Rapid test bikin kelulusan tertunda. Merana….
Sebagai mahasiswa kesehatan, saya cukup sadar betapa mengancamnya pandemi Covid-19 ini. Tapi, life must go on. Tidak ada gunanya menyalahkan pemerintah yang lambat bersiaga waktu dulu kasusnya baru muncul dua biji di Indonesia. Yah meskipun kesalnya masih tersisa di lubuk hati yang paling dalam sih, hehe.
Dan sekali lagi, life memang must go on. Tidak terkecuali buat mahasiswa tingkat akhir yang tinggal seuprit lagi harusnya bisa lulus, tapi terpaksa delayed gara-gara Covid-19. Terpaksa bayar UKT lagi deh. Rasanya tuh kayak lagi download film dan failed pas udah 99%. Nyesekkk.
Maka dari itu, begitu pemerintah menerapkan new normal, para mahasiswa tingkat akhir rasanya pengin buru-buru menuntaskan semua yang harus dituntaskan. Yang lagi di kampung pengin segera balik ke kota perantauannya, menyudahi liburan yang bikin nggak tenang ini. Biar nggak tertunda lagi, kalau pahit-pahitnya (amit-amit) ada gelombang kedua Covid-19 dan terpaksa PSBB lagi.
Tapi eh tetapi, tidak semudah itu….
Namanya juga new normal. Kenormalan baru. Adaptasi Kebiasaan Baru. PSBB transisi. Dan istilah-istilah sejenis yang didefinisikan sebagai kehidupan normal dengan beberapa modifikasi untuk menyesuaikan dengan kondisi pandemi Covid-19 ini.
Salah satu modifikasinya adalah peraturan perjalanan keluar kota. Buat memastikan bahwa mereka yang dibolehkan bepergian antar-kota hanya mereka yang sehat dan bebas Covid-19, dibuat persyaratan harus melampirkan bukti bebas Covid-19 berdasarkan hasil swab test dan/atau rapid test.
Sebagai keringanan, boleh juga diganti surat keterangan bebas gejala influenza dari Puskesmas bagi mereka yang di domisilinya tidak tersedia fasilitas swab test atau rapid test. Aturan ini lalu diberlakukan oleh maskapai-maskapai pesawat dan PT Kereta Api Indonesia sebagai penyedia jasa transportasi.
Dari sini aja sebetulnya udah kelihatan ada yang janggal. Masa iya, hasil swab test alias tes PCR yang harganya nggak cukup Rp1 juta itu dianggap setara sama surat keterangan dokter yang notabene sangat subjektif? Terus gimana dengan golongan Orang Tanpa Gejala (OTG), yang dari luar kelihatan sehat tapi bisa aja sebenarnya mereka udah terjangkit virus corona?
Semua serba dilematis bagi pemerintah. Kalau langsung dibebaskan, dikhawatirkan nanti membludak lagi jumlah kasusnya. Tapi nggak mungkin juga terus-terusan PSBB, keburu ekonomi negara mati. Gitu kan, ya? Ceritanya saya masih berpikiran positif waktu itu. Toh saya juga butuh untuk pergi keluar kota.
Siapa juga yang rela bayar UKT hanya untuk nganggur satu semester lagi. Jadi, saya berencana mematuhi peraturan itu. Karena swab test terlalu mahal bagi saya, dan surat keterangan bebas gejala flu dari dokter kurang kredibel menurut saya, saya mempertimbangkan opsi tengah-tengah: rapid test alias tes cepat.
Setelah berselancar di Mbah Google, ternyata rapid test masih terbilang mahal juga. Sekitar 3-4 kali harga tiket kereta yang biasa saya naiki (ada yang bisa tebak kereta apa itu?). Udah gitu jarang ada situs resmi rumah sakit atau laboratorium lainnya yang menyediakan info harga layanan rapid test. Hmm, agaknya saya mager (malas gerak) kalau harus survei untuk cari harga termurah. Mulai jengkel juga, nih.
