Ramalan Zodiak Dipercaya, tapi Agama Tidak. Padahal Konsepnya Mirip lho

Percaya Ramalan Zodiak, tapi Tidak Percaya Agama padahal Konsepnya Mirip terminal mojok.co

Percaya Ramalan Zodiak, tapi Tidak Percaya Agama padahal Konsepnya Mirip terminal mojok.co

Di lini masa medsos saya sempat ramai soal agama vs zodiak. Semua ini bermula dari sebuah potongan video yang beredar. Dalam video tersebut, tiga orang influencers berbincang soal ramalan zodiak. Yang satu meminta kawannya menerawang kepribadiannya. Satu kawan lainnya menerawang perihal romantic relationship-nya. Diskusi berlangsung dengan bahasa Indonesia dan campuran aksen Jakselian English yang khas.

Kemudian netizen lain bereaksi dengan melempar ungkapan yang menggelitik, “Agama diragukan, zodiak dipercaya.” Saya pun ikut ngakak.

Siapa sangka ternyata respons dari netizen ini mengundang banyak netizen lainnya untuk mengungkapkan ide yang sama, kenapa ada orang yang skeptis terhadap agama, tapi di sisi lain memercayai ramalan zodiak?

“Loh, ya agama dan zodiak beda dong, Bos!” Anda mungkin akan berkata demikian. Akan tetapi, sebentar dulu, sadarkah kita kalau agama dan zodiak merupakan sama-sama sistem kepercayaan? Dua-duanya bersifat abstrak. Tiada bentuk nyatanya. Dua-duanya adalah bentuk belief, yang dipercaya oleh pengikutnya masing-masing.

Lalu, permasalahannya di mana? Usut punya usut, salah satu influencers dalam video tersebut merupakan influencer yang sempat skeptis atau mengkritisi agama-agama yang ada. Di akun medsos pribadinya, dia sempat menulis kurang lebih seperti berikut: “Tau nggak sih kalian kalau agama itu buatan manusia?”

Melihat seorang influencer yang mengkritisi agama institusional yang sudah terbangun selama berabad-abad, tapi di sisi lain mendiskusikan perihal ramalan zodiak dengan serius tentu adalah sebuah pemandangan yang lucu. Maka wajarlah saya ngakak. Situasi ini tampaknya pantas dideskripsikan oleh peribahasa “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak”. Dari sini pulalah celetukan “agama diragukan, zodiak dipercaya” dari netizen berasal.

Lha, keduanya sama-sama bentuk kepercayaan, kok. Sebuah sistem kepercayaan hampir selalu melibatkan eksistensi entitas yang lebih tinggi dan powerful dari manusianya sendiri. Entitas ini memiliki konsep dan nilai-nilai tertentu yang dipercayai oleh pengikut-pengikutnya. Dalam agama, figur Tuhan adalah entitas itu. Dalam horoskop, entitasnya berupa bintang-bintang.

Dalam agama Islam, misalnya, dikenal konsep lauhul mahfudz, sebuah kitab abstrak yang di dalamnya tercatat segala peristiwa mengenai alam semesta beserta isinya, termasuk ketetapan takdir individu manusia. Lha, ya zodiak juga sama saja. Ahli-ahli astrologi percaya kalau posisi benda-benda langit bisa memperkirakan takdir masa depan dan memengaruhi kepribadian serta kehidupan seseorang.

Tapi, ya sudahlah. Manusia pada dasarnya memang begitu, akan selalu butuh entitas di luar dirinya yang lebih powerful karena kita semua tahu dari lubuk hati terdalam kalau kita ini adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Kita tidak mampu dan tidak akan pernah mampu mengontrol segala hal.

Bedanya, yang religius menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Pencinta horoskop menyerahkan segalanya kepada ramalan zodiak. Kaum edgy Indonesia menyerahkan segalanya pada semesta dengan mengatakan “biarkan semesta bekerja”. Tapi, ya balik lagi, baik Tuhan atau zodiak atau semesta adalah entitas superior yang kita percaya bisa memberi pertolongan pada manusia yang tak berdaya ini.

