Setahun lalu saat membaca liputan Mojok mengenai PO Bus Kawan Kita dari Mas Muhammad Ridhoi saya terbawa betul dengan narasi tulisan itu. Setidaknya satu yang saya temui, setiap PO yang tidak meremajakan armadanya pasti akan selalu berkawan dengan sepi penumpang. Atau jika meminjam istilah Mas Ridhoi, “Nekat Terus Mengaspal dalam Kesunyian”. Sehingga membuat perusahaan ini seakan berada di tengah keadaan yang kompleks, hidup enggan mati tak mau.
Ingatan tentang narasi tulisan Mas Ridhoi itu langsung gamblang saat saya tiba di Kediri tiga bulan lalu. PO Bus Kawan Kita yang memiliki trayek Nganjuk, Kediri dan Blitar sering hilir mudik dan menyita perhatian saya. Nahasnya begitu saya melihat armada PO Bus ini tidak hanya menarik ingatan ke tulisan Mas Ridhoi, tapi juga mengingatkan saya akan Metromini di Jakarta yang kini perannya digantikan sudah dengan Transjakarta.
Tentu alasannya karena sasis yang digunakan oleh PO Bus Kawan Kita masih mempertahankan rangka dari Isuzu Bison TLD 56. Dimana dalam perkembangannya sasis ini disulap oleh pihak karoseri untuk dijadikan bus mini dengan kapasitas sekitar 30 penumpang. Meski di kota-kota besar armada ini sudah mengalami peremajaan, namun tidak untuk PO bus Kawan Kita Nganjuk-Blitar.
Masa Kejayaan PO Bus Kawan Kita
Seperti umumnya PO Bus yang saat ini kondisinya sekarat, mereka juga pernah mengalami masa keemasan. Tidak terkecuali PO bus Kawan Kita. Hadir sejak 1980-an, beberapa kolega saya di Kediri menyebut bus ini menjadi “penyelamat” di saat kendaraan tidak seramai sekarang. Bahkan pilihan jalur yang menghubungkan Nganjuk dan Blitar via Kediri seakan menjadi oase bagi masyarakat di masa itu untuk bepergian ke berbagai tempat tujuan.
Kolega saya ini ingat betul bagaimana PO bus Kawan Kita menjadi satu dari beberapa pilihan bus yang melintas di Kediri Raya. Ketika itu saat ia akan menuju ke Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Blitar bus ini selalu menjadi pilihan untuk menuju ke kampus dari Mojoroto, Kediri. Meskipun saat ini kampusnya sudah tidak ada karena harus merger dengan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (Unipa Surabaya) pada 2019. Armada PO bus Kawan Kita inilah yang justru menyisakan kenangan semasa ia kuliah dulu, dan di medio 1987 itu, menjadi masa jayanya armada ini.
Asa bangkit yang pupus oleh keadaan
Masih dari kolega saya asal Kediri yang menceritakan seluk beluk mengenai PO bus Kawan Kita. Dia juga sempat mendengar kabar saat awal Bandara Internasional Dhoho Kediri mulai akan beroperasi di awal tahun 2024. PO bus Kawan Kita sempat akan membuka trayek baru Blitar menuju Bandara Internasional Dhoho Kediri. Kala itu rencananya bus akan berangkat dari Terminal Patria di Blitar, lalu melintas di Sanankulon, Srengat, Udanawu, Blitar masuk ke Ringinrejo, Kandat, Kediri dan berhenti sebentar di Terminal Tamanan, Kota Kediri lalu melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir yakni Bandara Dhoho Kediri.
Tentu saja ketika trayek itu disetujui, Bus Kawan Kita tidak akan menggunakan bus lama dengan sasis Isuzu Bison TLD 56. Perusahaan kabarnya sudah mengupayakan untuk bisa meremajakan armadanya dengan wajah-wajah barunya. Alih-alih trayek ini ramai, justru sebaliknya, Bandara Internasional Dhoho Kediri justru sepi penumpang hingga akhirnya penerbangan tidak menentu.
Terakhir pada sejak Juli 2025 hingga ini belum ada jadwal penerbangan di bandara itu yang membuat asa bangkit PO bus Kawan Kita pupus oleh keadaan.
Bertahan di jalan, menolak ditelan zaman
Jika tulisan Mas Ridhoi di liputan Mojok menyebut PO bus Kawan Kita mengaspal dalam kesunyian, saya justru melihatnya dari perspektif yang berbeda. Sebelum saya menuliskan artikel ini, beberapa hari yang lalu, tepatnya 26 Agustus 2025, saya mencoba menaiki armada bus ini. Saya naik dari Jalan Semeru, Tamanan, Mojoroto, Kota Kediri pagi hari. Tujuan saya mengarah ke Terminal Anjuk Ladang, Nganjuk. Meski hanya beberapa penumpang yang naik dan turun di sepanjang jalur itu, saya tidak menemui kesunyian itu.
Justru saya melihat semangat supir PO bus Kawan Kita yang amat nyata, seolah menolak ditelan zaman yang kini maju kian pesat. Mereka seakan tidak peduli meski sudah menjamur ojek online di Kediri atau armada bus yang jauh lebih mentereng melintas. Bahkan untuk tetap mengaspal tanpa mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar, armada yang saya naiki tidak menggunakan jasa kernet. Penumpang langsung bisa membayar ongkosnya ke Pak Supir tanpa tedeng aling-aling.
Yah, akhir kata, jika kalian ke Kediri tidak ada salahnya mencoba armada ini ya. Itung-itung penglaris dan meramaikan armada bus legendaris.
Penulis: Fareh Hariyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pertama Kali Naik Bus Bagong ke Malang Jadi Pengalaman Paling “Membagongkan” dalam Hidup
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
















