Pilkades Rasa Pilpres

pilkades

pilkades

Hari Rabu tanggal 31 Juli 2019 kemarin saya bela-belain cuti demi bisa pulang kampung guna turut serta menyumbangkan suara pada Pilkades di tanah kelahiran saya. Memang Pilkades serentak ini masih kalah pamor dengan hingar bingar Pilpres. Ya iya lah, Presiden kok dibandingkan Kepala Desa, jauh banget. Jelas ramashook. Kepala Desa dibanding anggota DPR aja sudah jauh—kesejahteraannya—apalagi Presiden. Tapi siapa yang menduga drama politik yang terjadi selama Pilpres bisa menular di Pilkades tempat saya berasal.

Tempat kerja saya berjarak 3 kota dari tanah kelahiran saya di Gresik. Mau tak mau saya pun lebih sering berada di luar kampung halaman. Sewaktu pulang kampung kemarin saya melihat suasana Pilkades meriah, ramai, tapi tetap kondusif seperti yang dulu-dulu. Tiap calon Kades punya basis massa masing-masing tapi tetap rukun satu sama lain. Lah gimana nggak rukun, pagi itu saya lihat ketiga calon Kades malah sarapan bareng di TPS sambil bercanda. Suasana guyup rukun khas desa masih nampak normal dan baik-baik saja.

Saya tinggal di Desa Klangonan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Di desa saya ini ada 3 orang yang bersaing memperebutkan kursi Kepala Desa. Kalau anda sempat browsing, atau anda tinggal tak jauh dari lokasi ini, tentu anda akan tahu bahwa Pilkades di desa ini endingnya tidak baik-baik saja.

Singkat cerita ketika perhitungan suara usai. Dua calon Kepala Desa nomor urut 02 dan 03 mendapat perolehan suara sama persis. Yakni sebanyak 563 suara dari total empat tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan calon Kepala Desa dengan nomor urut 01 tertinggal di angka 509 suara. Ketika hasil draw begini, adu pinalti, eh, drama pun dimulai.

Percaya atau tidak, tontonan di TV selama ini memberikan kita inspirasi. Mulai dari resep masakan baru, tempat wisata baru, tren gaya berpakaian kekinian, hikmah dari suatu kejadian, pengalaman untuk menghadapi sebuah situasi, sampai dengan cara memanfaatkan barang tak terpakai menjadi sesuatu yang berguna.

Itu tadi beberapa contoh positifnya. Negatifnya juga tak kalah banyak. Kan yang tayang di TV juga ada tokoh antagonis dari sinetron, dunia criminal, hedonisme, dan lain sebagainya. Inspirasi cara berkelahi bisa didapat, modus kejahatan baru pun bisa didapat, belajar dari kegagalan penjahat sebelumnya. Setidaknya ada banyak pelajaran untuk menirukan apa yang dilakukan karakter / tokoh yang tayang di TV, entah itu baik atau buruk.

Kini ditambah lagi dengan asupan berita online dan berita provokatif yang menyebar lewat grup whatsapp, lengkap sudah gizinya, empat sehat lima semburat.

Kali ini yang menginspirasi warga desa saya adalah sikap para elit politik yang berkelit dan bernafsu ingin memenangkan calon yang didukung masing-masing, apapun caranya. Benar-benar menginspirasi deh!

Kembali menyoal hasil draw Pilkades. Jika menilik Peraturan Bupati (Perbup) no 10 tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas Perbup nomor 12 tahun 2015 tentang pedoman pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian bakal calon kades, apabila perolehan sama maka pemenangnya adalah calon yang dapat suara terbanyak di TPS paling banyak pemilihnya.

Simak baik-baik, Ferguso!

Dalam hal ini, calon dengan nomor urut 03 lah pemenangnya. Sebab ia mengungguli calon lain di 2 TPS yang penduduknya paling banyak. Calon nomor urut 02 memperoleh 204 suara di TPS wilayah 1, 187 suara TPS wilayah 2, 81 suara TPS wilayah 3 dan 91 suara di TPS wilayah 4 (total suara 563). Sementara calon nomor urut 03 mendapatkan 231 suara di TPS wilayah 1, kemudian 249 suara di TPS wilayah 2, lalu 20 suara di TPS wilayah 3, dan 63 suara di TPS wilayah 4 (total suara 563).

Jika melihat data jumlah penduduk desa saya, TPS paling banyak pemilihnya berada di TPS 1 dan 2. Di TPS itu yang unggul nomor 03. Artinya yang keluar sebagai pemenang nomor 03. Tapi hasil itu ditolak oleh calon nomor 02 dan pendukungnya. Mereka mengklaim hasilnya imbang dan belum ada pemenang. Hitung ulang atau Pilkades putaran kedua perlu dilakukan. Dugaan kecurangan pun spontan diujarkan.

Suasana balai desa yang semula kondusif, berubah jadi tegang. Bahkan meski panitia membacakan berita acara dan hasil rekapitulasi yang disaksikan oleh semua calon Kepala Desa dan pendukungnya, sorak sorai warga semakin menjadi. Konvoi kemenangan urung dilakukan sebab kubu lawan menghalangi dan tak mau tanda tangan hasil rekapitulasi. Suasana malam itu semakin ramai, kedua supporter mulai panas, tinggal dikomporin sedikit saja sudah bentrok, untung saja bisa diredam seiring berdatangnya rombongan Polisi.

Hingga tulisan ini dibuat, keputusan masih menggantung. Kasus berlanjut dan diserahkan ke pihak Pemerintah Kabupaten Gresik.

Saya jadi de javu melihat peristiwa semacam ini. Mirip dengan apa yang saya lihat selama ini di TV dan sosial media. Terlepas dari siapa yang benar dan salah. Setidaknya drama politik Pilpres telah mengajari warga ditempat saya tentang bagaimana cara bikin drama serupa.

Saya menduga kalau apa yang dilakukan oleh warga desa saya itu semata-mata merupakan sebuah pengamalan dari keteladanan yang sudah dipertontonkan para bapak dan ibu di Senayan sana? Yah, bisa jadi begitu.

Atau jangan-jangan mereka yang disana sudah mewakili kita yang doyan ribut untuk ribut sendiri disana. Yah kita kan rakyat dan mereka wakil rakyat jeh.

Exit mobile version