Beberapa hari yang lalu baru saja saya menuntaskan momen beberes dalam rangka pindah rumah (lagi). Di usia yang menginjak 21 tahun ini saya telah menuntaskan 7 kali perpindahan rumah. Sejak usia masih menginjak 5 tahun saya sudah melanglang buana bergerilya tempat tinggal dari satu daerah ke daerah yang lain. Dimulai dari kota Tarakan yang dahulu masih bersama Provinsi Kalimantan Timur. Mengecap TK hingga lulus. Sempat sekolah dasar di sana dan pada akhirnya pindah.
Dari Tarakan saya bersama orang tua berpindah ke Balikpapan, melanjutkan sekolah saya yang sempat dioper dari kelas satu di Tarakan dan lanjut kelas satu di Balikpapan. Perlu kalian ketahui bahwa rasanya jadi anak pindahan itu gak enak. Walaupun masih terbilang kecil dan belum memiliki pemikiran yang kompleks. Saya merasakan ada sensasi yang selalu memberikan tekanan kepada saya ketika saya selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang baru. Satu yang utama adalah bagaimana cara membawa diri dengan baik dan benar di lingkungan yang tidak pernah tetap.
Pola interaksi dan gaya bersosialisasi yang berbeda membuat saya sempat minder minta ampun. Dari Tarakan ke Balikpapan dengan usia yang masih terbilang bocah bukanlah hal yang mudah. Di Balikpapan saya tidak punya teman akrab. Walau sempat tinggal dua tahun, saya tetap tidak mempunyai teman yang benar-benar akrab. Sempat menginjak kelas dua SD di Balikpapan, lagi-lagi saya harus pindah ke Samarinda. Lanjut kelas dua SD di Samarinda hingga lulus SD. Saya akhirnya semakin berpikir dan telah banyak belajar. Menyoal bagaimana caranya menjadi murid baru yang baik dan juga telah merasakan betapa repotnya beberes barang hasil pindahan. Untuk yang terakhir, sumpah itu sangat melelahkan.
Proses pindahan rumah itu ada dua fase. Pertama, beberes untuk mempersiapkan pemindahan barang dan yang kedua adalah beberes untuk merapikan barang-barang di rumah baru. Kedua fase ini adalah fase terberat. Bagaimana tidak, jika barang yang kita punya banyak, bisa kalian bayangkan betapa repotnya proses mengepak, melipat hingga mengangkat barang-barang untuk dipindahkan ke rumah baru. Belum lagi ketika sudah tiba di rumah baru. Sudah barang tentu harus dibereskan agar tertata rapi dengan harus menyesuaikan medan rumah yang entah terlalu sempit atau terlalu lebar.
Dan selama 21 tahun ini saya sudah merasakannya tujuh kali. Jika dua fase terberat tersebut sudah dilalui. Tentu ada fase berikutnya yaitu fase improvisasi. Ini berkaitan dengan bagaimana kita membawa diri di lingkungan yang baru. Sejauh yang saya rasakan, improvisasi karakter mulai dari gaya bicara, becanda hingga pola berteman di tiap daerah pastilah berbeda. Yang sama cuma satu, di tiap daerah baru yang saya temui, selalu ada orang lucu di dalamnya. Mulai dari Tarakan, Balikpapan, Samarinda, Tanah Bumbu hingga yang baru-baru ini Banjarmasin. Populasi orang lucu memang abadi. Saya selalu menemukan orang yang kalau senyum saja sudah bikin ngakak.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Rasa minder ketika harus berpapasan dengan orang baru serta dengan karakter yang benar-benar baru itu tidak mudah. Maka dari itu saya berani menyebut bahwa pindah rumah itu tidak mudah bahkan boleh dibilang berat. Ya mungkin kalian berpikir kalau pindah rumahnya cuma beberapa meter dari rumah lama itu gak masalah. Hanya saja, apa yang saya jelaskan ini lebih terkhusus menyoal pindah rumah plus juga pindah ke daerah yang benar-benar baru.
Kalian pasti berpikir, “kan enak banyak teman baru!” Ya betul, teman baru selalu datang silih berganti dan tentu itu menyenangkan. Melihat karakter baru dengan berbagai ciri khas pribadi masing-masing tentu sebuah pengalaman yang mantap.
Tapi bukan berarti itu membuat diri ini nyaman. Pastinya ikatan pertemanan yang dijalin dengan geografis lokasi yang itu-itu saja dibanding ikatan pertemanan dengan geografis yang selalu berpindah-pindah dan terbiilang singkat tentu berbeda. Kalian bisa melihat bagaimana pertemanan mereka yang sudah terjalin semenjak TK, SD, SMP, SMA hingga bahkan kuliah dengan jarak lingkungan pertemanan yang itu-itu saja, tentunya akan sangat rekat. Ketika mereka yang sering ikut orangtuanya berpindah-pindah rumah dan kota. Pola pertemanan seperti itu mungkin langka walau tidak menutup keyakinan saya, pasti ada kok yang punya pertemenan yang erat walau sering pindah-pindah.
Walau begitu, kita hidup di dunia yang memerlukan penyeimbang. Hitam dan putih, baik dan buruk hingga seterusnya. Berbagai ketidaknyamanan menjadi manusia yang sering berpindah-pindah rumah tentu tidak memonopoli seratus persen. Ada nilai positif yang bisa kita ambil yaitu:
Pertama, kita semua tahu bahwa lingkungan baru pastilah menuntut kita harus menemukan teman baru. Menjadi orang yang sering pindah-pindah rumah dan kota memberikan nilai-nilai baru menyoal cara bagaimana berbaur dengan orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Saya yakin mereka yang sering bepindah-pindah rumah dan telah mengambil banyak pelajaran di dalamnya paham betul bagaimana cara mengambil hati orang yang baru dikenal.
Kedua, membuat kita berolahraga. Kenapa? Mengangkat TV, kotak-kotak berisi baju hingga mengangkat berbagai perkakas saat berpindah rumah akan membuat badanmu penuh peluh dan membuat ototmu terus berkontraksi. Jika kamu jarang olahraga, cobalah pindah rumah. Setidaknya kamu pasti akan berolahraga saat itu.
Ketiga, pada akhirnya ketika kamu sudah sering berpindah rumah dan kota. Satu yang bisa ditarik kesimpulan. Kamu adalah orang yang paham betul bahwa manusia itu memang unik dan aneh. Kenapa? Coba saja tanya ke mereka yang sering pindah-pindah rumah dan kota.
Jadi, jangan disangka pindah rumah itu enak. Tetek bengeknya banyak, apalagi menyoal interaksi dengan lingkungan baru yang menuntut banyak. Kalau boleh saya sebut, “pindah rumah itu berat, biar aku saja.” (*)
BACA JUGA Panduan Mengikuti Festival Midsommar: Spoiler Alert! atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.