Rindu Adalah Hak Semua Manusia, Tidak Terkecuali Narapidana

Rindu Adalah Hak Semua Manusia, Tidak Terkecuali Narapidana

Pagi ini saya memiliki tugas untuk mewawancarai narapidana di salah satu Rutan yang masuk wilayah kerja dari instansi saya. Kebetulan saya datang saat jadwal kunjungan. Memang jadwal kunjungan untuk narapidana berada di hari aktif bekerja (bukan weekend).

Mungkin alasannya agar waktu libur dapat digunakan sebagai kesempatan istirahat bagi narapidana setelah sepekan menjalani berbagai macam kegiatan pembinaan (termasuk kunjungan tamu). Ada banyak orang luar yang datang, mungkin keluarga, kerabat, ataupun tetangga dari narapidana.

Semua yang hadir tampak gembira, baik pengunjung maupun yang dikunjungi. Senyum merekah menghiasi wajah mereka. Canda dan tawa menambah renyah suasana. Atmosfer kebahagiaan terasa sekali, paling tidak tergambar dari wajah-wajah senang para pengunjung dan narapidana.

Pemandangan unik pun banyak terjadinya. Ada narapidana yang sedang disuapi oleh pengunjungnya (bisa jadi istrinya). Ada pula narapidana yang bertato full badan sedang menangis tersedu-sedu dalam pelukan seorang wanita. Saya menduga kuat itu ibunya. Ada juga beberapa anak muda yang asyik ngobrol dengan salah seorang narapidana, kemungkinan itu teman mereka nongkrong ketika sebelum ditahan.

Sungguh tidak tampak gambaran suram penjara ketika berada di situasi seperti ini. Orang-orang bersuka ria. Saling menyalurkan kerinduan yang terbatasi oleh dinding peraturan. Bukan menafikan kesalahan yang telah mereka perbuat, tetapi ketika melihat situasi mereka ini (napi dan pengunjungnya), bolehlah sekiranya kita melupakan sejenak status mereka. Sebab, memperoleh kesempatan saling melepas rindu dengan orang-orang terkasih adalah hak abadi setiap manusia.

Situasi tersebut mengingatkan saya pada saat menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren di Yogyakarta. Ketika jadwal kunjungan tiba, tepatnya pada hari Jumat, orang tua santri ramai berkunjung ke asrama. Mereka mengunjungi putra-putranya yang sedang berjihad di jalan Allah dengan belajar. Ada santri yang menangis karena rindu orang tua. Ada pula yang sedang disuapi jajanan oleh ibunya. Bagi yang orang tuanya jauh biasanya mengobati kerinduan dengan saling bertelepon. Tidak jarang ada yang menangis tersedu-sedu saking rindunya dengan orang tua, termasuk saya.

Awalnya saya berfikir kebebasan itu mahal harganya. Entah dengan alasan baik atau tidak, kemerdekaan yang dibatasi sangat tidak enak dirasakan.

Saat menjadi santri, banyak tindak tanduk yang dibatasi tidak seperti anak seumurannya yang bersekolah non-pondok. Kegiatan sewajarnya anak remaja mendapatkan pengawasan yang cukup ketat, seperti menggunakan handphone, bermain ke warnet, dan lain-lain. Bahkan sebagian santri melabeli pondokannya dengan istilah “Penjara Suci” karena merasa seperti hidup di penjara, bukan karena kejahatan tapi untuk belajar kebaikan.

Namun, setelah bertahun-tahun lulus saya menyadari bahwa pembatasan atas beberapa hak tersebut memiliki dampak dan manfaat yang sangat besar di masa yang akan datang.

Tekad dan mental diasah dengan berbagai batasan berupa peraturan-peraturan yang membangun karakter pejuang agar tangguh mengahadapi tantangan kehidupan. Meskipun realita kehidupan tidak sesederhana di pondok pesantren, paling tidak para santri dibiasakan sejak dini dengan keadaan yang membuatnya harus mandiri dalam menghadapi segala persoalan.

Dengan tujuan sebaik itu pun masih ada saya yang merasa terkungkung dan merasa tidak enak ketika kebebasan dibatasi (saya salah satunya). Tak terbayangkan para narapidana yang sekarang di penjara. Bagaimana kesukaran yang mereka rasakan, meskipun itu akibat tindakan mereka sendiri.

Kehangatan suasana saat kunjungan narapidana ini menyadarkan saya bahwa kesukaran dari keterkungkungan adalah tidak bisa menyalurkan rindu. Dan karena rindu pulalah orang akan benar-benar berubah. Bahkan bisa membuat seseorang melakukan hal yang tidak biasa mereka lakukan.

Karena rindu jugalah para narapidana di penjara mau memeluk ibu mereka dengan tangisan tersedu-sedu. Apalagi disuapi oleh istri di depan banyak orang. Paling tidak, karena rindu ada perubahan yang dialami. Entah penyesalan, perenungan, atau bahkan motivasi untuk berbenah lebih baik lagi.

BACA JUGA Bekerja di Lapas Bikin Saya Mikir Kalau Penjara Bukan Tempat Tepat Mendapat Keadilan atau tulisan Royyan Mahmuda lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version