Selamat datang di Jogja, daerah istimewa yang penuh dengan keindahan. Ada keindahan budaya, alam, bahkan sejarah. Setiap sudut Jogja selalu romantis bagi mereka yang ingin berwisata dan healing dari penatnya pekerjaan. Warganya ramah, penuh senyum, dan cinta.
Jarene, sih, ngono. Kenyataan memang sering membuat kecewa.
Tapi, bukan berarti Jogja seburuk itu. Jogja tetap romantis dan penuh keindahan. Meski di balik keindahan, pasti ada yang tidak indah. Di balik keelokan sebuah destinasi tempat wisata Jogja, pasti ada sisi gelap yang ditutupi.
Apalagi bicara Jogja yang memang penuh ketimpangan. Meskipun disebut daerah istimewa, bukan berarti kehidupan rakyatnya ikut istimewa. Sudah sampai bosan saya bilang kalau Jogja penuh masalah. UMR rendah, gentrifikasi, sampai klitih tidak pernah usai di Jogja. Mungkin, inilah kenapa Jogja istimewa. Jarang lho ada tempat yang indah dan elok, tapi penuh ketimpangan dan marabahaya.
Menurut saya, untuk merasakan liburan yang Jogja banget, semua keindahan dan problemaritas harus dirasakan. Kalau cuma yang romantis, daerah lain ada. Tapi kalau yang romantis serta penuh kesenjangan sosial, Jogja yang punya. Kalau Anda ingin merasakan tempat wisata yang Jogja banget, romantis di antara ketimpangan, berikut adalah rekomendasi saya sebagai warga asli Jogja.
#1 Malioboro
Lho, Malioboro apa penuh ketimpangan? Bukankah ini adalah destinasi tempat wisata Jogja yang paling utama? Mungkin itu pertanyaan Anda. Tapi percayalah, Malioboro adalah perpaduan nuansa romantis dan ketimpangan sosial.
Di setiap jengkalnya, Anda akan bertemu para pedagang oleh-oleh yang terhimpit karena pandemi. Bukannya dapat dana segar untuk melangsungkan hidup dan usaha, mereka malah mendapat pinjaman berkedok bansos. Itu pun harus ikut koperasi dan terjebak birokrasi ini itu.
Bukan kelompok pedagang kaki lima saja yang jadi simbol ketimpangan dan krisis di Jogja. Para tukang becak dan kusir andong juga. Bahkan beberapa tukang becak memilih untuk mengemis dengan membawa spanduk memohon yang menyayat hati. Itu pun mereka masih harus tidur melawan dingin di dalam becak. Dan di saat yang sama, para wisatawan sedang menikmati kamar hangat di hotel yang menghisap air tanah.
#2 Jembatan Sayidan
“Di Sayidan, di jalanan, angkat sekali lagi gelasmu kawan,” kata Shaggydog. Band asli Jogja ini ikut mengangkat citra Sayidan yang berada di bantaran Kali Code. Lho kenapa harus diangkat? Apakah kampung di jantung kota Jogja ini tidak seindah titik nol kilometer yang cuma sekilo lebih dikit jaraknya?
Ya, Sayidan memang perkampungan kumuh. Meskipun ketika di foto terlihat seperti Favela, tapi ketimpangan sosial nyata hadir di sana. Ketika Anda selfie di bawah tulisan Sayidan, di baliknya ada warga miskin yang berhimpit di pemukiman hampir kumuh. Tentu dengan biaya hidup yang seharga UMR Jogja bahkan kurang.
Itu pun masih dibalut krisis agraris. Tanah yang sejatinya Sultan Ground mulai terusik rencana pembangunan hotel dan apartemen. Warga Sayidan sendiri sedang gotong royong menolak adanya jual beli tanah di ruang hidup mereka. Ah Jogja, kapan tidak terganggu dengan krisis agraria.
#3 Garis Pantai Gunungkidul
Gunungkidul adalah tempat wisata Jogja yang menyediakan pantai indah nan under developed. Di antara indahnya pantai pasir putih dan tebing karang indah, ada masyarakat yang hidup dengan upah minimal terendah di Indonesia. Benar lho, Gunungkidul adalah daerah dengan UMR terendah di Indonesia.
Gunungkidul memang kabupaten dengan UMR terendah se-Indonesia. Dengan upah sebesar satu juta tujuh ratus lebih dikit banget, tentu akan timpang dengan wisatawan yang datang. Dan dengan masifnya pembangunan pariwisata, UMR Gunungkidul tetap kembang kempis. Di antara spot selfie di puncak gunung itu, ada warga yang berpotensi terjebak garis kemiskinan.
Begitulah Jogja. Ia memang sangat istimewa di tengah berbagai pariwisata dan ketimpangannya.
Sumber Gambar: Unsplash.com