Setelah beberapa minggu diberlakukan, di berita-berita mulai muncul tanggapan masyarakat tentang kewajiban melampirkan keterangan bebas Covid-19 ini. Yang paling disoroti adalah rapid test. Dia yang paling tinggi peminat, mungkin karena orang-orang berpikiran sama seperti saya: harganya nggak semahal swab test dan cuma butuh waktu singkat. Tapi lama-lama, kewajiban ini merepotkan juga buat orang yang sering bolak-balik keluar kota. Sementara semua surat bukti itu ada masa berlakunya.
Eh, respons pemerintah lebih lucu lagi: hasil swab test yang tadinya berlaku 7 hari, dan rapid test berlaku 3 hari, kini dua-duanya jadi berlaku 14 hari.
Terus logika saya baru mulai jalan. Kenapa ada masa berlakunya, padahal kita bisa terpapar virus Corona di mana aja? Jangankan dalam perjalanan; waktu kita lagi antre untuk rapid test saja bisa terpapar. Waktu lagi nunggu hasil swab test yang keluarnya bisa 2-3 hari kemudian, bisa aja kita terpapar. Kalau begitu, apa para penumpang itu masih bisa dijamin bebas Covid-19?
Belum lagi kualitas hasil rapid test dan swab test yang lumayan timpang. Begini, rapid test itu fungsinya mendeteksi antibodi IgG dan IgM yang dihasilkan tubuh kalau diserang virus corona. Masalahnya, antibodi-antibodi itu baru muncul berhari-hari setelah terinfeksi virus. Apalagi antibodi itu tidak spesifik untuk virus corona; bisa aja tubuh kita menghasilkan antibodi itu karena terinfeksi virus lain dan bukannya corona.
Beda dengan swab test yang tujuannya mengidentifikasi si virus corona itu sendiri. Kalau ada, ya hasilnya positif. Kalau nggak ada, berarti negatif. Makanya jangan heran kalau lihat berita ada orang yang positif Covid-19 setelah tes swab, padahal sebelumnya nonreaktif waktu rapid test.
Lagi-lagi, susah juga memang. Namanya juga penyakit jenis baru. Metode pemeriksaan paling akurat masih cara lama dan mahal. Sementara rapid test sebagai metode skriningnya juga kurang akurat. Khususnya untuk transportasi umum, kalau memang mau memanfaatkan rapid test untuk memastikan bahwa calon penumpangnya bebas Covid-19, harusnya tes dilakukan tepat sebelum keberangkatan dong.
Setidaknya hasilnya lebih aktual. Soal akurasinya yang masih memungkinkan ada orang positif Covid-19 yang lolos dari penyaringan, yah wallahu a’lam. Namanya juga berusaha, hehehe.
Konsekuensinya kalau cara begitu mau diterapkan adalah: para penyedia jasa transportasi umum harus menyediakan fasilitas rapid test itu. Orang jadi nggak usah repot-repot cari tempat rapid test segala kan.
Biar isu rapid test jadi ladang bisnisnya rumah sakit juga bisa ditepis. Eh, tapi nanti malah jadi ladang bisnis pengusaha transportasi ya? Boleh saja pemerintah bikin aturan lagi supaya harga rapid test jadi seragam. Meskipun saya nggak begitu paham kenapa harga rapid test bisa berbeda-beda dengan selisih yang lumayan jauh.
Akhir kata, yang bisa kita lakukan saat ini adalah melanjutkan hidup sambil terus berdoa. Doa saya untuk jangka panjang: semoga vaksin untuk Covid-19 segera ditemukan, supaya wabah ini bisa segera berakhir dan berlalu.
Doa saya untuk jangka menengah: semoga warga Indonesia semakin patuh menerapkan protokol kesehatan, yang konon lebih efektif ketimbang rapid-rapid-an. Atau paling tidak semoga ditemukan alat rapid test yang lebih akurat, sehingga nggak percuma-percuma banget gitu kalau terpaksa merogoh kocek sendiri untuk rapid test.
Doa saya untuk jangka pendek: karena menjadi kewajiban, semoga pemerintah mensubsidi (atau bahkan menggratiskan) rapid test. Atau sekalian sajalah itu aturan dihapuskan. Kasihanilah kami golongan mahasiswa rantau pas-pasan yang tak sampai hati minta ongkos lebih sama orang tua
BACA JUGA Rapid Test Sebagai Syarat Kembali ke Rantau: Pemerintah yang Minta, Rakyat yang Bayar dan tulisan-tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.