Seperti biasa, di tengah kesibukan kerja dan tumpukan deadline, saya selalu menyisihkan waktu untuk liburan setiap bulannya. Untuk bulan ini, pilihan saya jatuh pada wisata alam Posong di Temanggung. Alasannya karena saya teringat kembali pada kunjungan tahun 2020 lalu, di mana pengalaman yang saya rasakan begitu menyenangkan. Walau saat itu cuaca sempat mendung, saya masih beruntung bisa menyaksikan pemandangan Gunung Sindoro dan Sumbing berdiri anggun berdampingan bak pasangan harmonis yang tahu cara menjaga jarak tapi tetap saling melengkapi.
Dengan keyakinan bahwa kenangan manis itu akan terulang, saya pun langsung meluncur dari Semarang ke Posong saat akhir pekan. Dalam bayangan saya, Posong akan kembali menyambut dengan kabut tipis yang menggoda, udara dingin yang bersih, dan secangkir kopi hangat yang melengkapi pagi. Saya membayangkan matahari muncul perlahan dari balik pegunungan, memberikan panorama sempurna untuk menutup minggu yang melelahkan.
Namun ekspektasi tinggal ekspektasi. Kenyataannya tidak seindah memori yang saya simpan. Bukannya mendapat liburan yang menyegarkan, saya justru pulang dengan kekecewaan. Semua yang saya harapkan menguap begitu saja di tengah hujan deras, kabut tebal, dan fasilitas yang tidak terawat. Liburan yang tadinya diniatkan untuk menyembuhkan pikiran justru malah menambah daftar keluhan.
Hujan deras, terjebak, dan bingung mau ngapain
Rencana awalnya ketika sampai di Posong Temanggung, saya membayangkan sedang menikmati udara segar, lalu duduk santai sambil ngopi menatap Gunung Sindoro dan Sumbing. Tapi kenyataan berkata lain. Baru sampai kawasan parkir, hujan deras turun tanpa kompromi. Bukan gerimis manja atau rintik romantis ala film Korea, tapi hujan yang niat banget menggagalkan rencana liburan.
Saya dan beberapa pengunjung lain pun hanya bisa berteduh di warung-warung seadanya, dengan pandangan kosong dan ekspresi antara pasrah dan bingung. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menatap derasnya air dari atap seng.
Mau turun balik ke bawah, sayang tiket dan bensin. Mau lanjut naik ke spot utama, jalanan menanjak tentu semakin licin. Lengkap sudah, liburan yang tadinya ingin menyegarkan kepala malah membuat saya terjebak di tengah derasnya kenyataan.
Baca halaman selanjutnya: Fasilitas sudah tidak terawat…
Fasilitas wisata Posong Temanggung tidak terawat, bikin susah pengunjung
Dalam benak saya, Posong adalah destinasi wisata yang terus berkembang. Apalagi setelah ada penambahan fasilitas yang sudah diresmikan beberapa tahun lalu. Saya masih ingat, toilet umum di kawasan ini sempat jadi sorotan karena diresmikan langsung oleh artis terkenal, Tora Sudiro dan Darius Sinathrya.
Sayangnya, toilet yang dulu sempat dibanggakan itu kini justru seperti bangunan yang ditinggalkan tanpa pamit. Aroma menyengat sudah tercium bahkan sebelum pintu terbuka, air tidak tersedia, dan pintu toilet BAB terkunci rapat.
Meskipun ada toilet lain yang dikelola oleh warga setempat, saya mulai berpikir, apa gunanya fasilitas yang terlihat baru dan modern jika akhirnya hanya jadi pajangan tanpa fungsi? Sungguh eman-eman jika fasilitas seperti itu dibiarkan terbengkalai, apalagi mengingat potensi besarnya. Toilet yang seharusnya bisa menjadi daya tarik tambahan, dengan desain yang modern dan menjanjikan kenyamanan, malah berakhir seperti fasilitas yang tak terawat.
Alih-alih memberikan kenyamanan setelah perjalanan panjang, toilet ini justru menjadi beban tambahan. Bikin pengunjung yang datang ke Posong Temanggung semakin kurang betah.
Pengalaman dirundung “serangan tawaran makanan”
Salah satu hal yang paling mengejutkan dari kunjungan saya kali ini ke Posong Temanggung adalah pengalaman menghadapi “serangan tawaran makanan” yang cukup intens. Begitu melewati gerbang, saya langsung disambut oleh para pelayan resto yang menawarkan langsung dagangan mereka dengan semangat luar biasa. Belum sempat menikmati udara pegunungan, saya sudah ditawari gorengan, kopi panas, hingga mie rebus yang aromanya bersaing dengan kabut.
Jujur saja, saya bukan tipe orang yang anti jajan. Tapi kalau setiap sepuluh langkah harus menolak tawaran dengan senyum sopan, rasanya seperti lagi jalan di pasar malam, bukan kawasan wisata alam. Awalnya terasa hangat dan akrab, tapi lama-lama capek juga.
Saya sampai berpikir, lain kali mending saya cetak brosur kecil bertuliskan, “Maaf, belum lapar,” untuk dipakai sebagai tameng. Supaya bisa fokus menikmati pemandangan—kalau cuacanya bersahabat, tentunya—tanpa harus terus-terusan merasa bersalah saat memutuskan untuk nggak mampir.
Posong Temanggung berubah, kini hanya bikin kecewa
Liburan ke Posong Temanggung kali ini bagi saya bukan hanya tentang pemandangan yang hilang ditelan kabut, atau hujan yang tak kunjung reda. Bukan pula semata soal toilet pesing, jalanan licin, atau tawaran mie rebus setiap lima langkah. Yang paling menyedihkan adalah menyadari bahwa tempat yang dulu begitu saya kagumi, kini tak lagi memberikan pengalaman yang sama. Bukan karena alamnya berubah, tapi karena pengelolaannya seperti kehilangan arah.
Saya masih yakin, Posong Temanggung sebenarnya punya potensi luar biasa. Tetapi potensi tanpa perawatan hanya akan jadi kenangan indah yang perlahan memudar menjadi kekecewaan. Semoga pengalaman saya yang kali ini kurang beruntung bisa jadi pelajaran, bahwa merawat tempat wisata itu bukan cuma soal membangun infrastruktur, tapi juga soal menjaga kesan positif yang tetap melekat di hati pengunjung. Dan saya? Nampaknya butuh waktu lama sebelum memutuskan untuk kembali ke Posong lagi.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Alasan Orang Temanggung Lebih Memilih Plesir ke Luar Kota.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
