Dahulu saya adalah salah satu pelanggan tetap salah satu rental PS. Saya dan teman-teman sangat sering memainkan gim PS sepakbola. Kalau ramai-ramai, permainan akan dibuat format cup. Masing-masing orang memakai 1 atau 2 tim untuk bertanding. Kalau hanya berdua, langsung bermain saja sampai salah satunya marah-marah karena kalah melulu.Â
Masa-masa itu konsol video gim PlayStation memang sedang jaya-jayanya, menjamur di mana-mana. Pagi, siang, sore, hingga tengah malam rental PS selalu ada pengunjung. Rental PS pun menjadi bisnis yang sangat menggoda.Â
Masa-masa manisÂ
Keterbatasan device pada masa itu membuat rental PlayStation menjadi opsi utama untuk melepas penat dengan bermain gim. Apalagi, gim terbitan pada tahun itu kebanyakan masih bersifat offline dan mengakomodir lebih dari satu pemain. Gim di masa tersebut juga masih berfokus kepada kualitas dan pengalaman bermain. Semuanya tentang skill dan (kadang) keberuntungan. Â
Pada saat itu belum ada yang namanya Loot box, Gacha, atau jenis micro transaction lainnya. Bermain PS pada waktu itu memang tentang berkompetisi, mencetak gol terbanyak dan meledek teman yang skill-nya kurang. Jauh berbeda dengan game saat ini yang isinya hanya lootbox, gacha, dan pamer skin.
Saya amati, sekitar 2010 adalah puncak kejayaan bisnis rental PS. Pada saat itu ada banyak sekali gim dengan pasarnya masing-masing. Anak kecil usia SD biasanya akan bermain Grand Theft Auto atau Dragon Ball Z. Pengunjung yang lebih dewasa biasanya bermain Winning Eleven atau PES. Tidak heran kalau berbondong-bondong orang mengunjungi rental PS untuk melepas penat.Â
Senja kala rental PS
Kecintaan bermain PS mendorong saya membuka bisnis rental PS. Mungkin ini adalah cita-cita seluruh bocah yang gemar bermain gim ya. Namun percayalah, berbisnis rental PS tidak sama menyenangkan dengan bermain PS. Apalagi ketika bisnis ini mengalami senja kala.Â
Saya salah satu orang yang terdampak redupnya konsol video gim PlayStation. Bisnis yang pernah menghidupi saya selama beberapa waktu itu harus gulung tikar. Sejauh pengamatan saya, gim PS redup karena beberapa alasan. Selain kebiasaan bermain gim yang mulai berubahm, biaya operasional yang besar memperburuk keadaan. Jangan salah, perbaikan dan perawatan device, membeli game, hingga token listrik itu tidak murah lho. Belum lagi fasilitas pendukung lain yang juga perlu biaya.Â
Dahulu, biaya operasional bisa ditutup dengan hasil penjualan makanan dan minuman yang dipesan oleh pelanggan. Namun, perkembangan industri game yang lebih fokus kepada single player experience membuat pendapatan dari penjualan makanan dan minuman berkurang drastis. Biasanya bisa menjual 4-5 porsi mie goreng ke satu meja, akhirnya hanya bisa menjual satu porsi saja.Â
Menurunnya pendapatan penjualan makanan dan minuman sangat berdampak bagi pemilik rental PS. Sistem subsidi silang dari penjualan makanan-minuman untuk menutup biaya operasional tidak bisa diterapkan. Menaikkan tarif sewa bisa membuat pelanggan kabur. Kalau tidak menaikkan tarif sewa, layanan yang tersedia tidak maksimal. Ujung-ujungnya pelanggan kabur juga.Â
Serba salah memang bisnis PS di masa-masa itu. Oleh karena itu tidak sedikit yang akhirnya gulung tikar seperti saya. Namun, masih ada beberapa yang bertahan hingga saat ini. Bagi kalian pemilik rental PS yang masih beroperasi hingga saat ini, kok bisa sih? Apakah taji bisnis rental PS masih menjanjikan?Â
Penulis: Agus Miftahorrahman
Editor: Kenia IntanÂ
BACA JUGA Suka Duka Membuka Usaha Rental PS di Desa
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.