Awal 2022 lini masa media sosial saya tentu saja dipenuhi oleh masalah baru. Masalah tersebut adalah persoalan Hanamasa yang dituding menjual makanan tidak halal untuk konsumennya. Akar permasalahannya bukan pada masalah makanan tidak halalnya. Namun, Hanamasa dianggap tidak jujur sedari awal tentang produk makanan yang dijualnya. Inilah yang bikin banyak konsumennya merasa ditipu. Banyak orang yang merasa ditipu oleh manajemen Hanamasa karena mereka tidak mengumumkan “label halal” dalam setiap produk makanan yang dijual.
Hal ini yang kemudian bikin netizen ribut di media sosial. Ada yang membela Hanamasa dengan argumen, “Hanamasa sudah susah payah buat survive di tengah pandemi Covid-19, ini bentuk black campaign dari pesaing Hanamasa saja. Kita tunggu klarifikasi dari pihak Hanamasa.”
Ada juga yang bilang, “Kalau concern tentang halal haramnya sebuah makanan. Terus, kenapa Anda tetap masuk ke sebuah restoran yang belum ada label halal dari Majelis Ulama Indonesia?”
Ada juga yang menyalahkan Hanamasa dengan argumen, “Konsumen nggak salah. Kan ada aturan bahwa setiap pelaku usaha harus memberitahu apabila produk yang dijualnya tidak halal dengan jelas. Ini biar konsumen bisa hati-hati sebelum mengonsumsinya”
Di sini, saya netral. Perdebatan terkait halal atau haramnya produk Hanamasa, itu jelas nggak relate buat saya!
Bukan, bukan karena saya nggak peduli soal hukum Islam. Biar begini, saya lulusan Perguruan Tinggi Swasta Islam, loh. Saya juga belajar seluruh unsur keislaman, meskipun itu nggak dalam-dalam amat. Saya paham, haram hukumnya seorang muslim ketika mengonsumsi makanan yang diharamkan dalam agama. Ini mutlak. No debat!
Yang bikin perdebatan ini nggak relate untuk saya karena saya belum pernah sekalipun makan di Hanamasa! Bagi saya yang sobat misqueen ini, makan di Hanamasa hanya angan-angan. Sejak sekolah, saya dan teman-teman saya sering ngasih jokes ke teman saya yang lagi ulang tahun dengan berkata, “Wah, makan di Hanamasa nih kita habis pulang sekolah!”
Kalimat tersebut bukan jokes tanpa makna. Setidaknya, bagi saya dan teman-teman terdekat, makan di sana hanyalah mimpi di siang bolong. Maklum, kami bukan anak sultan. Pasalnya, Hanamasa adalah restoran yang menyajikan konsep all you can eat. Di restoran tersebut, setiap pelanggan bisa makan sepuasnya “hanya” dengan membayar sekitar Rp170 ribuan.
Uang segitu untuk satu orang makan sepuasnya? Kalau saya, mending skip dulu. Pasalnya, di warteg dekat kampus atau pedagang kaki lima dekat rumah, cukup Rp25 ribu saya sudah bisa makan sepuasnya sampai muntah! Bahkan, menu sekadar kenyang, cukup Rp15 ribu dan itu bisa bikin saya nggak perlu makan lagi seharian.
Buat saya, nominal sebesar Rp170 ribu tersebut cukup besar. Uang senilai itu sudah bisa untuk traktir makan sepuasnya 10 orang di warteg atau pedagang kaki lima. Percaya deh sama saya.
“Kalau kamu menilai makan di Hanamasa itu kemahalan, berarti kamu bukan target pasarnya.” Kalimat tersebut memang benar sekali! Bagi saya, yang bisa makan di restoran tersebut dan bisa berdebat di media sosial perkara hal ini adalah orang-orang beruntung. Setidaknya, mereka punya penghasilan tetap sehingga bisa makan di Hanamasa, minimal sebulan sekali. Sementara saya? Uang segitu mending untuk bayar tagihan listrik atau iuran BPJS yang nggak bisa di-skip dulu, lah.
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Audian Laili