Tinggal di rumah pinggir jalan raya itu punya ternyata punya privilege tersendiri, meskipun tetap ada hal-hal yang bikin geleng-geleng kepala.
Hal paling enak adalah aksesnya. Saya tak pernah kesulitan untuk akses keluar masuk rumah. Bahkan untuk menunggu jemputan bis atau travel, kita tinggal menunggu di depan rumah, tak perlu janjian di SPBU atau mini market. Rumah di pinggir jalan itu seperti lokasi premium yang tidak perlu diiklankan.
Setiap hari, suasana depan rumah selalu hidup. Saya menjadi saksi setiap hari orang-orang yang berlalu lalang berangkat dan pulang kerja. Semua kesibukan jalanan selalu kita saksikan setiap hari. Kita tidak pernah merasa sepi. Ada ritme yang terus berdetak, membuat rumah terasa berada di pusat aktivitas.
Selain akses yang mudah, rumah pinggir jalan itu amat cocok buat punya usaha. Kalau punya usaha kecil di rumah, tinggal di pinggir jalan raya adalah cheat code yang lumayan. Modal marketing nyaris nol. Tinggal buka pintu, lalu tunggu pembeli datang. Tidak perlu bayar sewa kios. Banyak yang tidak sengaja jadi pelanggan hanya karena kebetulan lewat.
Selain itu, rumah pinggir jalan sering jadi patokan umum. “Rumahnya sebelum tikungan yang ada warung kecil itu,” atau “Yang pagar hijau pas di pinggir jalan besar.” Rasanya seperti rumah kita masuk Google Maps lokal tanpa kita sadari.
Tentu saja, di sisi seberang hal-hal yang menyenangkan, ada hal-hal menyebalkan yang menghantui diam-diam.
Tak ada ruang untuk sepi
Tapi semua privilege itu harus dibayar dengan harga. Tinggal di pinggir jalan raya utama hampir tidak pernah menawarkan ketenangan. Dari subuh sampai malam, selalu ada suara aktivitas. Kita tidak benar-benar bisa menikmati suasana rumah yang sunyi.
Kadang baru duduk santai di depan rumah, tiba-tiba ada kendaraan besar lewat yang menggetarkan bumi. Baru mau istirahat siang, ada suara klakson dan telolet bis. Mau fokus kerja, ada suara motor ngebut yang bikin jantung ikut loncat. Rumah pinggir jalan itu memang hidup, tapi kadang terlalu hidup.
Masalah suara adalah paket lengkap yang tak mungkin ditolak. Truk, bus, motor knalpot racing, ambulans, hampir setiap hari lewat. Bahkan jam tertentu seperti punya jadwal bising tersendiri.
Ketika butuh ketenangan, kita harus ekstra usaha. Menutup pintu tidak selalu cukup. Pasang kipas atau musik justru malah jadi white noise tandingan untuk meredam keramaian luar. Dan entah kenapa, momen kita ingin istirahat itu selalu bertepatan dengan suara paling berisik yang lewat.
Keamanan dan kebersihan Jadi PR tambahan untuk rumah pinggir jalan raya
Rumah di pinggir jalan raya gampang dicari, tapi juga gampang diintai banyak orang. Kita harus lebih waspada. Gerbang harus aman, pintu tidak boleh lupa dikunci, dan pergerakan orang asing lebih sering kita perhatikan.
Kalau punya anak kecil, ini jadi isu serius. Halaman depan harus benar-benar aman. Aturan “jangan main dekat jalan” bukan sekadar nasihat, tapi peraturan ketat. Lalu lintas yang deras tidak bisa diajak kompromi.
Selain itu, polusi dari asap kendaraan dan debu jalanan menjadi tantangan tersendiri. Lantai rumah harus selalu dibersihkan setiap hari. Dan bagi penghuni rumah tepi jalan raya utama, ISPA menjadi penyakit yang selalu dikhawatirkan.
Lebih dinamis, lebih sibuk, tapi tetap menyenangkan
Punya rumah pinggir jalan raya memang tidak pernah membosankan. Ada aktivitas yang terus berganti. Ada interaksi spontan antara penghuni rumah, tetangga, dan orang lewat. Kita seperti tinggal di simpul kehidupan masyarakat.
Kadang capek, kadang lucu, kadang bikin cerita sendiri. Tapi dinamika itu justru bagian dari pesonanya. Rumah terasa terhubung dengan dunia luar lebih intens daripada rumah di dalam gang.
Pada akhirnya, enak dan nggak enaknya tinggal di pinggir jalan raya utama adalah soal kebiasaan. Kebisingannya memang ada, risikonya memang terasa, tapi akses dan kemudahannya juga tidak terbantahkan.
Kalau ditawari pindah ke tempat yang lebih sunyi, belum tentu saya mau. Sudah kadung betah. Sudah cocok dengan hiruk-pikuknya. Dan diam-diam, saya menikmati ritme hidup rumah pinggir jalan yang ramai, ribut, tapi selalu penuh cerita.
Penulis: Muhammad Sya’dullah Fauzi
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.


















