Quiet Firing: Langkah Pengecut Perusahaan yang Amat Merepotkan

Quiet Firing: Langkah Pengecut Perusahaan yang Amat Merepotkan

Quiet Firing: Langkah Pengecut Perusahaan yang Amat Merepotkan (Pixabay.com)

Dunia kerja dengan segala dinamikanya nyaris selalu menawarkan persoalan yang menarik untuk dibahas. Salah satunya adalah quiet firing. Belakangan, istilah ini sempat ramai menjadi bahan perbincangan para pekerja di semesta LinkedIn, karena sebagian pekerja merasa relate, pernah mengalami secara langsung, atau paling tidak diceritakan oleh rekan kerjanya.

FYI, quiet firing adalah momen di mana atasan atau perusahaan diam-diam memaksa karyawannya untuk resign dengan menciptakan situasi dan/atau lingkungan kerja yang nggak nyaman, toxic, dan sebangsanya. Pada titik tertentu, sebaik apa pun pencapaian kalian sebagai karyawan, bahkan tidak dilihat atau dihargai sedikit pun. Sederhananya, kerjaan lagi jelek dicerca, tapi ketika bagus nggak jadi bahan cerita. Sebagian lainnya menyebut bahwa konsep quiet firing sama halnya seperti istilah “politik kantor”.

Jika kalian sudah memahami konteksnya, merasa familier atau pernah mengalami, dan merasa quiet firing sangat-sangat-sangat menyebalkan sekaligus membikin kalian pengin misuh sambil teriak “Bajingan!”, tenang, kalian nggak sendirian.

Pada dasarnya, quiet firing memang menyebalkan. Bagi saya, bahkan nirprofesional. Lantaran, atasan atau perusahaan seakan-akan mencari gara-gara, menciptakan perkara yang nggak perlu, agar karyawan merasa nggak betah. Sampai akhirnya, karyawan tersebut memutuskan untuk resign dalam keadaan terpaksa—karena situasi dan kondisi di kantor yang jauh dari kata nyaman.

Kenapa quiet firing dirasa sangat menyebalkan bahkan terkesan nggak profesional?

Begini. Jika memang seorang atau beberapa karyawan tidak lagi dibutuhkan eksistensinya di suatu perusahaan dengan berbagai alasan atau faktor, apa pun itu (kondisi finansial perusahaan yang sedang kurang sehat, efisiensi, dll.), disukai maupun tidak oleh para karyawan, sebaik-baiknya cara adalah dikomunikasikan. Disampaikan secara terbuka. Agar tidak ada prasangka, asumsi, sekaligus gesekan yang tidak perlu antara perusahaan dan karyawan.

Selain itu, quiet firing terkesan tidak profesional. Lha, gimana. Sama-sama sudah dewasa, sama-sama ada di ranah profesional, masa proses penyelesaian masalahnya menggunakan langkah pengecut sekaligus merepotkan, sampai membuat karyawan nggak nyaman segala?

Jika di antara kalian ada yang bertanya-tanya kenapa quiet firing bisa terjadi atau sengaja diciptakan, beberapa alasan yang paling umum di antaranya:

Pertama, faktor dislike karena alasan yang subjektif, bukan berdasarkan kinerja. Kedua, tidak ada rencana untuk meningkatkan performa karyawan. Baik dari sisi kompetensi maupun promosi jabatan. Sehingga, perusahaan lebih mengambil opsi mencari karyawan baru. Ketiga, tidak diperlukan lagi.

Dan masih banyak alasan lain yang menyebalkan, padahal untuk solusi dari persoalan tersebut, sebetulnya masih bisa dibicarakan. Suka atau tidak, realitas yang mesti dihadapi di dunia kerja, di sebagian perusahaan, memang demikian.

Lantas, apakah ada cara dalam melawan quiet firing? Tentu saja ada. Saran saya, lawan dengan cara yang berkelas dan atas nama profesionalitas.

Pertama, tetap bekerja sebagaimana biasanya, minimal sesuai dengan deskripsi pekerjaan yang diberikan. Kalau bisa, tetap capai target sesuai dengan yang disepakati. Jika dalam prosesnya kalian diberi tugas ini dan itu sebagai tambahan, coba kerjakan sebaik-baiknya terlebih dahulu. Anggap saja kalian sedang improvisasi diri lewat jalur mandiri sambil menerapkan konsep: take a chance, make a change.

Kedua, jika dalam satu tim sudah menyadari ada kejanggalan ini, terlepas dari apakah yang diam-diam dipecat hanya satu atau beberapa karyawan, utamakan saling back up satu sama lain untuk tetap bisa capai target, maka akan lebih baik. Buktikan bahwa satu dengan yang lain memang sudah solid.

Ketiga, peka. Kalian, sebagai karyawan, nggak ada salahnya untuk menyadari, kapan harus terus berjuang-membuktikan kepada perusahaan bahwa kalian memang layak untuk tetap bekerja-mendapat promosi-atau pendapatan yang lebih baik. Dan kapan harus mengakhiri perjuangan.

Jika memang perusahaan atau atasan masih tetap bersikeras menjalankan praktik quiet firing, sedangkan kalian sudah maksimal dalam bekerja, pilihan dikembalikan kepada kalian: bertahan atau mundur perlahan.

Hal penting yang perlu diingat, pengalaman, usaha, dan perjuangan yang sudah dilakukan, tidak akan pernah sia-sia. Bahkan, bisa dijadikan bekal ketika bekerja di perusahaan lain di waktu mendatang. Setidaknya, bisa lebih siap dan tidak gagap dalam menghadapi persoalan serupa.

Terakhir, sebagaimana dinamika lainnya dalam dunia kerja, quiet firing, mesti dilawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, oleh para karyawan.

Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Begini Rasanya Disingkirkan Pakai TWK dan 4 Alasan Menjadi ASN KPK Itu Terlalu Rumit Dipahami

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version