Rindu Itu Ringan, Yang Berat Itu Kamu

rindu itu berat

rindu itu berat

Kata siapa rindu itu berat? Itu kan cuma kata-kata manis dari Dilan. Kalo buatku sih tidak. Yang berat itu kamu. Iya kamu~

Bagiku rindu itu ringan. Aku tinggal ketemu kamu—lihat senyummu, lihat cemberutmu. Hilanglah semua rindu.

Kadang-kadang malah cukup telepon kamu—dengar tawamu, dengar batukmu, dengar marahmu. Lenyap sudah rindu itu.

Tapi kamu itu berat—mulai dari berat badanmu, sampai berat beban pikiranmu. Dan tak mudah untuk meringankannya. Kamu pernah bilang tak sanggup—apalagi aku.

Badanmu kini berat—meski dulu tak terlalu ringan juga. Kamu yang segera menjelma menjadi kalian. Kamu yang tak lagi sama—ada dia yang membersamaimu.

Pikiranmu juga berat. Kamu tak lagi bisa pikirkan dirimu dan aku. Kini dia hadir diantara kita. Membuatmu semakin gelisah. Merasa harus menjatuhkan pilihan.

Sementara badan, pikiran, dan isi dompetku masih saja terasa begitu ringannya. Aku jelas tak akan kuat kalau harus jadi kamu.

Kini aku berada jauh darimu. Samudera dan benua harus pisahkan kita. Syukurlah masih ada internet. Katanya ia mampu mendekatkan yang jauh—meski seringkali pula menjauhkan yang dekat.

Zona waktu yang berbeda tak mungkin kuubah. Kau sedang menanti maghrib, aku bersiap menghangatkan menu sahur. Meski sama-sama kita akan segera melahap makanan yang tersedia di depan mata—kamu di meja makan, aku di meja belajar.

Kamu bilang rindu padaku. Kubilang jangan lah kau merinduku. Isi kepalamu sudah cukup penuh. Tak perlu kau tambahkan dengan soal rindu ini. Hanya membuatmu semakin berat—berat harus memilih.

Aku atau dia. Dua insan manusia yang sama. Sama-sama mengisi pikiranmu. Sama-sama tak mungkin kau tinggalkan. Meski kini aku jauh darimu, dia justru begitu dekat denganmu.

Kamu, aku, dan dia. Berada dalam satu frekuensi rasa. Saling merindu, saling memberatkan. Bersama ingin membersamaimu. Dipisahkan oleh ruang dan waktu.

Sejak lama kamu bercerita tentang dia. Berharap suatu saat akan hadir sosok sepertinya. Kini dia hadir saat aku justru harus pergi. Aku tak bisa memilih. Tak biasa juga untuk dipilih. Aku pun tetap pergi.

Aku di sini membayangkan kalian berdua. Betapa bahagianya kamu menunggu saat-saat seperti ini. Bukannya aku tak ikut bahagia. Tapi bahagia bagiku tak beda jauh dengan kesedihan. Akan mudah datang dan pergi tanpa kita minta.

Bagiku rindu tetaplah ringan. Memandang fotomu. Terbayang saat dulu. Berdua denganmu. Meski kamu membisu. Sudah cukup kosongkan ruang rinduku.

Bagimu semua terasa berat. Bahkan rindu yang sering merapat. Ingin segera kamu sudahi dengan perjumpaan dan tangisan—tangis rindu katamu. Untuk melapangkan hatimu.

Memori melangkahkan kita pada waktu itu—waktu dimana hanya ada kamu dan aku. Kamu yang jadi idola di sekolah. Aku yang sering tak muncul di sekolah. Kamu yang tak tahu siapa aku. Aku yang ingin tahu siapa namamu.

Kamu begitu semangat menjalani hari kala itu. Sementara aku ragu menatap masa depan. Kita dipertemukan oleh sesuatu yang bahkan aku tak tahu apa itu. Aku suka kamu. Kamu suka aku. Cukup itu saja.

Bertahun setelahnya, kita tak lagi ada di sekolah. Berganti menjadi sebuah rumah yang saban hari kita kotori. Lalu tertawa lepas sebelum kita bersihkan kembali. Kamu ada di rumah itu—aku juga di sana. Merajut asa, yang entah sama entah tidak, bersama-sama.

Di pagi yang dingin ini, kamu di sana dan aku tak di sana. Aku baru akan memulai hari. Kamu sudah beranjak pulang ditemani senja yang sendu. Meski kita sama-sama akan segera ditemani segelas minuman hangat. Kamu di teras rumah. Aku di sudut jendela kamar.

Sekali lagi, bagiku rindu itu ringan. Tinggal kuputar sebuah lagu lama. Dari grup musik yang kamu tergila-gila oleh vokalisnya. Matikan lampu dan nyalakan mimpi. Beranjaklah aku dari kerinduan itu.

Sementara bagimu semua masih terasa berat. Tak mudah menghapus rindu. Tak mungkin menghapus aku dan dia—yang ada hanyalah titik temu di dalam pikiranmu yang terlanjur kusut.

Hampir setahun kita tak bertemu. Mungkin setelah lebaran nanti aku akan pulang—bertemu kamu dan dia. Membicarakan yang perlu saja. Lebih banyak diam dan saling mendekap. Peluk ini semoga ringankan dirimu, dari beratnya masa lalu.

Tolong maafkan aku yang selama ini tak bisa di dekatmu. Membiarkanmu hanya berdua dengan dia. Sejak dia bersembunyi di balik badanmu. Sampai dia menangis dalam pelukanmu. Sungguh aku tak tahu harus berbuat apa.

Yang aku tahu sekarang hanya ada kita. Dia, kamu, dan aku. Tak kan kubiarkan lagi kalian berdua saja. Tak kan kulepaskan kalian dari pikiranku. Karena sejak dulu dia pun telah merasuki pikiranku. Dia yang adalah aku, dia yang adalah kamu. Aku dan kamu yang mewujud menjadi dia. Dia tak akan terganti.

Exit mobile version