Presiden Kita Perlu Mengenal Raja Amangkurat yang Jangan-jangan Adalah Dirinya Sendiri

makam amangkurat I raja mataram islam di tegal sejarah mataram islam sultan agung mojok.co

makam amangkurat I raja mataram islam di tegal sejarah mataram islam sultan agung mojok.co

Mengingat semua presiden kita sampai saat ini, dan mungkin juga yang akan datang, masih berasal dari suku yang itu-itu saja, maka—tanpa maksud merendahkan dan menggurui—sudah selayaknya mereka mengenal dan mengenyam suri tauladan leluhur-leluhurnya.

Dari berbagai riwayat dan hikayat yang pernah mengisi peradaban tanah Jawa, mulai dari Mataram Kuno sampai Mataram Islam, kita telah banyak mendapat sampel pemimpin, baik yang berhasil maupun yang masih harus belajar lagi.

Dari beberapa nama pada sampel terbaik, salah satunya kita bisa mengenal ketokohan Sri Sultan Hanyakrakusuma atau Sultan Agung, raja dinasti Mataram Islam yang berhasil mempersatukan Jawa. Selain mampu menempatkan negerinya sebagai tanah yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, Sultan Agung juga bukan tipe pemimpin yang dikit-dikit blunder dan hobi mencla-mencle.

Panjenengane terkenal tegas dan berani menangani persoalan dengan pihak asing, seperti kaum pedagang VOC yang waktu itu sudah terlihat tidak lagi hanya mau berurusan di sektor ekonomi, tapi mulai main tangan ke ranah politik dan penguasaan atas tanah. Dengan tegas Sri Sultan menyatakan perlawanan dan memberangkatkan pasukan segelar sepapan untuk menggempur Batavia.

Dari dua kali penyerangan ke Batavia, semuanya belum menemui keberhasilan, tapi dari situ terlihat Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung adalah negeri yang berdaulat dan cukup memiliki harga diri yang dapat dibanggakan oleh setiap rakyatnya.

Sedumuk bathuk senyari bumi dari zaman Sultan Agung kalau diucapkan politisi masa kini, hanya akan jadi omong kosong paling nyata. Lha gimana je, buktinya, kekayaan tanah-tanah kita hanya mempertebal kantong 1% kepala dari berjuta-juta yang ada dan kebanyakan di antaranya sering kebingungan mau makan apa, bukan sebab terlalu banyak pilihan menu, tapi justru karena ketiadaan yang layak dimakan.

Kita bisa membayangkan kalau saat ini negara kita dijalankan oleh sosok seperti Sultan Agung. Betapa akan bangganya kita menyebut +62 di medsos dan menggunakannya sebagai hashtag trending. Eits, tapi jangan berharap lebih, sebab harapan tanpa kepastian ujung-ujungnya hanya akan membuat kita jadi korban PHP. Semua tadi hanya untuk dibayangkan saja. Kenyataannya, bisa kita lihat sendiri sekarang.

Setelah Sultan Agung mangkat, dinobatkanlah putra mahkota, Raden Mas Sayidin alias Raden Mas Rangkah alias Jibus, sebagai raja yang diharapkan meneruskan keagungan ayahandanya, bergelar Susuhunan Amangkurat. Berbeda dari Hanyakrakusuma yang menggunakan gelar “sultan” hasil buah tangan utusan yang dikirim ke Mekkah, Amangkurat hanya mengenakan gelar lama Susuhunan sebab ia memang lebih “mreman” dan tidak sesantri ayahandanya.

Di masa mudanya saja, selain manja, seperti julukannya, Jibus atau njibusi yang berarti ditiduri, ia sudah kenal macam-macam isi lokalisasi. Amangkurat adalah penghobi perempuan akut dan kelas wahid seantero Mataram. Bahkan, karena hobinya itu, doi nekat mengambil paksa pesinden istri seorang dalang bernama Ki Panjang Mas yang tengah mengandung dua bulan, lalu membunuh suaminya. Cara yang jelas tidak gentle sama sekali untuk laki-laki dengan martabat apa pun.

Nggak cuma sampai di situ, selain berlibido tinggi, doi juga raja lalim merangkap diktator stadium akhir. Pembunuhan dan serangkaian pembantain mewarnai lantai Mataram sewaktu masa pemerintahannya.

Politisi senior dan tukang kritik pemerintah yang dirasa menghambat kelanggengan kekuasannya, tidak tanggung-tanggung, vonisnya langsung talak tiga: bunuh!