Dari sini, kita belajar kalau manusia tidak akan pernah lepas dari belief, atau setidaknya faith. Kepercayaan abstrak ini sejatinya bukan hanya sekadar kebutuhan, akan tetapi juga keniscayaan. Maksudnya, terdapat sisi psikis yang senantiasa selalu ada dalam diri manusia di mana figur-figur abstrak semacam Tuhan bersemayam. Secara psikologi, manusia memang didesain demikian.

Bapak psikoanalisis modern Sigmund Freud mengemukakan kalau manusia mempunyai tiga tatanan psikis: alam bawah sadar, alam sadar, dan superego (nilai-nilai dari luar diri yang diserap oleh diri sehingga menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh sebagai prinsip). Sederhananya, entitas superior macam Tuhan beserta nilai-nilainya berada pada tatanan superego ini karena berasal dari luar diri.

Namun, jangan salah, tatanan psikis dalam diri ini bukan tempat tinggal Tuhan, melainkan tempat tinggal “figur” Tuhan. Kenapa figur? Sebab figur ketuhanan dan nilai-nilainya yang bersifat abstrak bisa diganti oleh figur-figur abstrak lainnya.

Sebagai contoh, kalau nggak percaya eksistensi Tuhan, Anda bisa mengisi kekosongan ruang superego ini dengan figur-figur abstrak lainnya seperti ideologi, ilmu pengetahuan, nilai tukar uang, semesta, termasuk horoskop—atau apa pun yang menurut Anda bernilai abstrak, superior, dan mampu menolong ketidakberdayaan Anda sendiri.

Nilai-nilai entitas superego ini kemudian Anda serap ke dalam diri sehingga menjadi prinsip hidup yang dipegang kuat. Dengan demikian, Anda akan menjalani kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai superego yang Anda anut.

Kalau religius, misalnya, Anda akan memandang kehidupan berdasarkan agama yang Anda peluk. Nilai-nilai agama itu akan tampak dari cara Anda memilih makanan, berbicara, berpakaian, dan menilai baik-buruk suatu hal.

Contoh lain, kalau berhaluan ideologi feminisme, Anda akan melihat segala hal dari sudut pandang feminisme. Seorang feminis punya indikator nilai baik-buruknya sendiri. Bagi seorang pria feminis, misalnya, melakukan catcalling dan melempar guyonan misoginis adalah buruk nilainya dan tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur feminisme sehingga harus dihindari, seperti muslim taat yang harus menghindari maksiat seks bebas karena dalam agamanya itu bernilai buruk.

Termasuk ketika Anda “menuhankan” horoskop atau ramalan zodiak. Anda akan memandang segala aspek kehidupan berdasarkan zodiak. Anda akan menilai seseorang berdasarkan zodiaknya, Anda akan menilai sifat diri yang buruk karena zodiak Anda, peruntungan, keuangan, dan karier Anda digantungkan pada zodiak, begitu pula perihal hubungan asmara Anda. Begitu seterusnya.

Konsep Tuhan, ideologi, dan zodiak sama-sama bersifat abstrak. Anda boleh saja mengaku tak bertuhan dan tak beragama. Namun, bisa jadi di sisi lain Anda menjunjung tinggi nilai-nilai abstrak lain seperti zodiak atau ideologi tertentu. Ketika Anda berhaluan ideologi tertentu dan memercayai horoskop, bagi saya itulah “agama” Anda walau Anda tak memeluk suatu agama yang sudah terinstitusionalisasi atau, katakanlah, “resmi”.

Intinya, agama dan zodiak sebetulnya punya kesamaan konsep dan fungsi. Maka wajar kalau netizen, termasuk saya, ikut ngakak melihat influencer yang tampaknya nggak sadar akan kesamaan-kesamaan ini. Pada akhirnya, diskusi fancy dan edgy mengenai zodiak hanyalah Ilmu Nujum 4.0.

BACA JUGA Jangan Kaget, Artikel Ramalan Zodiak Emang Sering Ditulis sambil Ngarang Bebas kok

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version