Efektif dan efisien adalah misi mulia di balik kelahiran metode pembayaran nontunai melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Transaksi digital yang makin masif membuat penggunaan QRIS selalu digencarkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia melalui berbagai sosialisasi. Ya, meski bentuk sosialisasinya sering setengah-setengah dan alakadarnya.
Beberapa teman saya yang seorang pedagang tetap saja kebingungan setelah mengikuti sosialisasi tersebut. Terutama perihal antisipasi terhadap sejumlah kendala. Misalnya, bug atau jaringan internet yang tidak stabil.
Dalam implementasinya, QRIS ternyata mengundang sejumlah masalah dari sudut pandang pedagang. Saking problematiknya, beberapa rekan pedagang bahkan sampai menjadikan QRIS sebagai opsi kedua dan menyarankan menggunakan uang tunai saja ke para konsumen. Nah, beberapa hal merepotkan ini mungkin bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan para pedagang lain untuk tidak menggunakan QRIS sebagai satu-satunya metode transaksi pembayaran.
Daftar Isi
#1 Potongan tiap transaksi menggunakan QRIS
Sejak 1 Juli 2023, penggunaan QRIS dikenai biaya. Besarannya mulai dari 0,3 persen hingga 0,7 persen pada tiap transaksi yang nominalnya di atas Rp100.000. Biaya itu dibebankan kepada produsen atau pedagang. Bank Indonesia melarang potongan transaksi itu dibebankan kepada konsumen. Pemberlakuan ini dilakukan dengan dalih untuk menutup biaya pembuatan dan pemeliharaan yang dibayarkan kepada pihak-pihak penyelenggara QRIS.
Pemberlakukan potongan QRIS ini tentu memberatkan produsen, khususnya pedagang tingkat ultra mikro dan mikro. Misalnya, ada pembeli membayar Rp100.000 kemudian dipotong 0,7 persen makan si pedagang hanya mendapatkan Rp198.600. Ah, gak ada Rp5.000 perak. Iya sih, tapi itu per transaksi loh. Bayangkan kalau ada 100 transaksi?
Potongan ini memang aneh di tengah upaya menormalisasi keberadaan QRIS dalam kehidupan sehari-hari. Lah, orang jadi malas karena transaksinya dipotong. Pembayaran nontunai yang satu ini jadi nggak kompetitif lagi dalam tiap transaksi antara penjual dan pembeli.
#2 Ada limit pada tiap transaksi
Nah, kalau persoalan ini, yang pusing adalah para pedagang besar, atau minimal usaha menengah. Hal itu karena Bank Indonesia membatasi transaksi QRIS maksimal ada Rp20 juta. Sebelumnya malah hanya Rp5 juta. Repotnya apa? Yah tentu saja transaksinya ketika lebih dari Rp20 juta ya si konsumen akan scan QRIS-nya minimal 2 kali.
Contoh kasusnya, misal ada konsumen beli motor cash seharga Rp35 juta. Kalau bayarnya menggunakan QRIS ya harus dua kali scan dong? Akibatnya ke produsen apa? Ya uang yang diterimanya jadi dipotong 2 kali. Nggak enak kan?
#3 QRIS rawan penipuan
Pedagang yang tidak teliti dan hati-hati berpotensi besar mengalami penipuan ketika menggunakan QRIS. Saya pernah menulis artikel di Terminal Mojok “Penipuan Pembayaran Melalui QRIS Semakin Banyak, Kenali Modus dan Pencegahannya” yang menjabarkan bagaimana para oknum konsumen mengelabui pedagang.
Modusnya biasanya adalah si oknum konsumen menunjukan hasil screenshot pembayaran melalui mobile banking yang sudah dimanipulasi atau diedit. Mulai dari nominalnya hingga tanggal pembayarannya.
Apesnya lagi ketika rekening penerima QRIS itu tidak dibawa sendiri oleh si pedagangnya. Nah, celah seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh para penipu yang kurang ajar itu.
#4 Internet yang nggak stabil
Sudah jadi rahasia umum, persoalan jaringan internet jadi momok bagi pengguna QRIS. Selain dikeluhkan oleh konsumen, perkara internet yang tidak stabil ini juga jadi hal yang merepotkan bagi pedagang.
Lah persoalan listrik mati saja bisa berpengaruh pada internet sehingga berujung pada transaksi QRIS yang sudah pasti akan gagal. Apalagi kalau lokasi pedagangnya berada di daerah-daerah miskin sinyal. Lha kok sok-sokan pake QRIS, namanya bikin susah diri sendiri.
#5 Uang tidak bisa langsung cair
Penerimaan pembayaran dari konsumen melalui QRIS itu tidak real time. Para pedagang harus menunggu paling cepat esok harinya atau 24 jam setelah transaksi dilakukan. Dalam beberapa kasus, produsen nggak jarang menerima pembayarannya lebih dari sehari.
Situasi ini tentu merugikan pedagang karena arus kas keuangan mereka jadi terganggu. Selain itu, toko atau bisnis mereka jadi ngga likuid. Padahal, sebagai pedagang, uang yang diterima dari QRIS itu penting untuk modal membeli bahan baku. Bayangkan kalau seharian itu transaksinya semua menggunakan QRIS, sementara si pedagang harus segera berbelanja untuk kebutuhan jualan esok harinya? Kan repot. Hal ini membuat pedagang jadi kesulitan. Sudah kena potongan, eh uangnya nggak bisa langsung dicairkan.
#6 Mempersempit segmen pasar
Dengan hanya menggunakan QRIS sebagai metode pembayaran utama, membuat pedagang sama saja mengusir konsumen yang tidak menggunakan QRIS. Padahal, mayoritas orang Indonesia saat ini masih banyak yang menggunakan uang tunai.
Jadi kalau hanya pakai QRIS, yang datang hanya orang-orang kelas tertentu yang biasanya kelas menengah ke atas. Itu juga kalau mereka mau datang. Kalau tidak ya bisa-bisa seharian gak dapat konsumen kan? Apesnya lagi kalau pas listriknya mati. Jadi makin pusing.
Saya yakin, selain hal-hal merepotkan soal QRIS yang saya jelaskan di atas, masih banyak persoalan yang membuat pembayaran nontunai ini harus segera diperbaiki sistemnya. Jangan sampai, upaya untuk mengejar efisiensi malah hanya terlihat sebagai kegagapan negara menjawab kebutuhan zaman karena semua sistem dari QRIS-nya serba tidak siap. Inovasi untuk menjawab kemajuan peradaban itu penting, tapi inovasi yang dihasilkan dengan kewarasan melalui kesiapan infrastruktur pendukungnya juga penting.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Alasan Saya Menolak Kredit Motor: Skema yang Merugikan Pembeli, tapi Nggak Banyak yang Menyadari
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.