Hari ini kita mengenal thrifting sebagai kultur nom-noman yang penuh romantisasi. Apalagi jika nom-noman tadi punya gaji sehumble UMP Jogja. Dari busana, gawai, sampai kaset pita bisa ditemukan dalam thrift shop. Yang penting syaratnya satu: barang bekas!
Padahal, thrift shop tidak lebih dari toko barang bekas yang di-Inggris-inggriskan. Bahasa keren di Jogja adalah awul-awul. Dan biasanya ia dijual di pasar klithikan jogja. Kenyataan ini membuat saya sering nyinyir. Banyak yang gemar membuat story Instagram “happy thrifting” ketika sedang ngawul-awul mencari sandang pantas bekas orang yang entah siapa. Batin saya hanya bisa bilang, “Ealah, ngawul, we, sok keren.”
Memang, dunia pasar bekas tidak pernah luntur di peredaran zaman. Setiap era, jual beli barang bekas diromantisir dengan kemasan menarik seperti thrift shopping ini. Padahal ya sama saja, intinya adalah proses jual beli barang bekas yang masih layak.
Meskipun diromantisir, dunia barang bekas tetap penuh duka lara dan gejolak. Namanya saja barang bekas, tidak jauh dari urusan tawar menawar yang tidak manusiawi. Perkara mendapat barang bekas yang layak jual pun tidak gampang.
Untuk memahami dunia ini, saya mewawancarai salah satu pedagang barang bekas bernama Mas Apoys. Nama panggilan ini berasal dari mukanya yang mirip Apoy Wali Band. Sayang sekali beda nasib. Jika Apoy Wali dipuja penikmat musik pop Melayu, Mas Apoys Awul harus menahan dingin tanpa jas hujan di Pasar Senthir Jogja. Pasar ini adalah pusat barang bekas selain Pasar Klithikan Kuncen Jogja.
Di balik asap rokoknya, Mas Apoys menerawang perjalanannya sebagai pedagang baju bekas. “Baru 6 bulan, Mas,” ujarnya. Meskipun baru satu semester, Mas Apoys sudah terjun di dunia awul-awul baju bekas sejak SMA 6 tahun lalu. “Jika dulu konsumen, sekarang cari duit dari awul-awul, Mas,” imbuhnya sambil menyesap rokok linting. Menguatkan kesan cah awul banget.
“Awal terjun (jadi pedagang) di Pasar Senthir (salah satu pasar klithikan Jogja) karena diajak om. Kebetulan om sudah lebih dulu jadi jualan di sana,” ujar Mas Apoys. Pasar Senthir lebih dikenal sebagai pusat barang rongsok. Seperti radio, TV, remote, kipas, sampai BPKB motor. “BPKB laku, Mas, untuk motor modifan bodhong, biar tidak berurusan sama aparat,” imbuh blio.
Lambat laun, Pasar Senthir (salah satu pasar klithikan Jogja) mulai meluaskan sayap. Hari ini, busana bekas, gawai, keris, sampai akik tersedia di sana. “Tergantung penjual. Semua bisa dijual di sini,” ujar Mas Apoys sambil menjelaskan bahwa jasa pijat pun bisa dijual. Tapi bukan pijat plus-plus yang menambah capek itu.
Untuk mendapat barang dagangan, Mas Apoys berburu di media sosial Facebook. “Selain Facebook, saya juga cari barang di pedagang lain,” imbuh blio. Tentu Mas Apoys memerhatikan harga beli dahulu. Mas Apoys juga memperhatikan kualitas barang. Maklum, namanya saja barang bekas. Mas Apoys harus teliti melihat kondisi barang sampai brand busana yang akan dibeli. Kadang Mas Apoys menemukan cacat yang keterlaluan.
“Kadang ada yang udah remuk sampai tidak layak pakai. Kadang ada yang size-nya beda sebelah. Terutama sepatu, barusan dapat sepasang yang kiri 40 kanan 42,” ujarnya sambil terkekeh. Kondisi ini membuat Mas Apoys harus teliti dan sabar mengamati calon dagangan. Kan nggak lucu, beli sepatu kok ukurannya joining.
Ketika menjual, Mas Apoys berdiri di dua sisi: online dan Pasar Senthir. Untuk online, Mas Apoys menjual busana yang masih sangat layak dan dari brand terkenal. “Misal Converse, H&M, Adidas, dan Dickinson,” ujar Mas Apoys. Menurut blio, jika barang branded tadi dijual di Pasar Senthir hanya membuat sakit hati. Selain harganya jatuh, juga susah laku. “Beda mindsetnya, Mas,, antara pembeli online dengan pembeli di Pasar Senthir,” imbuhnya.
Nah, barang-barang yang tidak lolos QC online akan dijajakan di Pasar Senthir. “Untuk buka kios, saya membayar retribusi tiga ribu rupiah per hari,” ujar Mas Apoys. Retribusinya sangat murah karena di bawah Pemda Jogja dan diurus oleh Paguyuban Pasar Senthir. “Alhamdulliah tidak ada retribusi liar dan pemalak. Semua teratur sesuai peraturan yang berlaku. Ini lho romantisnya Jogja yang sebenarnya,” ungkap Mas Apoys.
Namun, romantisnya Pasar Senthir akan runtuh di depan penawar yang kurang ajar. “Yang nyebai mereka menawar lebih dari 50 persen harga jual. Misal dijual 100 ribu, ditawar jadi 30 ribu,” ungkap Mas Apoys dengan wajah memelas. Tapi blio memaklumi, mindset pembeli di Pasar Senthir memang demikian. Pasar Senthir dipandang sebagai tempat untuk menawar dengan sadis. Sesadis Covid-19 yang membuat Mas Apoys harus terjebak di Malaysia saat magang di hotel.
Selain penawar, hujan adalah musuh Mas Apoys. “Umumnya pedagang di sana tidak punya tenda, Mas. Kecuali satu pedagang barang elektronik bekas,” ungkapnya. Saya bertanya, bagaimana Mas Apoys menghadapi hujan. “Ya kukut, Mas. Karena bukan masalah barang yang kehujanan. Tapi, tamu juga akan pulang jika hujan,” ujar blio. Perlu dicatat, pasar klithikan Jogja yakni Pasar Senthir, hanya berwujud lapangan kosong dengan peneduh yang minimalis. “Apa lagi dagangan saya adalah sandangan. Malas, Mas, kalau harus nyuci lagi. Apalagi rentan jamuran,” imbuhnya.
Namun, situasi menyebalkan ini tidak menyurutkan semangat Mas Apoys. Apalagi berjualan sandang bekas itu menguntungkan. “Minimal cukup buat hidup, Mas,” ujar Mas Apoys. Selain itu, Mas Apoys juga memperluas hubungan dagang dengan pedagang lain. “Bisa membangun kongsi dan titip barang dengan pedagang lain. Bisa dapat info barang juga,” imbuhnya. Semangat paseduluran di Pasar Senthir memang kuat. Lantaran rasa senasib antar pedagang barang bekas alias thrift shop ini.
Mas Apoys juga berkomentar pada romantisasi dunia thrifting.” Mereka baru nyemplung saja, Mas, kalau saya malah sudah punya kolamnya,” ujar Mas Apoys sambil terkekeh.
BACA JUGA Sejarah Minol di Jogja: Dari Kedai Pemabuk Sampai Lahirnya Minuman Oplosan dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.