Merawat ruang berkesenian adalah salah satu upaya untuk melestarikan karya. Bagi para pelaku seni, hal ini adalah keharusan yang tak bisa ditinggalkan. Bagi saya pribadi, orang-orang yang menyukai seni apa pun bentuknya harus ikut andil dalam menjaga wadah atau ruang berkesenian. Relasi Bunyi, adalah salah satu contoh acara yang berusaha untuk menjaga wadah berkesenian.
Tak bisa dimungkiri, keistimewaan Jogja selain atmosfer menenangkan dan lampu kota yang membuatmu terbang dalam ketenangan, adalah melting pot kesenian. Orang dari kota mana pun akan meleburkan dirinya di dalam dunia kesenian Jogja, entah sebagai penikmat atau pelaku. Menurut saya, inilah keistimewaan yang paling istimewa di Jogja ini.
Relasi Bunyi adalah wadah kesenian yang digagas oleh Komunitas Sakatoya. Relasi Bunyi adalah suatu upaya yang dihadirkan untuk menambah ruang kesenian atau interaksi kesenian yang kadang jadi hal yang langka di Jogja. Sebentar, bagaimana bisa kota yang jadi melting pot seni dari banyak kota bisa kekurangan ruang kesenian? Akan saya jelaskan maksudnya.
Pelaku seni muncul dalam berbagai bentuk. Untuk musikus saja, ada banyak jenis musikus yang muncul di Jogja. Dari session player, musikus indie, musikus wedding, pengamen, komposer, dan lain-lain muncul di Jogja. Mereka membentuk sirkel-sirkel sendiri yang terkadang mempersempit gerak mereka. Hal itu memang tidak salah, toh pertemanan akan membentuk wadahnya sendiri, tapi jika kita bicara tempat untuk menyampaikan karya, segmentasi ini menjadikan kegiatan seni itu terpecah di banyak tempat. Interaksi antarseni yang tidak terfasilitasi akan menjadikan para pelaku seni kurang guyub.
Definisi dan realisasi guyub setiap orang beda-beda, saya tahu, kebutuhan guyub pun berbeda. Tapi, jika saya bisa berpendapat, kurangnya guyub akan membuat kesenian menjadi stuck di tempat yang sama. Terobosan dalam karya akan susah muncul jika pertukaran ide tidak terjadi sebagaimana mestinya.
Relasi Bunyi berusaha memberikan ruang untuk interaksi banyak bentuk seni dalam bentuk yang santai. Acara tersebut memberikan apa yang sering musikus—terlebih yang muncul dalam kampus yang memunculkan banyak seniman—idamkan, yaitu tempat manggung.
Saya sendiri merasakan bahwa kampus saya yang menjadikan seni sebagai napas kehidupan mahasiswa saja kurang menyediakan tempat untuk berkarya. Ketika keluar kampus jadi pilihan, saya tahu bahwa saya akan bersaing dengan banyak band yang punya kasus yang sama, namun ruang yang ditawarkan begitu sedikit. Ruang-ruang yang ada pun sudah tersegmentasi. Tentu saja ini bukan curhatan saya yang susah manggung, tapi hanyalah contoh bagaimana ruang kesenian untuk bersenang-senang kadang susah dicari.
Relasi Bunyi menangkap kegelisahan-kegelisahan yang ada. Komunitas Sakatoya bukanlah komunitas yang baru menggarap sedikit event kesenian, jadi ketika mereka menelurkan acara tersebut, saya yakin bahwa acara tersebut adalah anak yang lahir dari kegundahan orang-orang yang mampir di benak mereka.
Sekat-sekat yang dihilangkan dalam acara tersebut menjadikan acara tersebut adalah suatu acara yang tidak boleh dilewatkan dan harus diberi perhatian. Sekat terkadang memberikan kita rasa tumpul dalam apresiasi. Saya rasa tidak ada hal yang lebih celaka selain hidup di Jogja namun asing dalam apresiasi dan memahami seni karena terjebak dalam sekat?
Ruang yang ditawarkan bisa dimanfaatkan oleh banyak musikus atau pelaku seni lain untuk menunjukkan karya mereka yang selama ini masih dalam kandungan. Karya yang tak kunjung lahir akan membusuk dan menggerogoti si peracik karya hingga tak lagi ingin berkarya semata karena tak ada ruang. Jangan salahkan si pembuat karya yang lemah, catat ini dulu. Tidak semua punya kekuatan dalam berkarya yang sama, selagi ruang untuk berkesenian bisa dibuat dan selalu dijaga, kenapa harus mengutuk mentalitas?
Maka dari itu, Relasi Bunyi adalah acara yang patut untuk dilihat, didatangi, dan diapresiasi dengan tepuk tangan yang meriah. Dari sekian banyak orang yang datang ke Jogja dan terpukau akan kemungkinan menelurkan karya, jarang ada yang berpikir untuk merawat ruang dan memberikan wadah. Dan ketika ada sekelompok orang yang ingin menjaga marwah (cie) kesenian dengan memberikan tempat untuk karya lahir dan dinikmati oleh indra manusia, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menjadi penonton untuk menjaga napas sekelompok orang tersebut.
Sebab, apresiasi—setidaknya bagi saya—adalah zat yang dibutuhkan bagi paru-paru pelaku seni agar otak mereka penuh dengan inspirasi.
BACA JUGA Panduan Memahami Bagaimana Hokage Dipilih dan artikel Rizky Prasetya lainnya.