Prejengan Mahasiswa Filsafat yang Pasti Ada dalam Ketiadaan di Kampusnya

Prejengan Mahasiswa Filsafat yang Pasti Ada dalam Ketiadaan di Kampusnya terminal mojok.co

Prejengan Mahasiswa Filsafat yang Pasti Ada dalam Ketiadaan di Kampusnya terminal mojok.co

Tidak hanya diskusi yang katanya wangun, prejengan atau fesyen anak Filsafat juga tergolong unik dan menarik. Ketika fakultas lain memiliki stigma tersendiri dalam masalah fashion, misalkan Teknik ala Fiersa Besari, dan Kehutanan dengan satu korsa sama rasa, Filsafat pun serupa.

Anak-anak Filsafat biasanya memiliki fesyen pakaian yang tidak bisa disamaratakan dengan kadar kewangunan batas wajar. Ada tahapan sendiri bagi mahasiswa Filsafat yang perlu dilihat dan dikaji lantaran saking mboisnya. Arti lain, mahasiswa satu dan mahasiswa lainnya, memiliki perbedaan yang cukup mencolok.

Melalui pengamatan yang mendalam, menimang-nimang dalam berbagai aspek, saya menyimpulkan setidaknya ada 5 style yang terdepan dan terbanyak diminati oleh mahasiswa Filsafat. Mulai dari sisi yang mengedepankan prinsip hingga kadung adanya, ya, nganu… Inilah hasilnya.

Pertama, kaosan dan celana jeans. Di Filsafat, memang ada peraturan yang mewajibkan untuk memakai pakaian berkerah jika berada di lingkungan kampus. Namun, karena esensi belajar itu kemauan, isi kepala dan nurani adalah hal mutlak, bukan apa yang menempel di tubuh kita, beberapa dosen nggak masalah jika mahasiswanya datang ke kelas dengan menggunakan kaos saja. Tapi pakai celana lho, ya.

Wah, pokoknya, panjang umur bagi dosen yang menganut prinsip seperti ini.

Kaosnya pun ada beberapa pakem tertentu. Ada yang memakai kaos polos. Biasanya mereka ini adalah pengikut intisari pemikiran John Locke, yakni tabula rasa. Menurut mereka, ke kampus ini sama halnya dengan pandangan epistemologi bahwa diri ini tidak membawa apa pun kecuali dari indera. Dan kaos mereka, seiring berjalannya kuliah, akan semakin banyak motif sebagaimana ilmu yang mereka dapatkan.

Ya, pakaian mereka ibarat tabula rasa, kertas kosong yang putih bersih, kemudian menjadi bermotif karena dijejali berbagai macam kandungan ilmu. Ah, tapi ya nggak selebay itu juga, sih. Kawan saya, pakai kaos polos, kebetulan di awul-awul ada yang murah.

Ada yang pakai kaos Philoscontong dan ini wajib hukumnya bagi mereka yang terlanjur masuk—baik sadar atau tidak—di fakultas Filsafat. Nggak tahu Philoscontong? Coba baca ini, Kultur Suporter Porsenigama: Kala UGM Memperlihatkan Wajah Lainnya. Jawaban langsung dari dedengkot Philoscontong, Antonius Harya Febru W.

Ada juga kaos gambar filsuf kesukaan mereka. Atau quotes-nya yang super keren itu. Misalkan, “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk,” kita bisa ngira dengan jelas bahwa ia pengikut pemikiran Tan Malaka. Kaos biasanya menentukan ia sedang mempelajari apa atau gandrung kepada siapa.

Yang mbingungi itu kala ada yang pakai kaos bertuliskan begini, “Cintamu tak seberat muatanku”. Wo jelas, kalau ini bukan memperlihatkan orientasi pemikiran melalui quote filsuf kesukaannya, melainkan blio ini fans berat Sumber Kencono alias bis mania. Ada? Jangan salah, di Filsafat jenis manusia apa pun juga ada.

Kedua, kemeja rapi mbois. Stigma anak Filsafat yang urakan itu sepenuhnya salah. Dibuktikan dengan beberapa mahasiswa yang menggunakan kemeja rapi, bersih, wangi, kancingan sampai muka, eh, leher. Ditunjang dengan celana jeans biru yang biasanya beli di Mirota Kampus. Kalau nggak ya beli di Outlet Biru. Dengan catatan kalau ada diskonan.

Kemejanya, kalau nggak warna atau bahannya yang kinclong itu, ya pakai kemeja motif kotak-kotak. Bukan karena simpatisan Pak Jokowi, tetapi kombinasi kemeja kotak-kotak rambut rapi itu wangun sekali. Ditambah, rambut mereka biasanya pakai minyak rambut. Kinclong sampai bisa buat memantulkan cahaya matahari Jogja yang selalu membara.

Ketiga, pakai hoodie. Walau Jogja panas, tapi tidak dengan kelas di Filsafat. Satu ruangan kecil, biasanya diisi oleh tiga sampai empat pendingin ruangan. Style ini biasanya pakai hoodie, celana kain dan sandal jepit. Rambut acak-acakan karena baru bangun tidur di sekre. Atau, rambutnya rapi tapi bau kelabang karena baru menyelesaikan perjalanan dari Bantul sampai Sleman.

Mas-mas atau mbak-mbak kademen ini biasanya mereka yang tinggal di Bantul atau Gunungkidul. Terbiasa dengan kondisi tahan banting dalam medan yang panas. Saya contohnya, nggak terbiasa dengan pendingin ruangan. Kalau kena udara dingin dari pendingin ruangan, biasanya mata saya langsung merah. Memakai hoodie, menyelamatkan setengah dari permasalahan hidup saya di Filsafat.

Keempat, korsa. Mungkin hal ini lazim ditemui di fakultas atau bahkan universitas lain. Namun, di Filsafat, kebanyakan yang memakai korsa adalah mereka yang “mendapatkan” dari event di luar fakultas. Nggak aneh, sih, tapi sangat jarang bagi mereka yang memakai korsa kebanggaan fakultas. Dan terpujilah bagi mereka yang masih bangga menggunakan korsa fakultas.

Kelima, nggak klamben alias nggak pakai baju. Biasanya, anak kos yang cepet-cepet ke kelas pagi dan memilih jalan terjal dengan hanya menggunakan jaket atau hoodie saja. Sungguh, rasanya semriwing.

BACA JUGA UGM Punya Fakultas Filsafat, IAIN Kediri Punya Fakultas Ushuluddin dan Dakwah yang Lulusannya Sukses di Segala Bidang dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version