Sebagai pria yang sering diajak ke mal tanpa tahu mau ngapain, saya ingin mengajukan satu usulan sederhana tapi solutif: tolong hadirkan rental PS di setiap mal. Bukan buat gaya-gayaan, bukan juga demi jadi gamer profesional. Tetapi semata demi menyelamatkan harga diri para pria yang tiap weekend cuma jadi makhluk pasrah. Duduk di kursi pojokan, melotot ke CCTV, sambil jagain tas belanjaan yang bahkan nggak tahu isinya apa.
Sudah terlalu lama kaum pria hidup sebagai “korban belanja terstruktur”. Kami ikut ke mal bukan karena butuh, tapi karena takut dicap kurang suportif. Kami nggak bisa protes karena katanya belanja adalah bentuk quality time. Tetapi faktanya, 80 persen waktu para cewek alias pasangan kami habis buat memilih satu tas yang warnanya cuma beda setengah nada dari tas sebelumnya.
Cowoknya? Duduk. Menunggu. Jadi patung sambil main HP sampai baterai tinggal 3 persen.
Coba bayangkan kalau di setiap sudut mal ada rental PS dengan bilik berisi PS5, sofa empuk, dan headset yang bisa menghalau suara, eh, maksudnya bisingnya mal. Saat pasangan kami muter-muter lantai demi lantai, kami bisa adu FIFA atau main God of War. Semua senang, semua tenang.
Anak-anak punya playground di dalam mal, sementara pria dewasa?
Di mal biasanya ada playground buat anak-anak. Mereka bisa mandi bola, naik perosotan warna-warni, malah kadang ada badut keliling segala. Tetapi buat para pria dewasa? Paling banter tempat duduk kayu keras dekat eskalator dan WiFi yang sambungannya suka PHP.
Padahal kami kan juga manusia. Kami juga butuh tempat bermain. Bedanya, bukan bola plastik, melainkan joystick dan konsol next-gen.
Rental PS di mal bukan cuma ide iseng. Ini bisa menjadi bentuk perhatian pada keseimbangan emosionalversi domestik. Karena yang namanya waktu tunggu harusnya bisa dinikmati dua arah. Kalau pasangan bisa mendapat dopamine dari diskon sepatu, kenapa pria dewasa nggak boleh mendapat adrenalin dari main Tekken sambil ngemil camilan 20 ribuan?
Jangan salah, rental PS dalam mal ini bisa jadi peluang bisnis. Bayangkan, 3 bilik PS per mal, tarifnya 20 ribu per jam, plus opsi membership untuk yang rutin “ikut ke mal tanpa agenda pribadi”. Yang punya mal untung, yang nunggu belanja senang, dan yang belanja pun makin leluasa tanpa ditanyain tiap 10 menit: “Udah selesai belum, nih?”
Bukan pemalas, kami hanya butuh tempat “bernapas”
Stereotipe soal pria dewasa yang ikut ke mal lalu cuma rebahan atau bengong itu sudah terlalu sering jadi bahan lelucon. Tetapi jarang ada yang bertanya: kenapa bisa begitu?
Jawabannya sebenarnya sederhana. Karena memang nggak ada tempat yang benar-benar “ramah pria” di dalam mal. Mal didesain buat berbelanja, makan, dan foto-foto. Bukan buat ngadem sambil mengalihkan perhatian dari keriuhan pilihan warna lipstik dan baju motif kembang.
Kebanyakan para cowok bukan anti-belanja. Kami cuma nggak punya tempat pelarian yang masuk akal saat ikut pasangan ke mal. Kursi taman dalam mal terlalu ramai. Scrolling medsos, baca buku, dan numpang WiFi di food court butuh minimal beli kentang. Makanya kehadiran rental PS dalam mal adalah oase. Solusi bagi kami yang tetap ingin hadir tanpa merasa terasing.
Kami cuma butuh dimanusiakan biar nggak lagi dicap “tukang jaga tas” tiap akhir pekan. Kami juga ingin tetap ikut, tersenyum, dan waras meski harus memutar satu mal tiga kali tanpa belanja apa-apa. Rental PS ini bisa jadi penyelamat kecil dalam dunia konsumtif yang terlalu bising. Kami siap antre, asal colokannya aman.
Rental PS wajib ada di setiap mal demi kewarasan bersama
Sering kali pria dewasa yang ikut ke mal dianggap cuma “numpang duduk” atau “cuma ikut-ikutan”. Padahal kehadiran kami adalah bentuk partisipasi dalam agenda bersama. Kami menemani, kami mengantar, bahkan rela nyari parkiran sambil disuruh “muter satu putaran lagi aja.” Tapi sayangnya, peran ini kerap disepelekan karena kami tak terlihat aktif belanja atau berkomentar soal pilihan warna blush on.
Kalau rental PS tersedia di dalam mal, kami bukan hanya bisa menikmati waktu tunggu dengan cara yang menyenangkan. Kami juga pasti menjadi partner yang lebih tenang dan sabar. Nggak lagi manyun, nggak lagi duduk bengong dekat rak promo, dan pastinya nggak gangguin pasangan dengan pertanyaan, “Kamu tuh sebenernya cari apa, sih?”
Nah, usulan rental PS dalam tiap mal bukan soal ingin kabur dari realitas belanja. Ini soal keadilan waktu dan ruang. Menjadi pria dewasa di era konsumtif ini kadang cukup berat, apalagi kalau cuma diperlakukan sebagai hanger hidup dan tempat penitipan tas berjalan. Maka izinkan kami punya tempat bernapas, pakai stick bukan pakai syal.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Mengenang Bisnis Rental PS yang Sempat Berjaya, Kini Merana.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
