Sewaktu kuliah di Purwokerto, saya punya 2 orang teman, laki-laki dan perempuan, yang menjalin hubungan romansa. Bukan, mereka bukan sepasang kekasih. Mereka hanya teman yang saling memanggil “sayang”, kencan setiap minggu, dan berpelukan serta berciuman beberapa kali. Yup, orang-orang menyebutnya HTS (Hubungan Tanpa Status), tapi si teman laki-laki saya itu menamai hubungan mereka sebagai FWB (Friend With Benefit). Si hopeless romantic banget.
Hal yang selalu mereka lakukan rutin hampir setiap minggu adalah mengendarai motor pada dini hari (ini disebutnya night ride, ya?) menyusuri seluruh jalanan Purwokerto. Makan malam di warung makan Bu Yono atau warung Lamongan Sumampir atau angkringan Stasiun Timur, menghitung berapa banyak gambar Jenderal Soedirman di sepanjang Underpass, dan makan es krim di minimarket Baturraden.
Teman perempuan saya mengaku bahwa dia diperlakukan sangat baik ketika mereka hanya berdua; diperhatikan, didengarkan, dan disayang. Seperti layaknya seseorang diperlakukan sebagai pacar. Dia merasa nyaman bersama laki-laki itu, sampai akhirnya dia begitu jatuh hati kepadanya. Sampai-sampai dia membicarakan tentang laki-laki ini hampir setiap hari.
Sayangnya, sebagai teman, saya lebih banyak mendengar cerita sedihnya daripada mendengar cerita bahagia. Purwokerto yang cantik jadi saksinya.
Dia menangis hampir setiap hari, kebanyakan karena hal-hal ini; 1) si laki-laki ini tidak membalas pesannya selama berhari-hari, 2) dia mendengar bahwa si laki-laki jalan dengan perempuan lain, 3) si laki-laki tidak memberi respons ketika dia mengungkapkan perasaannya, dan 4) dia terkadang ditinggalkan tanpa alasan yang jelas. Meski begitu, dia tetap akan menerima kembali si laki-laki ini, karena alasan “kita saling sayang kok”, seberapapun hebatnya dia menangis kemarin. Hal itu yang membuatku dan teman-teman lain menyebutnya sebagai perempuan hopeless romantic.
Shanta Jackson, seorang relationship counselor asal AS, mendefinisikan hopeless romantic sebagai orang yang sering jatuh cinta pada pasangan yang menurutnya sempurna, padahal kenyataanya tidak. Mereka sudah berkomitmen untuk jatuh cinta dan hanya melihat pasangan sesuai dengan bayangannya. Sedangkan Mind Body Green mendefinisikan hopeless romantic sebagai istilah untuk seseorang yang mempertahankan perspektif utopis dan sentimental mengenai cinta terlepas dari pengalaman masa lalu yang suram.
Istilah “hopeless” merujuk pada kesedihan seseorang untuk memiliki pandangan romantis terhadap hubungan yang dijalani, tidak peduli seberapa buruk hubungan tersebut. Orang yang hopeless romantic akan mencintai dengan sepenuh hati dan menganggapnya sebagai pengalaman yang membahagiakan, meskipun sebenarnya tidak.
Berapa kali pun kami, teman-teman dekatnya, berkata, “Dia itu cowok paling brengsek di Purwokerto, cuma bikin kamu nangis doang! Tinggalin aja, kamu pantes dapet cowok yang lebih baik dari dia” atau “Kan… kita bilang apa! Dia itu cuma mainin kamu doang. Dia itu nggak serius sama kamu, nggak sayang beneran. Kalau sayang pasti kamu udah dijadiin pacar kali.”, selalu dia tepis dengan kalimat berikut, “Enggak, dia itu sebenarnya baik. Dia cuma menjalani hidup yang keras aja, makannya dia jadi brengsek kaya gini.” Sampai akhirnya kami bosan dan berhenti memberinya saran. Tapi kan memang orang yang jatuh cinta itu terkadang cacat logika… hehehe.
Dia beranggapan bahwa semua hal yang dilakukan laki-laki ini pasti punya alasan dan penyebabnya. Dalam kepala si perempuan selalu ada narasi-narasi pembenaran berikut; 1) “Apa yang udah dia lalui ya sehingga jadi kaya gini?”, 2) “Dia pasti pernah mengalami rasa sakit yang hebat, dan main cewek itu sebagai pelariannya”, 3) “Aku pengin deh jadi orang yang selalu dengerin ceritanya biar dia nggak pernah ngerasa sendiri di Purwokerto,”, dan 4) “Aku pengen ngubah dia biar jadi orang yang lebih baik.”
Apa yang dia katakan persis seperti ciri-ciri yang dipaparkan oleh Shanta, bahwa hopeless romantic biasanya tidak sadar akan tanda bahaya saat menjalin hubungan. Bahkan sebagian besar orang-orang ini mengabaikan tanda-tanda buruk ini.
“You’re hyper-focused on the traits that made you fall in love. So even if you see the red flag, you likely ignore it or reject the notion altogether—convincing yourself it’s not what it appears to be.” Tulis Shanta dalam mindbodygreen.com.
