Ruqyah Bukan Solusi Karena Tidak Semua Perilaku Buruk Datang dari Jin dan Setan

ruqyah

ruqyah

Perjalanan di Minggu pagi mengantarkan saya dan kawan saya ke masjid yang terletak di pedesaan yang tak jauh dari jalan raya. Di sana saya hanya menemani kawan saya untuk mengisi pengajian Ahad pagi.

Usai mengisi pengajian, kami disuguhi sarapan oleh para warga, dengan menu ala desa yang sangat menggoda. Di tengah-tengah sarapan, ada salah satu warga, bapak-bapak sekira umur 55an lebih mengeluhkan soal anaknya yang suka mabuk karena minum miras. Yang disayangkan lagi, kebiasaan itu dimulai sejak anaknya mengenyam pendidikan di pondok pesantren.

Si bapak bertutur, “Ra dadi anak sing sholeh, ta’at, rajin ngibadah. Ra dadi wong sing berguna gae masyarakate, malah dadi sumber masalah gae masyarakat”. Dengan memasang raut muka lemas, geleng-geleng kepala dan mengelus-elus dada.

Si bapak juga sudah memberi ceramah dan petuah-petuah yang harapannya dapat membuat anaknya sadar dan tobat, lalu kembali ke jalan yang benar. Tapi nihil, petuah-petuah itu tak mempan, si bapak tak tahu lagi harus berbuat apa lagi.

Kawan saya yang dimintai tolong untuk sekadar memberikan tips-tips ampuh agar si anak dapat berhenti dari kebiasaan buruknya itu, berujar bahwa jika dengan petuah-petuah dan nasihat tak bisa merasuki hatinya atau menyentuh bagian terdalam qolbunya, maka opsi lain yang dapat diambil adalah dengan me-ruqyah dirinya. “Dengan di-ruqyah, si anak dapat tersadar dari perbuatannya yang menyerupai setan itu, atau perbuatan yang disukai jin yang kemudian dapat menjerumuskannya kedalam api neraka.” Ujarnya.

“Anak bapak suka minum miras itu karena bisikan setan yang terus-menerus menggempur keimanan dan ketakwaan dirinya, sehingga ketika ada celah sedikit dan lemah pada rongga hatinya, bisikan itu dapat merasuki hati dan pikirannya, lalu menguasai dirinya untuk kemudian melanggar ketentuan-ketentuan, atau larangan Allah. Sehingga anak bapak harus di-ruqyah untuk mengusir setan atau jin yang bersemayam disetiap aliran darahnya dan menyembuhkannya dari prilaku menyimpang tersebut”.

Si bapak manggut-manggut, entah ia menyetujui atau tidak, yang jelas si bapak nampak linglung, dengan jawaban kawan saya ini, dan tak butuh waktu lama si bapak akhirnya manggut-manggut, berusaha untuk yakin dengan penuturan kawan saya yang enggan dipanggil ustadz ini.

Mendengar tips darinya, saya langsung mbatin, “Ha jane setan wi salah opo toh, kok iso-isone dekne disalahke dan dituduh sebagi biang dari semua ini?, sedikit-sedikit menyalahkan setan, sedikit-sedikit mengkambing hitamkan jin. Menuduh makhluk api itu sebagai makhluk yang berbahaya, kurangajar, dzholim, baj***an, a*u, musuh bebuyutan manusia dalam beribadah pada satu Tuhan yang sama-sama menciptakan kedua makhluk ini, seperti tidak ada musuh lagi selain jin, setan, iblis?.

Memang benar bahwa Tuhan mengizinkan jin untuk menggoda manusia semampunya, sekuat-kuatnya, sebanyak-banyaknya untuk dijadikan teman ke dalam api neraka. Tapi tidak dengan mereka, orang-orang yang di dalam hatinya memiliki ketakwaan, ketauhidan, dan iman yang kokoh sehingga ia tak dapat digoda, dihasut untuk menanggalkan keimanan dan ketakwaan padanya, lalu melanggar syariat dan larangan yang telah digariskan-Nya.

Terkait dengan persoalan di atas–-saya punya pandangan yang sedikit berbeda karena saya pernah mempelajari konseling dan psikologi. Jadi gini, santri yang berasal dari berbagai daerah itu tidak semuanya berasal dari keluarga yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang dalam, sebaliknya ada juga santri yang berasal dari keluarga yang belum mengerti betul tentang agama, tapi berusaha untuk mempelajarinya, dan ada juga yang justru dari keluarga broken home, disharmonis, tak dapat mengurus anak karena sibuk dengan pekerjaan, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, keanekaragaman kepribadian masing-masing santri yang berasal dari berbagai daerah itu memungkinkan adanya penyebaran sifat yang buruk, bahkan kriminal seperti mencuri, menindas yang lemah, dst dst dst.