Nama-nama seperti Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Danupaya, dan politisi senior berpengaruh lainnya habis di tangan Amangkurat. Padahal di masa Adiprabu Hanyakrakusuma, orang-orang tersebut adalah tokoh yang banyak berjasa pada Mataram. Ya, begitulah seni berpolitik, dari dulu sampai sekarang yang baik dan bersihlah yang harus disingkirkan.

Melihat polah-tingkah pemerintahan Mas Jibus yang ugal-ugalan dan main senggol bacok, Pangeran Alit, adik Amangkurat, merasa bertanggung jawab atas keselamatan Mataram. Ia lekas membentuk koalisi bersama partai-partai oposisi dengan dukungan utama dari alim ulama, dan segera melancarkan aksi tanpa terlebih dahulu menggelar pengajian yang sampai berjilid-jilid reuninya.

Bukan Amangkurat namanya jika masih membiarkan Pangeran Alit bisa bernapas setelah apa yang ia perbuat. Sama seperti “pembangkang” yang lain, Pangeran Alit tamat riwayatnya atas nama “keamanan”. Keamanan siapa, yo embuh ora weruh.

Perselisihan yang timbul terus menuntut kepala, sekitar 5.000-6.000 kaum santri pendukung Pangeran Alit dan keluarganya dibantai habis-habisan di alun-alun Keraton sebagai bentuk pertunjukan kekuatan militer pemerintah.

Melihat ngawurnya Mas Jibus memimpin negara, jelas tidak sedikit haters yang dimiliki sang raja. Lewat kaki tangan buzzernya, tersiar kabar bahwa Pangeran Alit telah terpapar paham radikal yang jika dibiarkan akan mengancam ideologi kesultanan Mataram dan berujung pada tindakan makar.

Ketidakpuasan masyarakat dan kebencian lingkungan tak bisa dibendung dan sangat kentara, membuat Amangkurat merasa waswas akan keselamatannya lalu membangun istana baru di Pleret (lokasinya kini menjadi wilayah Bantul, D.I. Yogyakarta) sebagai tempat perlindungan. Saking ciutnya nyali Amangkurat, tiada laki-laki seorang pun yang tinggal di ndalem keraton. Rumah tangga dan keselamatan keraton sepenuhnya dipasrahkan di dalam kemben wanita, sedang Amangkurat sendiri memilih bersembunyi di balik jarit Trinisat Kenya, tiga puluh perawan pengawal pribadi raja.

Setelah pergerakan ormas sang adik mampu dipadamkan, muncul nama aktivis baru yang moncer, Trunajaya, seorang pemuda asal Sampang. Sebagaimana umumnya anak Madura yang ulet dan tak kenal kata menyerah, sifat yang harusnya dimiliki setiap laki-laki untuk menunjang PDKT, mampu memukul mundur sang penguasa dari kota raja di Pleret dan menduduki istana Mataram.

Amangkurat wafat dalam pelariannya, lalu digantikan putra mahkota Mas Rahmat Adipati Anom sebagai Amangkurat II. Angka II di sini bukan cuma gelar periode, tapi juga menjadi pengulangan kemerosotan pamor seorang pemimpin.

Pengangkatan Amangkurat II pun jadi semacam pesta pernikahan yang terpaksa diselenggarakan di saat wabah covid-19; apa adanya dan serba pas-pasan. Bahkan sang raja baru bertakhta tanpa keraton, tanpa kerajaan, tanpa kekayaan, dan tanpa tentara, lha raja pelarian kok. Pokoknya ngenes banget.

Pemberontakan Trunajaya berhasil ditumpas dan dibunuh secara keji dengan biaya nggak main-main. Pesisir utara Jawa jadi semacam lahan tambang kita sekarang, digadaikan sebagai jaminan utang kepada pihak pemodal dan asing seperti VOC yang telah menjadi timses dan relawan perebutan kekuasaan.

Sedikit banyak Amangkurat mengingatkan kita pada salah satu orde oligarki yang pernah berdiri di republik ini, tapi bukan berarti New Amangkurat tidak akan muncul lagi, sebab kata new memungkinkan segalanya terasa biasa dan akrab.

Dari awal hubungan utang-piutang itulah Mataram selanjutnya hanya jadi negara boneka VOC dan menjadi importir. Jejak kerajaan adikuasa Majapahit di bawah pemerintahan Sultan Agung telah benar-benar mengerdil sejak saat itu.

Sumber gambar: Makam Raja Amangkurat I di Tegal, Jawa Tengah. Wikimedia Commons.

BACA JUGA Jadi Raja Mataram Itu Enak Ya, Mak? dan tulisan Suliswanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version