‘Quarantine Tales’, Film Omnibus Lokal yang Merefleksikan Pandemi

Quarantine Tales, Film Omnibus Lokal yang Merefleksikan Pandemi terminal mojok.co

Quarantine Tales, Film Omnibus Lokal yang Merefleksikan Pandemi terminal mojok.co

Dua hari yang lalu saya menamatkan film omnibus lokal berjudul Quarantine Tales. Omnibus sendiri berarti kumpulan karya dengan story line berbeda yang memiliki satu benang merah. Di Quarantine Tales, sejumlah lima film pendek dari lima sutradara disajikan dengan benang merah kehidupan di masa pandemi.

Film omnibus ini diproduksi oleh BASE film dan dapat kita tonton di situs streaming legal film Indonesia, Bioskop Online. Dengan hanya membayar sebesar kurang lebih Rp10 ribu, kita diberikan 48 jam bebas mengakses film yang kita pilih.

Di Quarantine Tales, berbagai cerita di tengah pandemi tercipta begitu menarik. Keragaman tema, genre, alur, dan pesan, membuat omnibus ini semakin layak untuk ditonton. Omnibus ini juga menawarkan hasil karya lima sutradara dengan keunikan mereka masing-masing. Berikut sekelumit gambaran dan komentar saya untuk masing-masing film dalam omnibus ini.

#1 Nougat – dir. Dian Sastrowardoyo

Nougat adalah film debut Dian Sastrowardoyo sebagai sutradara. Film ini mengisahkan dinamika hubungan tiga saudara kandung di masa pandemi. Usai kematian orang tua mereka, banyak perubahan yang terjadi. Ditambah dengan sifat dan sikap ketiganya yang tentu tak sama. Nougat sendiri adalah variasi rasa es krim, comfort food yang sangat historical dan memorable untuk mereka bertiga.

Drama keluarga ini menjadi pembuka yang cukup baik dalam omnibus Quarantine Tales. Konflik yang terjadi sangatlah dekat dengan keseharian. Selain plot yang dibangun dengan cukup baik, kekuatan film ini juga terletak pada olah peran tiga aktor utamanya yang mumpuni, yakni Marissa Anita, Adinia Wirasti, dan Faradina Mufti. Sebuah debut penyutradaraan yang cukup apik.

#2 Prankster – dir. Jason Iskandar

Jika di bagian pertama penonton disuguhi drama keluarga, Prankster hadir membawa hiburan tersendiri. Prankster merupakan tipikal comedy drama dengan bumbu-bumbu misteri dan membawa serta kejutan di bagian akhirnya. Menonton ini seperti menonton realita yang banyak kita lihat di masyarakat.

Di dalam Prankster, seorang youtuber konten prank terlihat sedang live dengan teman yang dulu pernah ia prank. Sebuah pengamatan cerdik dari Jason Iskandar untuk diwujudkan menjadi film pendek. Dari film ini, akan digelontorkan pula sejauh mana efek prank itu sendiri. Bisa jadi peringatan nih buat yang suka ngeprank.

#3 Cook Book – dir. Ifa Isfansyah

Cook Book tampil di segmen ketiga dalam omnibus ini. Cook Book menceritakan kehidupan seorang chef bernama Halim di masa pandemi. Sebagai seorang chef sukses yang masih hidup melajang, ia menghabiskan hari-harinya di rumah seorang diri. Ia pun membuat buku resep yang nantinya akan diterbitkan. Selain buku resep, ternyata Halim juga menulis novel. Dan dalam proses penulisannya itu, sesuatu yang kelam terjadi.

Cook Book hadir sebagai film drama psikologis yang menyinggung sejarah kelam bangsa Indonesia. Leburnya batas ruang dan waktu menjadi kekhasan film satu ini. Melalui film ini, kita juga dipertontonkan seperti apa pandemi mengisolasi tubuh dan jiwa manusia.

#4 Happy Girls Don’t Cry – dir. Aco Tenri

Happy Girls Don’t Cry arahan Aco Tenri berkisah tentang sebuah keluarga yang baru saja ditinggal meninggal sang anak bungsu di masa pandemi. Keluarga ini terdiri dari sang ayah (Teuku Rifnu Wikana), ibu (Marissa Anita), kakak/anak sulung (Arawinda Kirana), dan adik/anak bungsu (Muzakki Ramadhan).

Usai peristiwa menyedihkan itu, sang kakak mengikuti giveaway yang berhadiahkan komputer mewah. Ternyata kemenangannya mendapatkan hadiah itu justru menimbulkan pilihan-pilihan yang saling bertolak belakang. Film ini begitu apik mengemas fenomena giveaway yang marak belakangan, juga memotret dinamika sebuah keluarga yang terbangun di tengah keterbatasan.

#5 The Protocol – dir. Shidarta Tata

The Protocol menjadi segmen terakhir dalam omnibus Quarantine Tales. Kehadirannya seolah menutup omnibus ini dengan tepat dan ciamik. Hadir sebagai film bergenre komedi gelap, The Protocol mengisahkan dua mantan napi usai menjalankan misinya kembali sebagai perampok di masa pandemi.

Masalah terjadi ketika satu di antara mereka mati mendadak. Sementara itu, si perampok yang masih hidup ini kalang kabut menghadapi kematian rekannya. Ia kebingungan sekaligus ketakutan menghadapi fakta kematian mendadak dan prasangka penyebab kematian rekannya itu. Sidharta Tata sangatlah piawai memadukan unsur humor, horor, dan komedi dalam porsi yang pas. Selain itu, kekuatan film ini juga terletak pada totalitas olah peran Abdurrahman Arif serta scoring/background musik yang unik dan otentik.

Quarantine Tales merupakan terobosan dalam industri perfilman Indonesia. Ia hadir di tengah maraknya film panjang dan film-film pendek. Ia mengambil bentuk sebagai sebuah omnibus yang patut ditonton di masa pandemi ini karena korelasinya dengan pandemi itu sendiri sangatlah kental. Meskipun sebelumnya sudah pernah ada film Indonesia dalam bentuk omnibus, tetapi Quarantine Tales tetaplah menarik untuk dicoba.

Dari kelima film di atas, favorit saya jatuh pada film arahan Aco Tenri, Happy Girls Don’t Cry. Sejauh saya menonton, film ini yang paling menimbulkan mixed feeling pada saya. Kemasan dan pesan yang berjalan bersama dengan begitu padu. Selain itu, secara personal, saya menyukai film-film tersebut dengan urutan The Protocol – Cook Book – Nougat – Prankster. Kalau kamu, paling suka yang mana?

BACA JUGA Tolong, Indonesia’s Next Top Model Jangan Kebanyakan Drama! dan tulisan Maria Monasias Nataliani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version