Rental Komik: Tempat Menikmati Kultur Pop Jepang Tanpa Ada Stigma Negatif yang Menyertai

Rental Komik: Tempat Menikmati Kultur Pop Jepang Tanpa Ada Stigma Negatif yang Menyertai Kutipan dalam Manga Haikyuu! Tidak Kalah Quotable dari Tweet Fiersa Besari

Zaman saya SD, ada satu cara niteni seseorang itu anak orang kaya atau bukan, yakni dari cara ia mengonsumsi sebuah komik. Jika ia beli dan memiliki komik secara mandiri, berarti ia adalah anak orang kaya. Sedangkan jika mengonsumsi komik dengan cara beli patungan atau nyewa di rental dan taman bacaan, mereka adalah anak orang biasa. Dan sialnya, saya berada dalam kategori kedua.

Sebenarnya, ada dilema luar biasa kala itu. Sebelum saya pusing memikirkan perkataan Žižek bahwa Hegel lebih materialis ketimbang Marx, saya pernah dipusingkan mengolah uang jajan. Mau beli kaset PlayStation 2 di Dino, beli gear Tamiya, atau beli komik. Nahasnya, komik selalu ada di urutan belakang. Pikir saya, toh masih ada rental komik yang berjejeran di sepanjang jalan Kota Jogja. Ternyata, pola pikir seperti ini salah besar.

Pada saat itu, saya lebih mendahulukan membeli gim Ultimate Ninja keluaran terbaru. Di saat yang sama, obrolan di tongkrongan sudah mendiskusikan bahwa Nico Robin berkhianat kepada kru Topi Jerami dan adanya kru baru yang digadang-gadang akan menggantikan Robin. Ada beberapa yang bilang Kaku, Franky, hingga Rob Lucy. Dan saya hanya plonga-plongo lantaran tahunya One Piece masih dalam alur Skypea.

Ada lagi, kali ini dalam jagat Naruto. Ketika bertukar gambar menggunakan piranti Bluetooth adalah hal wajib, saya dipusingkan dengan Naruto yang memakai jubah Akatsuki. Ini maksudnya apa? Apa iya Naruto bakal jadi penghianat dan ikut-ikutan seperti Sasuke? Ya, memang, itu adalah fanart. Namun bocah pada zaman itu dibuat nggak bisa tidur karena mati penasaran menunggu lanjutan animenya yang terus diulang-ulang di layar kaca.

Dua hal inilah yang saya dianggap bahwa konsumsi komik adalah keharusan yang tak bisa diganggu-gugat. Membeli tidak mungkin karena uang jajan saya meronta tahu diri. Dan rental komik yang menyewakan lima ratus rupiah per komik terbitan lama dalam jangka waktu seminggu, dan 1.500 rupiah per komik baru dalam jangka waktu tiga hari saja, adalah jawaban dari keresahan dunia bocah kala itu.

Di Jogja sendiri rental komik bak jamur di musim hujan. Hadirnya mengisi seluruh relung kota Jogja. Entah itu tahun berapa, yang jelas saat itu masih ada bis Kopata dan Aspada yang masih saling salip mencari penumpang. Mulai dari rental yang besar seperti KK Book Rental hingga yang kecil dan dikelola secara mandiri seperti Rental Komik Ceria yang dimiliki oleh Mbak Dalisah di depan Pamela 5, Jalan Lowanu, Jogja.

Tumbuh suburnya rental komik, mau tidak mau, harus diakui lantaran mencuatnya nama Dragon Ball, Conan, Inuyasha, Naruto, dan One Piece dalam jagat layar kaca Indonesia. Animasi yang tidak terselesaikan, menggantung begitu saja, menjadikan membaca komik adalah pelampiasan. Ingat betul harga komik baru pada saat itu nggak murah-murah amat. Terbitan Elex harganya sepuluh ribu, sedangkan M&C ada di angka 12.500 rupiah. Sedangkan Level dan Sakura, jika tidak salah, komik terbitan ini tidak dijual di toko-toko besar.

Adanya dua hal yang saling mendukung, industri komik berkembang dengan pesat. Di Jalan Lowanu saja, yang menjadi pesaing Mbak Dalisah ada sekitar dua kios rental komik lainnya. Satu di dekat perempatan Taman Siswa dan satunya lagi dekat Sorosutan. Anehnya, tiga rental ini selalu ramai dan memiliki basis massa yang sama-sama kuat.

Rental dekat perempatan Taman Siswa, basis massanya kebanyakan berasal dari Jalan Perintis Kemerdekaan, Umbulharjo dekat terminal lama. Sedangkan rental Sorosutan, datang dari warga Sorosutan itu sendiri. Dan Rental Komik Ceria, kebanyakan datang dari pinggiran Bantul seperti Tamanan dan Banguntapan.

Saya paham persebaran ini karena punya banyak teman yang memiliki rental komik andalan masing-masing. Jika ditelisik lebih jauh, saingan mereka sebenarnya bukan dari sesama rental komik, tapi dari rental kaset film yang kualitasnya kebanyakan format CAM. Tak kalah menjamur di Jogja, menengok jika kumpul-kumpul, film menjadi pilihan utama ketimbang membaca. Menjamurnya situs download film, membuat rental kaset film harus tumbang lebih awal.

