Extraordinary Attorney Woo Episode 9: Kritik Atas Kesewenang-wenangan Orang Dewasa Terhadap Anak-anak

Extraordinary Attorney Woo Episode 9 Sebuah Kritik Atas Kesewenang-wenangan Orang Dewasa Terhadap Anak-Anak Terminal Mojok

Extraordinary Attorney Woo Episode 9 Sebuah Kritik Atas Kesewenang-wenangan Orang Dewasa Terhadap Anak-anak (Instagram Netflix Indonesia)

Episode kesembilan drama Korea Extraordinary Attorney Woo semalam dibuka dengan adegan pembajakan bus akademi belajar oleh seorang laki-laki yang mengaku sebagai Panglima Tentara Pembebasan Anak-Anak. Dalam episode ini, Woo Young Woo dan kawan-kawan pengacaranya kedapatan tugas untuk mengawal dugaan kasus penculikan yang melibatkan Sang Panglima.

Jika dibandingkan dengan kasus-kasus sebelumnya, kasus kali ini memang cukup ringan karena nggak ada upaya pelik mencari-cari celah untuk melakukan pembelaan seperti biasanya. Pun Sang Panglima sebagai terdakwa terlampau kooperatif menghadapi tuntutan jaksa seolah nggak butuh pembelaan. Dia terlihat sangat percaya diri dengan kesahihan prinsip yang dianutnya. Namun, justru kasus kali ini mengandung sindiran pedas terhadap pola asuh yang diterapkan para orang tua kepada anak-anak mereka.

Sesuai tajuknya, Si Peniup Seruling, episode Extraordinary Attorney Woo kali ini merupakan metafora dari cerita rakyat Jerman berjudul Peniup Seruling dari Hamelin yang terkenal itu. Walaupun ceritanya nggak dibuat sama persis, setidaknya keduanya punya gagasan yang sama, sindiran terhadap kesewenang-wenangan orang dewasa yang ujung-ujungnya merugikan anak-anak.

Nggak ada adegan yang mempertontonkan kesaktian sebuah seruling yang mampu menghipnotis makhluk hidup untuk mengikuti ke mana pun Si Peniup Seruling pergi. Dalam drama ini, Sang Panglima mengandalkan sifat humorisnya sebagai daya tarik agar anak-anak mau mempercayainya. Pun tujuan pembajakan bus yang dilakukan Sang Panglima—yang memiliki nama asli Bang Gu Ppong—ini bukanlah pembalasan dendam atas sakit hatinya kepada orang dewasa yang ingkar janji sebagaimana yang dilakukan Si Peniup Seruling, melainkan untuk membebaskan anak-anak dari keseharian yang suram.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat stres masyarakat Korea Selatan amat tinggi. Bahkan tingkat bunuh diri penduduk Negeri Gingseng ini menempati peringkat nomor satu di dunia. Hal ini membuktikan betapa kerasnya kehidupan di Korea Selatan. Sejak kecil, anak-anak di sana dituntut untuk belajar gila-gilaan. Pulang tengah malam dari study cafe atau akademi adalah hal yang sangat lumrah. Padahal sejak pagi mereka sudah belajar di sekolah. Setidaknya inilah realita sosial yang sering digambarkan berulang kali dalam berbagai judul drama.

Menurut saya, akademi belajar yang diceritakan dalam drama Extraordinary Attorney Woo episode 9 ketatnya sudah menyaingi pendidikan tentara. Lha, mosok anak SD dikunci di ruang kelas bimbel dari pukul 15.00-22.00 cuma buat belajar dan ngerjain soal? Nggak ada waktu istirahat apalagi makan. Bahkan izin buang air lebih dari dua kali adalah tindakan ilegal. Wah, tentunya beda banget dengan kehidupan anak SD di sini yang masih sempat main TikTok dan game online. Masih pula puas rebahan dan bebas makan selaparnya.