Nah… masalah si anak ada pada rasa ingin tahunya, penasaran, dan keponya terhadap hal-hal yang dirasa belum pernah ia temui dan rasakan sebelum ia masuk pondok. Serta banyaknya keinginan dan harapan yang besar juga impian yang tinggi yang diikuti dengan semangat, gairah, dan ambisi untuk mencapainya.

Sebab fase remaja ke dewasa merupakan fase dimana pemikiran seorang anak mulai berkembang, sehingga suatu hal yang membuatnya penasaran, maka akan ia telusuri hingga menemukan jawabannya. Entah hasilnya positif atau negatif, tergantung dari mana ia melihat dari sudut pandang juga pola pikirnya.

Karenanya, masa muda merupakan masa pemberian pendidikan yang sangat penting, sebab seorang pemuda masih pada tahap pemahaman dan penghayatan yang cenderung naik turun, sehingga diperlukan kontrol dan pendidikan yang menyeluruh dan seimbang.

Demikian pula generasi saat ini yang dibenturkan oleh sains dan teknologi yang sangat pesat sehingga menciptakan peradaban yang serba modern, dengan menjanjikan kemudahan dan kemajuan, tapi tak sedikit pula kemajuan-kemajuan itu juga diiringi dengan kemelut dan bencana yang meresahkan hampir semua bidang kehidupan pribadi dan sosial.

Akibatnya banyak anak muda mulai meninggalkan nilai-nilai keagamaan dan tradisi, mendangkalnya penghayatan terhadap agama, perubahan tata nilai yang serba cepat, sulit mendapatkan pekerjaan, dan tak memiliki moral yang baik, sehingga apa yang terjadi? Banyaknya pelanggaran HAM. Lebih tragis lagi, ia tak mampu memprediksi dan merencanakan masa depannya.

Setelah saya mencoba untuk bertanya kepada si bapak perihal anaknya yang suka mendem itu, belio mengakui bahwa semenjak masuk pondok, ia jarang sekali mengunjungi anaknya, juga jarang sekali menghubungi anaknya via telepon. Si bapak pun mengakui bahwa ia tak memperhatikan perihal pergaulan anaknya selama di pondok atau pun ketika di rumah.

Itu artinya, bukan masalah di-ruqyah atau tidak, tapi bagaimana cara kita agar sikap dan laku anak dapat berubah ke arah yang lebih baik seiring dengan berkembangnya pola pikir dan tumbuh kembangnya. Seperti mengajaknya bicara empat mata sesering mungkin, berikan pemahaman bahwa apa yang dilakukan itu dapat merugikan dirinya juga orang lain, atau membawanya ke orang pintar–psikiater atau konselor maksudnya.

Kembali ke jin, dkk. Jika jin-jin adalah makhluk yang kurang ajar, berbahaya, dan sakpiturute, maka boleh jadi  proses KBM di sekolah-sekolah akan terganggu karena guru-guru kerasukan setan, sidang kabinet dan DPR akan viral karena seluruh anggota kerasukan jin, dan khutbah Jum’at akan heboh karena khatibnya dirasuki lelembut.

Dan jika ruqyah adalah salah satu solusi untuk mengusir jin atau setan yang ada pada diri manusia yang menyimpang dari ajaran agama dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, maka sudah dari dulu para koruptor di-ruqyah agar tak lagi mencuri dan memakan uang masyarakat yang telah mempercayainya sebagai wakilnya.

Arkian, jika tak ada setan atau jin yang berkeliaran di muka bumi ini, apakah keimanan, ketakwaan, dan kualitas ibadah kita akan terjaga hingga ajal menjemput?.Apakah jika tak ada lelembut, maka kita akan terhindar dari dosa dan perbuatan keji yang tak disukai Tuhan?. Dan apakah jika tak ada “mereka”, maka kita akan terjamin bahwa kita akan terbebas dari api neraka?.

Tentu jawabannya akan berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang apa dan pengalaman masing-masing kita dalam berpikir dan berTuhan.

BACA JUGA Sebuah Usaha Menggapai Cinta Ilahi atau tulisan R Fauzi Fuadi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version