Bukankan status hubungan yang tidak jelas merupakan tanda bahaya yang begitu kentara? Ditambah hal-hal yang membuatnya sering menangis atau fakta bahwa laki-laki itu sering gonta-ganti perempuan harusnya membuatnya sadar bahwa cepat atau lambat ia akan patah hati. Namun, dia lebih memilih untuk mengabaikannya, atau anak muda sekarang menyebutnya denial. Sikap denial-nya inilah yang membawanya jatuh ke lembah hopeless romantic lainnya, yaitu toxic relationship.
Sikapnya yang menolak semua fakta-fakta tentang si laki-laki ini membuat ia mencari opsi jawaban lain atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya; 1) “Apa aku kurang perhatian sama dia ya jadinya dia nggak mau balas chat-ku?”, 2) “Apa aku kurang cantik ya jadinya dia jalan sama cewek lain di Purwokerto?”, 3) “Apa karena aku nggak mau diajak seks ya jadinya dia nggak mau pacaran sama aku?”, dan kata-kata beracun lain yang semuanya berupa kalimat menyalahkan diri sendiri dan mempertanyakan keberhargaannya.
Toxic relationship adalah salah satu tanda dari hopeless romantic. Dilansir dari laman Very Well Mind dalam Suara.com, definisi toxic relationship adalah hubungan yang membuat seseorang merasa direndahkan, disalahpahami, dibuang, atau bahkan diserang. Seseorang yang terjebak dalam toxic relationship akan merasa menjadi pribadi yang lebih buruk daripada ketika dia single.
Menurut Break up coach asal AS, Kendra Allen, toxic relationship ini terjadi karena dari awal hubungan, ia sering melibatkan perasaan cinta yang menggebu-gebu (love bombing).
“Kadang-kadang, kamu akan jadi pihak yang menggebu-gebu dengan melakukan segala upaya untuk membuat pasangan mencintai kamu dengan menjadi apa yang mereka inginkan,” Kendra dalam Mind Body Green.
Saya masih ingat binar matanya saat menceritakan hal-hal manis yang dia dapatkan dari laki-laki itu. Setelah itu, dia akan merencanakan hal-hal manis untuk membalasnya, seperti memasak untuknya, memberinya hadiah, dan menulis surat untuknya. Purwokerto ikut ngelus dada dengar ceritanya.
Dia seolah-olah lupa bahwa sehari sebelumnya, dia menangis seharian di kamarnya, atau nongkrong di stasiun sampai pagi, atau minum beberapa teguk alkohol. Ketika si laki-laki ini tidak membalas pesannya, dia akan menanyakan keberadaan laki-laki ini kepada semua temannya dan bertanya “Dia lagi nggak kenapa-napa, kan?” Dia akan menggunakan seluruh energi untuk memastikan si laki-laki itu baik-baik saja.
“Orang yang hopeless romantic akan mengejar kebahagiaan mereka secara sembrono dengan menginvestasikan semua yang dia punya untuk pasangannya, sampai pada titik mengabaikan teman-teman, bahkan hobinya sendiri,” tambah Kendra Allen.
Hubungan yang seperti ini dia jalani selama 3 tahun. Sampai suatu hari, dia memutuskan untuk putus hubungan dengan laki-laki itu. Ketika ku tanya, dia menjawab bahwa selama ini dia menjalani hubungan yang tidak mutual.
Dia tidak pernah mendapat jawaban atas pertanyaan, “Kamu mau nggak jadi pacarku?”, atau “Kenapa sih kamu nggak mau jadi pacarku?”, atau “Kita ini sebenarnya apa sih?”.
Dia menyadari bahwa apa yang dia usahakan untuk laki-laki itu tidak pernah berbalas. Kebahagiaan yang dia dapatkan, tidak sepadan dengan rasa sakit yang dia rasakan.
Pada akhirnya, ia berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri, bahwa: 1) ternyata dia bukan satu-satunya perempuan yang dekat dengannya di Purwokerto, 2) ternyata semua kalimat “aku sayang kamu” dan “love you” hanya bohong belaka, 3) ternyata sebenarnya laki-laki itu tidak menganggap apa yang mereka lakukan berdua sebagai sesuatu yang spesial.
Hari ini, ketika membicarakan tentang Purwokerto, ingatannya bukan lagi tentang momen-momen yang dia lakukan bersama si laki-laki ini. Ingatannya penuh tentang upaya-upaya yang dia lakukan untuk terlepas dari situasi hopeless romantic ini; menulis, berteater, bertemu dengan banyak orang baru, mengeksplor film, dan distraksi-distraksi lainnya. Karena dia selalu percaya bahwa “It will pass”, Purwokerto bukan lagi kota yang memberinya rasa sakit. Purwokerto adalah kota yang selalu memberinya ketabahan.
Penulis: Indri Lestari
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Dear Love, Jangan Pernah Takut Bilang Cukup Untuk Toxic Relationship, Kamu Berhak Bahagia