Motor Prima Tossa milik Bapak masih khusyuk dalam diam di samping rumah. Beralas tanah, beratap genting retak hingga air hujan dapat menembus sela-selanya. Tak jarang airnya menyusup hingga sampai di bodi motor, perlahan menyebabkan beberapa sisinya terlihat kusam. Ini adalah motor pertama Bapak yang dibeli kondisi baru kala itu. Setelah sebelumnya kekeh membeli motor seken. Saya masih cukup ingat rasa bahagianya. Semburat senyum tersimpul ketika dulu, Bapak, membawa motor ini pulang.
Sambutan Ibu dan saya penuh suka bahagia melihat motor yang dominan hitam dengan striping biru putih masuk dengan suara halusnya di halaman rumah. Baunya mendesak indera penciuman saya. Kali ini baunya beda dengan motor Bapak sebelumnya yang lebih dominan bau rembesan oli dan bensin. Bau khas yang membuat saya betah berlama-lama berdekatan sama motor itu.
Tak terasa sudah kurang lebih 15 tahun motor Prima Tossa menemani Bapak pun kami sekeluarga kemana-mana. Bagi yang penasaran sama bentuk motor Prima Tossa kayak gimana sih? Ya itu, bentuknya persis motor Honda yakni Honda Supra 100. Yups, bodinya sama persis dengan Honda Supra 100 yang saat itu menjadi motor laris manis. Hingga ada saja orang yang salah mengira bahwa motor ini Supra 100, padahal, kan, bukan.
Meski Prima Tossa mempunyai bentuk yang sama persis dengan Supra 100 milik Honda. Tak lantas mempunyai feel mengendarainya sama. Ya jelas, lebih unggul motor Prima Tossa dong, jika dibanding si Supra 100. Jelas berbeda kasta.
Prima Tossa Bapak mempunyai rangka yang kurang rigid ketika dibawa jalan. Sensasi agak limbung muncul ketika memacu motor ini agak kencang, sangat terasa. Ditambah juga sama suspensinya yang lebih condong ke empuk.
Hal semacam ini adalah suatu keunggulan yang hakiki. Memang motor dengan kapasitas cuman 100 cc kayak Prima Tossa diperuntukan untuk jalan santai menikmati perjalanan. Dari hal tersebut saya belajar untuk lebih menikmati perjalanan bukan fokus pada tujuan.
Bentuk mesin Prima Tossa sama persis dengan Supra 100. Ya memang betul, tampak visual dari bodi hingga bentuk luar mesinnya sama plek, nggak ada perbedaan yang signifikan terlihat.
Namun, jika membongkar mesin, akan terlihat perbedaanya di bagian kopling. Bagian kopling masih menggunakan jenis sentrifugal. Yang mana kampas kopling dan kampas ganda menyatu di gigi primer yang malah sama dengan Honda Astrea 800 atau lebih tua lagi C70. Cukup aneh namun harus dipandang sebagai nilai lebih dong, kan motor yang penuh historis dan kepunyaan sendiri pula.
Di Supra 100 house kopling sudah berada di gigi sekunder dan kampas ganda berada di gigi primer, bukannya jadi satu kayak Prima Tossa atau motor Honda yang jadul, kayak C70, Astrea 800.
Saya sempat bertanya sama Bapak berapa harga baru motor ini dulu. Cukup membuat kaget ketika mendengar jawabannya. Kala itu, Prima Tossa dijual dengan kisaran harga tujuh jutaan. Sungguh sangat murah jika disamakan dengan Honda Supra 100 yang dihargai Rp13 jutaan saat itu. Hmmm, pantas saja teknologi kopling yang disematkan jauh lebih unggul jika dibandingkan. Dan rangkanya kurang rigid. Sebuah nilai positif saat Bapak memilih motor ini.
Penggunaan tipe kopling sentrifugal pun membuat Prima Tossa sulit dilupakan. Pasalnya setiap ganti gigi, kaki bakal dilatih untuk menginjak lebih kuat, kuat, dan kuat lagi. Memang harus kuat karena saat kopling diinjak bakal terasa keras banget. Ini adalah sebuah kelebihan, sampai sekarang saya nggak begitu sambat pegal pas pindah kopling saat memakai motor bebek yang baru, udah biasa sama kopling Prima Tossa yang keras kok.
Terus masalah konsumsi bahan bakar Prima Tossa ini, sangat irit banget. Iritnya sebanding sama pabrikan yang ditiru desainnya. Mungkin, waktu itu uang Rp10 ribu saja bisa digunakan Bapak pulang pergi kerja sama pergi ke sawah selama seminggu, memang iritnya kebangetan sih ini. Terakhir memakainya,saya hanya menghabiskan uang Rp50 ribu untuk dua minggu.
Kalau dibilang tangguh, Prima Tossa memang tangguh. Tak terhitung berapa kali rumput, buntelan kayu bakar, sama gabah yang beratnya pakai banget sudah diangkut. Pokoknya jalan terus…
Udah gitu, dalam hal perawatannya nggak mau nyusahin ini motor. Tak ada kerusakan berat apalagi sampai turun mesin karena dari knalpotnya keluar asap putih meski rada bandel untuk rutin ganti oli, saya ingat tak pernah sekalipun. Paling keluar asap hitam pas laju motor sedang kencang-kencangnya, itupun hanya masalah di-setting karburator yang terlalu boros. Hanya butuh sentuhan tangan terampil mekanik samping Rumah, Pak Budi namanya. Lantas Pak Budi bakal men-setting ulang si karburator. Voila, nggak muncul lagi tuh asap hitam keluar dari knalpot.
Terhitung kerusakan paling kerasa ya cuman CDI mati dan itu cuman sekali saja. Nggak ada tuh, kerusakan berarti selama memakai motor ini. Paling cuman ganti ban dan busi. Selain itu awet sampai sekarang.
Dan untuk urusan rem depan dan belakang masih menyematkan rem tromol bukan disc brake. Pemilihan rem tromol malah suatu paduan yang pas. Ya, selain untuk menekan ongkos produksi juga sih tentunya. Sisi positifnya, nggak bakal ada tuh ditemui rem masuk angin kayak yang sering ditemui di disc brake. Masuk angin di rem cakram berbahaya karena membuat rem jadi blong, gitu.
Toh, selama saya dibonceng Bapak dan sempat juga memakai, ketika melakukan pengereman pakem-pakem saja tuh. Nggak ada istilah neloyor. Untuk urusan kaki-kaki malah empuk dan enak banget. Saya dibuat nyaman berkali-kali saat membawa motor ini.
BACA JUGA Nggak Cuma Aki Tekor, Ini Beberapa Parts Penyebab Electric Starter Motor Mati dan tulisan Budi lainnya.