orang, lantas opini tersebut dianggap benar. Padahal kebanyakan dari pengguna media sosial itu cuma ikut-ikutan tanpa tahu konteks yang sedang dibicarakan. Ini tentu bahaya bagi anak-anak jika mereka terjebak dan tumbuh besar dalam asumsi yang salah.

Untungnya, kelegaan saya muncul setelah adanya RUU PDP (Perlindungan Data Pribadi) : Medsos Cuma untuk 17 Tahun Keatas yang masih digodok oleh pemerintah dan DPR RI. Walaupun sebenarnya masih banyak anak di bawah umur yang kontra dengan RUU PDP, tapi menurut saya RUU PDP ini seharusnya segera disahkan.

Di RUU PDP ini sebenarnya sudah tertulis jelas bahwa anak di bawah 17 tahun boleh menggunakan media sosial asal mendapatkan persetujuan oleh orang tua. Tapi, masih tetap saja banyak yang kontra dengan alasan bahwa seharusnya orang tualah yang perlu dibatasi dalam penggunaan media sosial.

Lho kenapa jadi orang tua yang harus dibatasi? Beberapa orang yang menuliskan opininya di media sosial bilang bahwa sebenarnya orang tua sering banget percaya dengan berita hoaks yang tersebar di grup WhatsApp.

Memang, ada benarnya juga sih. Banyak orang tua yang selalu termakan berita hoaks yang dan berujung beradu mulut sama anaknya karena ingin memenangkan kebenaran informasi yang ia dapat. Sangat meresahkan bukan?

Hmmm… saya juga jadi bingung. Orang tua yang seharusnya mengawasi anak sebenarnya meresahkan juga. Jadi siapa, dong, yang cocok menggunakan media sosial?

Menurut pendapat saya, media sosial itu sebenarnya cocok digunakan oleh siapa pun, tapi untuk anak di bawah umur tetap harus diawasi dalam penggunaan media sosial karena banyak konten-konten yang seharusnya tidak dikonsumsi dan bertebaran di platform media sosial.

Sedangkan untuk orang tua, seharusnya lebih memperhatikan dan menyaring kembali informasi-informasi yang didapat, apakah informasi tersebut benar atau tidak dengan cara bisa mencari kebenarannya dengan sering menonton berita di televisi ataupun membaca berita lewat media pemberitaan di ponsel.

Untuk remaja dan orang-orang dewasa juga lebih bijak lagi dalam penggunaan media sosial dan menyebarkan konten karena banyak anak di bawah umur yang masih memakai media sosial. Banyak juga orang-orang yang selalu memberitakan berita tidak jelas demi kepentingan pribadi. Jangan sampai Anda menyebar berita hoaks dan berujung di jeruji besi ya. Sumpah, perkara ini memang kelihatannya gampang, tapi aslinya susah banget diaplikasikan. Minimal jangan turut membagikan informasi yang kebenarannya belum jelas. Kalau informasinya berantai dan cuma nyebar di grup WhatsApp, tolong banget, Pak, Bu, disaring lagi. 

Anda bisa lihat di UU ITE 28 (1), sebuah jeratan pidana yang jelas untuk penyebar hoaks. Nggak ikut membuat berita bohong, tapi ikut menyebarkan saja bahaya. Orang tua yang nalarnya dianggap sudah dewasa tentu perlu lebih dilatih lagi kepekaannya. Sebab nantinya, kitalah yang akan memberikan pada anak-anak di bawah umur. Saya sih berharap RUU PDP ini bisa ditindaklanjuti sebagai sebuah jembatan untuk solusi penggunaan media sosial yang semakin hari semakin meresahkan saja.

Photo by Jessica Lewis via Pexels.com

BACA JUGA Facebook dan 3 Stigma yang Dilekatkan kepada Anak Muda yang Masih Menggunakannya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version