Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya oleh Rusdi Mathari: 30 Kisah yang Mengaduk-aduk Nurani

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya oleh Rusdi Mathari: 30 Kisah yang Mengaduk-aduk Nurani

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya oleh Rusdi Mathari: 30 Kisah yang Mengaduk-aduk Nurani (Buku Mojok)

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya di Marketplace

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya menceritakan kehidupan di suatu kampung dengan penduduknya yang beraneka ragam. Ada 30 kisah seputar Cak Dlahom, si tokoh utama, yang ditulis oleh seorang Rusdi Mathari.

Judul: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya
Penulis: Rusdi Mathari
Penerbit: Buku Mojok
Ketebalan: 226 halaman
Tahun Terbit: 2018

Jika bulan Ramadan adalah seorang perempuan, rona wajahnya barangkali sudah memerah malu karena saking banyaknya pujian yang terlontar untuknya. Kita tak henti-henti memujanya seakan-akan tiada yang lebih cantik darinya.

Kehadirannya begitu ditunggu-tunggu. Setahun penantian bukanlah harga mahal untuk membayar kesempatan bertemu kembali dengan indahnya bulan Ramadan. Namun, coba tanya lagi dirimu sendiri, benarkah kamu merindukan Ramadan?

Cak Dlahom menjadi tokoh utama Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

Adalah Cak Dlahom, tokoh utama yang dengan berani melemparkan pertanyaan menohok tersebut dalam cerita pembuka di buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya ini. Ia membaca tulisan spanduk di pagar masjid yang berbunyi “Selamat datang ya, Ramadan. Kami rindu padamu!” keras-keras seperti anak kecil yang baru bisa baca. Sontak orang-orang pun tertawa dan memaklumi aksi Cak Dlahom yang “kumat” itu.

Tetapi, sungguh, sebetulnya itu hanyalah metafora yang terlampau apik! Sentimentil!

Apa yang dilakukan Cak Dlahom, adalah ilustrasi dari apa yang peribahasa sering sebut sebagai “air beriak, tanda tak dalam”. Bergagah-gagahan biar manusia di seluruh bumi tahu bahwa kita benar-benar serius dengan apa yang kita ucapkan. Padahal itu hanya riak meriak selebrasi saja; cuap-cuap niresensi.

Kepura-puraan (mungkin juga kemunafikan) ini sering tidak kita sadari terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kita bersikap manis sekadar demi mengikuti kenormalan yang ada saja, bukan karena kesungguhan hati.

Teriak takbir, tapi merasa lebih besar daripada Tuhan. Mengucap tasbih, tapi masih asyik menerakakan orang lain sesuka hati. Tidakkah kita sadar, kita hanya makhluk; ciptaan. Sama-sama kecil, lemah, dan tak berdaya. Maka, tak sepantasnya merasa lebih mulia dari makhluk lainnya.

Cak Dlahom, meskipun dengan laku-laku ganjil di mata orang awam, dalam Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya berusaha mengajak kita supaya lebih mengenali diri sendiri. Menyelami kedirian adalah kunci menuju pemahaman yang lebih ekstensif.

Ada 30 kisah yang bikin pembaca bereaksi berbeda-beda

Bersama Gus Mut, Mat Piti, Dullah, Pak Lurah, Romlah, dan tokoh-tokoh fiktif rekaan lainnnya, Rusdi Mathari membawa kita pada cermin yang sering lupa kita pakai. Cermin itu adalah permenungan diri kita sendiri. Seperti melihat bayangan diri di permukaan air yang tenang, laku tafakur sering dianggap buang-buang waktu. Padahal itu diperlukan guna merefleksikan kembali nilai-nilai dari pengalaman-pengalaman hidup yang sudah kita lalui.

Ada 30 kisah dalam buku Merasa Bodoh, Pintar Saja Tak Punya yang akan membuat pembaca manggut-manggut setuju, bergeleng tak percaya, bahkan diam-diam menangis seraya mengasihani diri sendiri. Namun, sekali kamu berkenan merenungi kisah-kisah di dalamnya, reaksi yang muncul bisa jadi berbeda.

Misalnya, dalam kisah berjudul Bersedekah pada Nyamuk. Saat pertama kali membaca tulisan Rusdi Mathari yang ini, saya tertawa membayangkan aksi gila Cak Dlahom yang bertelanjang bulat menelentangkan tubuh di antara dua nisan makam tua. Namun, begitu membacanya sekali lagi, saya seketika termenung. Betapa nyamuk, makhluk yang kerap mengganggu tidur kita dengan denging menyebalkannya itu, adalah ciptaan Tuhan juga.

Jangan-jangan mengisap darah adalah bentuk ibadahnya nyamuk, untuk menguji kedermawanan kita. Darah yang diambilnya, mungkin tak seberapa, barangkali bahkan kurang dari setetes, tetapi sepadankah jika saya mengambil nyawanya?

Ah, siapalah saya ini. Sudah tidak menciptakan, malah membunuhnya.

