Setelah tulisan saya sebelumnya menyoal tentang fenomena Paksel (Ngapak Jaksel) yang tampaknya juga masih hype di Purwokerto, secara organik muncul lagi fenomena bahasa baru di Purwokerto bernama Paksu (Ngapak Sunda). Sudah jelas para pelogat ini berasal dari tanah Sunda.
Beda halnya dengan Paksel sebelumnya, di mana lebih mencampur adukkan bukan hanya logatnya tapi juga pilihan diksinya. Lah Paksu ini hanya logatnya saja yang sunda, untuk diksinya full Jawa. Bisa dibayangkan bukan seperti apa?
Dalam video unggahan yang di upload oleh akun Instagram @bontot_joe, tampak jelas bagaimana konsep Paksu ini diaplikasikan.
Sebenarnya, istilah “ngapak” sendiri kurang tepat untuk memberi label pada dialek ini. Secara teknis, yang lebih tepat adalah dialek Banyumasan atau dialek Panginyongan, sebagaimana dijelaskan beberapa budayawan yang saya temui.
Tapi mau gimana lagi, istilah “ngapak” sudah begitu mengakar di pemahaman orang-orang, sampai ke sumsum kebiasaan bicara mereka. Jadi, meski secara akademis kurang pas, masyarakat tetap nyaman menyebutnya dengan Ngapak.
Jika Ngapak adalah manusia, maka dia jadi primadona
Kenapa semua bahasa ingin di-ngapak-kan? Apakah logat Ngapak secandu itu? Jawabannya, ya jelas. Penyampaiannya yang tegas, ritmis, dan gampang diingat membuat ngapak punya aura tersendiri. Dikombinasikan dengan diksi dari bahasa lain—seperti Paksu yang logatnya Sunda tapi kata-katanya Jawa—hasilnya tetap nyambung dan enak didengar.
Ngapak juga bekerja seperti magnet. Bahasa apa pun yang ditempelin logat ini terasa hidup dan menarik perhatian. Dari Paksel sampai Paksu, efeknya sama, orang ingin ikut nimbrung dan meniru gaya bicaranya, hingga terbentuk “keluarga bahasa” baru di Purwokerto yang unik dan nggak ngebosenin.
Makanya, kalau Ngapak itu adalah manusia, dia jelas bakal jadi primadona. Semua orang pengin dekat, ngobrol, bahkan meniru gaya bicaranya. Ngapak berhasil mencuri perhatian, membangun gaya komunikasi sendiri, dan sekaligus mengikat berbagai dialek dalam satu “keluarga bahasa” yang unik di Purwokerto.
Paksel vs Paksu
Kalau Paksel itu logat Ngapak ketemu gaya Jaksel, maka Paksu adalah logat Sunda yang dikawinkan dengan diksi Jawa. Bedanya jelas, Paksel nggak cuma logat yang campur, tapi juga pilihan kata yang ikut “nge-blend”. Lain halnya dengan Paksu, yang lebih sederhana yaitu logatnya saja yang Sunda, sementara kata-katanya murni Jawa.
Hasilnya, Paksu terdengar unik dan gampang diikuti, berbeda dengan Paksel yang kadang bikin telinga bingung karena campuran logat dan diksi yang sengaja nge-blend. Orang-orang yang mencoba menirukan Paksu bisa langsung nyambung, tanpa harus mikir terlalu banyak soal pilihan kata. Inilah yang membuat Paksu cepat diterima, terutama di kalangan muda Purwokerto, dan membuatnya punya daya tarik sendiri sebagai logat “easy listening” dalam keluarga bahasa lokal.
Dari sisi penyebaran, Paksel muncul lebih dulu dan bisa disebut sebagai “kakak kandung” Paksu. Popularitas Paksel membuat orang-orang mulai mengenal logat campuran. Sehingga ketika Paksu lahir, orang pun lebih mudah menangkap perbedaannya dan cepat menirunya.
Paksu dan kreativitas konten lokal
Salah satu bukti hidupnya fenomena Paksu terlihat di akun Instagram @bontot_joe. Kontennya unik karena setiap unggahan menandai “hari kesekian orang Sunda di Purwokerto”, seolah-logat ini dicatat dari hari ke hari. Sistem ini membuat pengikut merasa terlibat langsung dalam perkembangan Paksu, sambil bisa menonton bagaimana logat lokal itu dimainkan dalam berbagai situasi sehari-hari. Ciri khas Paksu di akun ini adalah lewat ucapan, “wis didomong-domong” (gunakan logat sunda), yang kurang lebih berarti “sudah dibilangin”.
Saya bisa memprediksi akan muncul perkawinan dengan bahasa lain. Mengingat Purwokerto adalah kota yang cukup heterogen, dengan interaksi antarwarga dari berbagai latar belakang dan budaya. Jadi wajar jika Ngapak akan mulai dicampur dengan logat atau kosakata lain.
Tolong bahasa Ngapak jangan sampai hilang
Jika ada peribahasa “wong Jawa aja ilang jawane”, maka kita pun harus berkata “wong Banyumas aja ilang Banyumase”. Bukan apa-apa, ini memang hal yang harus diperhatikan. Bagaimana jika anak cucu kita tidak mengenal bahasa daerahnya padahal lahir dan besar pun di Purwokerto?
Fenomena Paksel dan Paksu memang seru dan kreatif, tapi sekaligus menjadi pengingat, bahwa jangan sampai logat asli hilang ditelan tren atau logat luar. Menjaga Ngapak berarti menjaga akar budaya, sekaligus memberi anak-anak dan generasi berikutnya rasa memiliki terhadap bahasa dan daerahnya sendiri.
Jadi, setelah membaca semua ini, apakah besok kita masih bakal bisa ngobrol dengan logat Ngapak murni tanpa terselip kata-kata Jaksel atau Sunda? Atau jangan-jangan nanti Paksu malah jadi bintang utama, sementara Ngapak cuma jadi figuran di percakapan sehari-hari?
Kalau sudah begitu, jangan-jangan generasi mendatang bakal asing dengan bahasa aslinya. Dari cara pengucapan, diksi, hingga istilah sehari-hari, semua bisa berubah jadi versi “modern” yang jauh dari Ngapak asli. Lalu kita cuma bisa bertanya-tanya, apakah mereka masih bakal ngerti apa artinya “kencot” atau cuma menebak-nebak sambil ketawa?
Penulis: Sayyid Muhamad
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