Saya ingat betul rental komik Ceria adalah tempat yang kecil seperti kelontong pinggir jalan. Penjaga rental, Mbak Dalisah itu sendiri, ia selalu membaca komik keluaran terbaru dan galaknya bukan main. Bayangkan saja, para bocah duduk di bawah dan menunggu si mbaknya ini selesai membaca sebelum rebutan untuk menyewa. Saya salah satunya. Namun, sifat Mbak Dalisah berubah seratus persen ketika yang menyewa komik-komiknya ini adalah anak SMA atau kuliahan.

Di sana, saya menemukan komik-komik lain selain Naruto dan One Piece. Ada Shaman King, Gash Bell, CMB, Kung Fu Boy, hingga Rave. Di sana pula saya menemukan komik super tebal bernama Shonen Magz dan Shonen Star. Jebul, isi komik itu adalah bundle weekly dari beberapa komik yang tentunya menarik untuk disimak.

Dan pada saat itu, muncul sebuah teori, komik yang belakangnya ada tulisan “shonen jump” itu adalah komik yang bagus. Dari sinilah saya terjebak dalam zona mainstream hingga saat ini. Yang bacaannya hanya itu itu saja, tapi saya menikmati ini.

Di sana juga ada manhua, komik Hongkong seperti Tapak Sakti ukuran kertasnya lebih besar dan lebih bagus. Harganya sewanya pun tentu jauh lebih mahal dari manga. Juga komik barat macam Smurf, Lucky Luke, dan komik-komik Marvel.

Di tempat ini pula saya paham betapa menariknya komik terbitan Sakura dan Level. Komik yang sulit dicari di toko-toko besar. Selain cerita banyak yang menarik, manga yang diterbitkan di penerbit Level maupun Sakura kebanyakan menampilkan adegan dewasa baik itu gore, kekerasan hingga erotis. Untuk terbitan Sakura, jangan tanya kualitas kertas lantaran saking tipisnya, kita bisa melihat cetakan di halaman berikutnya.

Belum ada istilah Wibu dan semacamnya. Selain Doraemon dengan pintu ajaibnya, kami belum tahu apa itu issekai. Waifu kami pada saat itu, berkutat antara Nami atau Vivi. Robin bukan pilihan karena majalah Animonster menjelaskan umurnya sudah jauh ketimbang kami yang masih kinyis-kinyis. Menyukai Nami dan Vivi, pada saat itu adalah hal wajar, sebelum muncul menjadi stigma menjijikan kala Emilia, Rem dan koleganya datang. Sejatinya hal itu biasa saja.

Bukan bermaksud menyamakan, tapi ketika tempat ibadah memberikan perlindungan kepada umatnya, maka rental komik memberikan payung kehidupan untuk para penikmat kultur pop jejepangan. Sebelum kami kenal apa itu cosplay, kami juga pernah melakukannya. Lebih sederhana memang, yakni adu jurus Chidori dan Rasengan sebelum Mbak Dalisah mengusir kami lantaran terlalu ribut. Dan itu selalu baik-baik saja, bersandingan dengan mereka yang mulai menyukai kultur pop barat.

Sebelum istilah bau bawang menyerang, kami selalu menunggu Mbak Dalisah ketika membuka komik baru yang harumnya bukan main menyegarkan. Lalu tradisi yang hampir dilakukan di tiap rental komik, yakni menjepret dengan staples pinggiran komiknya. Hal ini dilakukan agar bocah-bocah seperti kami tidak merusak komik baru tersebut. Dan semua itu sungguh menyenangkan.

Mungkin rental komik adalah musuh para mangaka. Gara-gara menjamurnya rental, semua memilih untuk menyewa ketimbang membeli. Istilahnya satu komik yang terjual dari toko, yang membaca lebih dari seratus orang. Namun, lambat laun, musuh sesungguhnya muncul. Yakni sang raja terakhir, scan komik ilegal. Membuat mangaka patut bersyukur setidaknya seratus orang ini membaca komik resemi, bukan komik bajakan yang muncul di situs-situs ilegal pada masa kini.

Bisa saja para mangaka males membuat komik lagi lantaran capek. Bagaimana nggak capek, mereka bergelut tiap waktu untuk mengisi majalah komik mingguan, tapi dalam hitungan jam, karyanya sudah beredar di situs scan ilegal. Bersama hadirnya situs baca komik ilegal, rental komik runtuh kedigdayaannya. Satu persatu hilang, menjual koleksinya ke Shopping Book Center atau ke kolekter dengan harga sangat miring.

Tiap saya pergi ke Shopping Book Center di Taman Pintar Yogyakarta, saya selalu menyempatkan membeli beberapa komik bekas. Setelah dibuka halaman per halaman, semua berasal dari rental buku yang telah binasa eksistensinya. Ribuan komik banyaknya, bertuliskan masing-masing di mana “rumah” yang dahulu menampung mereka. Seperti Taman Bacaan Shinichi, Rental Komik Donal, hingga nama-nama rental yang dulu berjaya, kini nampak abadi walau hanya berupa stempel logo dalam tiap lembar halamannya saja.

BACA JUGA Rekomendasi Manga yang Layak Dijadikan Teman Rebahan atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version