Parahnya, sistem belajar yang semengerikan itu sudah mendapat persetujuan secara sadar dari para orang tua. Mereka setuju anaknya dihukum dengan sangat keras jika malas-malasan atau prestasinya menurun. Sepertinya bukan dengan hukuman fisik, tapi lebih ke penambahan beban belajar dan stigma negatif yang dicapkan pada sang anak yang nggak memenuhi “ekspektasi standar”. Intinya, para orang tua ini rela melakukan segala cara termasuk mengorbankan masa kanak-kanak anaknya demi mengejar pretise sebuah nilai di atas kertas.

Akibatnya, anak-anak menjalani hidupnya seperti robot dalam bayang-bayang kecemasan. Mereka dituntut patuh pada sistem yang dibuat sewenang-wenang oleh orang dewasa seolah nggak berhak menentukan sendiri jalan hidupnya. Jika normalnya orang Indonesia baru mengenal kafein dan begadang saat mulai kuliah, anak-anak di Korea Selatan digambarkan sudah mengenal kedua hal yang lekat dengan beban kehidupan itu sejak belia.

Keresahan atas direnggutnya masa kanak-kanak inilah yang membuat Sang Panglima berbuat nekat. Ia membawa anak-anak bolos les ke gunung agar bisa bebas bermain sebagaimana fitrahnya sebagai anak-anak. Sayangnya tindakan ini disalah pahami sebagai upaya penculikan, bahkan lebih jahat lagi sebagai indikasi pedofilia. Yah, reaksi ketakutan para orang tua saat anaknya dibawa bolos oleh orang asing di sini bisa diterima. Saya pun akan takut setengah mati jika mengalami kejadian serupa.

Tapi kembali lagi, tindakan Sang Panglima dalam Extraordinary Attorney Woo sesungguhnya hanyalah sebuah kritik yang patut menjadi refleksi diri untuk para orang tua. Percayalah, kehilangan masa kanak-kanak demi memenuhi suatu ambisi yang belum saatnya itu sangat menyedihkan. Saya sendiri mengalaminya. Bukan karena orang tua saya terlalu ambisius, justru kedua orang tua saya nggak pernah punya ekspektasi muluk-muluk selain pendidikan anaknya lancar dan tamat. Penyebabnya adalah saya sendiri, saya gagal beradaptasi atau mungkin dewasa terlalu dini karena beberapa kondisi. Akibatnya saya cenderung menarik diri dari pergaulan.

Segala hal nggak menyenangkan yang saya alami saat masih kecil saya lampiaskan dengan belajar dan baca buku mandiri di rumah sampai sering diminta berhenti dengan berbagai cara. Memang lebih banyak prestasi yang bisa saya capai di umur itu, tapi saat mulai tumbuh besar saya merasa kosong karena nggak punya banyak kenangan masa kanak-kanak yang berwarna seperti orang kebanyakan. Hal yang saya putuskan sendiri saja bisa membuat saya menyesal, apalagi kalau keputusan itu dipaksakan oleh orang tua? Pasti lebih nyesek. Niat hati mau mendorong anak ke jalan kesuksesan, eh kenyataannya malah si anak merasa hidupnya dihancurkan karena orang dewasa terlampau banyak campur tangan.

Anak-anak harus segera bermain, sehat, dan bahagia sebagaimana isi proklamasi Tentara Pembebasan Anak-Anak yang digagas oleh Sang Panglima dalam drama Extraordinary Attorney Woo semalam. Nggak ada kata nanti, karena saat mereka memasuki universitas, bekerja, dan menikah semuanya akan terlambat. Mereka nggak akan bisa lagi menemukan cara-cara sederhana untuk berbahagia dalam hidup yang penuh kecemasan. Biarkan anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai usianya. Sebagai orang tua tugas kita cukup mendampingi dan mendukung, bukan menyetir hidupnya secara sewenang-wenang.

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Extraordinary Attorney Woo: Menyiasati Fenomena Glass Ceiling ala Woo Young Woo.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version