Kisah yang menohok dalam Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

Dalam beramal, memang sudah seharusnya, keikhlasan menjadi hal yang utama. Dikisahkan dalam tulisan yang berjudul Zakat dan Sekantong Taek, Cak Dlahom mengibaratkannya dengan analogi buang air. Ya, seperti kencing dan berak, beramal itu tidak usah diingat-ingat. Itu sudah seharusnya kita keluarkan, toh demi kesehatan tubuh kita juga.

Dengan analogi tersebut, Rusdi Mathari seolah mengingatkan harusnya ikhlas tidaklah sulit. Menjadi sulit ditunaikan karena kita sibuk menghitung-hitung. Beramal kok seminimal mungkin. Justru, itu tanda bahaya. Tabiat orang kikir ya begitu, hanya mau yang minimal. Jangan tertipu.

Begitu pun jika ada orang kaya bersedekah, kita pun tidak perlu berlebih-lebihan memujinya. Biasa saja. Apalagi jika orang tersebut hanya mengeluarkan zakat wajibnya.

Kita sering silau terhadap nominal semata, padahal aspek nilainya lebih utama. Selembar uang seratus ribu yang keluar dari kantong seorang konglomerat, bisa jadi hanyalah receh remeh-temeh baginya. Tapi, jika nominal serupa disedekahkan oleh seorang fakir, bisa jadi itu adalah seluruh kekayaan yang ia miliki. Inilah kepicikan kita dalam memandang harta; tidak proporsional.

Cak Dlahom yang terpukul

Yang kelihatan keren, tidak melulu bajik dan bijak. Bahkan, bisa jadi, pemujaan berlebih pada suatu hal adalah tanda ada yang tidak beres di baliknya. Cak Dlahom lagi-lagi menentang paradigma semacam itu, sebagaimana diceritakan dalam kisah bertajuk Dia Sakit dan Kamu Sibuk Membangun Masjid.

Dalam Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya ada satu kejadian yang benar-benar memukul Cak Dlahom, yaitu kematian istri Bunali. Janda tersebut hanya hidup dengan anaknya, Sarkum, sebab suaminya telah lebih dulu wafat. Sehari-hari, beliau bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Lurah. Meskipun Pak Lurah super kaya, bolak-balik umrah tiap tahun, nasib istri Bunali tak kunjung membaik. Sarkum bahkan sampai putus sekolah karena tak ada biaya. Putus asa, janda Bunali lantas gantung diri kemudian.

Esok sorenya, dibersamai oleh Gus Mut, Cak Dlahom menziarahi makam almarhumah. Ia meraung-raung tak keruan. Menangis sejadi-jadinya dan berulang kali memohon ampun atas kekhilafannya yang lalai memperhatikan kenestapaan tetangganya tersebut.

Aksi Cak Dlahom yang tak biasa

Aksi gila Cak Dlahom baru pecah pada waktu subuh berkumandang. Diceritakan dalam Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya, Cak Dlahom menggotong karung berisi tanah makam janda Bunali dan menumpahkannya di halaman masjid. Begitu seterusnya sampai dihentikan Pak RT.

Yang terjadi kemudian adalah ledakan dari mulut Cak Dlahom. Ia tidak menuding siapa pun, tapi menampar seluruh warga kampung, yang sibuk berbangga dengan masjid megah mereka, dengan murkanya. Kejadian nahas tersebut membuat semua orang terdiam dan tersadar bahwa mereka telah sama-sama bersalah karena abai terhadap nasib tetangga mereka.

Kita tahu, membangun ataupun memugar masjid merupakan hal baik. Namun, pengamalannya pun harus tepat dan bijaksana. Spiritualitas yang genap adalah hasil dari saleh ritual dan saleh sosial. Urusan vertikalmu dengan Tuhan, biarlah kamu seorang yang tahu dan peduli. Tapi, jika tetanggamu mati kelaparan dan tidak bisa sekolah, segera periksa kalbumu itu; masih berfungsi ataukah sudah mati.

Seperti kata Cak Dlahom dalam Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya, manusia itu cuma sekantong taek. Yang kamu lihat tentara yang gagah perkasa, supermodel yang seksi bodinya, ataupun para taipan yang berkalung berlian di setiap inci kulitnya, itu tak lebih dari sekantong taek. Itulah yang ke mana-mana kita bawa dan sembunyikan dari orang lain; kotoran. Tak patut bila kita merasa paling suci daripada insan lainnya. Justru semakin banyak “kotoran” yang kita bawa, maka lebih mawas diri kita.

Semakin berkecukupan seseorang, jiwa sosialnya kian layak untuk dipertanyakan. Martabat bukanlah mahkota emas yang melingkar di kepala, melainkan apa yang mewujud murni di balik nurani. Suci, jernih, dan berkilau terang menerjang gelap hati.

Penulis: Lindu Ariansyah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan: Cak Rusdi dan Dedikasinya Terhadap Jurnalisme.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Skor Review 5/5

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

4.5 SKOR

Buku ini menceritakan tentang kehidupan di suatu kampung bersama penduduknya yang memiliki karakter beraneka ragam.

Kelebihan

  • Ringan
  • Jadi bahan merenungkan kehidupan

Detail Review

  • Cetakan
  • Layout
  • Cover

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya di Marketplace

Kami mengumpulkan informasi dari berbagai marketplace

Harga terbaik

Rp.51000
Exit mobile version