Pidana Bakar Sampah, Solusi yang Keliatan Baik, tapi Percuma kalau Tidak Didukung Sistem yang Memadai

Pidana Bakar Sampah, Solusi yang Keliatan Baik, tapi Percuma kalau Tidak Didukung Sistem yang Memadai

Pidana Bakar Sampah, Solusi yang Keliatan Baik, tapi Percuma kalau Tidak Didukung Sistem yang Memadai

Saya benar-benar kesal dengan orang-orang yang bakar sampah sembarangan, apalagi di pinggir jalan raya. Asapnya bukan hanya bikin sesak napas, tapi juga mengaburkan pandangan. Seakan-akan mereka lupa bahwa tindakan sepele itu bisa berdampak besar bagi orang lain.

Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq yang ingin mempidanakan pelaku pembakaran sampah. Tapi ada satu hal penting yang perlu diperhatikan sebelum aturan pidana ini diberlakukan: benahi dulu sistem pengelolaan sampah di negara kita!

Pengalaman hidup di negara dengan pengelolaan sampah yang bagus

Kebetulan, saya pernah tinggal di Finlandia—negara yang pengelolaan sampahnya sudah tertata dengan baik. Di sana, warga nggak punya alasan untuk buang sampah sembarangan, apalagi bakar sampah. Sampah di sana wajib dipilah sesuai jenisnya: organik, plastik, logam, kaca, kertas, karton, dan sampah campuran. Malahan, ada kategori khusus buat barang elektronik yang harus dibuang di tempat pembuangan khusus, biasanya jauh dari area perumahan. Singkatnya, semua sampah diatur rapi sejak dari rumah.

Awalnya, jujur saja, saya agak kewalahan dengan aturan ini. Di Indonesia, jangankan memilah-milah, kadang kita masih nyampurin sampah sembarangan habis itu peduli amat sampahnya mau berakhir di mana. Tapi di Finlandia, semuanya sudah diatur sedemikian rupa. Kita bisa gampang buang sampah sesuai kategori, karena tempat pembuangannya sudah disediakan. Dan yang paling penting, kita tahu bahwa hasil pemilahan itu punya manfaat besar, seperti didaur ulang menjadi barang baru.

Ada yang lebih menarik lagi. Di supermarket, ada mesin penukaran botol plastik, kaleng aluminium, dan botol kaca dengan voucher belanja. Alhasil di musim panas anak-anak hingga orang dewasa (seperti saya contohnya) rajin berburu botol bekas untuk mendapatkan uang tambahan. Simpelnya, kalau ada sistem yang memudahkan, orang pasti akan ikut berpartisipasi.

Sistem kayak gini jelas nggak gratis. Di tempat tinggal saya, yang merupakan perumahan bersubsidi khusus untuk pendatang dan mahasiswa, biaya pengelolaan sampah sudah termasuk dalam biaya sewa bulanan. Untuk perumahan umum, warga biasanya bayar biaya perawatan gedung plus biaya pengelolaan sampah. Semuanya transparan dan tertata rapi, jadi warga pun lebih gampang untuk patuh.

Sistem pengelolaan yang jelek

Saya nggak punya niat membanding-bandingkan Indonesia dengan Finlandia. Saya sadar betul bahwa kondisi di kedua negara ini berbeda. Tapi, pengalaman hidup di Finlandia membuka mata saya tentang pentingnya peran pemerintah dalam menyediakan sistem pengelolaan sampah yang baik. Apa yang berhasil di Finlandia belum tentu bisa langsung diterapkan di Indonesia, tapi setidaknya jadi gambaran bahwa sistem yang rapi itu mungkin.

Saya pribadi setuju sama aturan larangan bakar sampah sembarangan, tapi kita juga harus realistis. Bagi banyak orang Indonesia, sampah itu urusan rumit. Ada yang nggak mampu bayar biaya pengelolaan sampah rutin, dan nggak jarang mereka harus memilih antara bayar iuran sampah atau makan hari ini. Sebagai gambaran, saya tinggal di Sleman, Yogyakarta, dan bayar iuran pengelolaan sampah sebesar 75 ribu rupiah per bulan. Bagi sebagian orang, jumlah ini masih oke-oke aja. Tapi buat banyak orang lainnya, 75 ribu itu harga hidup mati.

Kita sering kali menyalahkan orang-orang yang buang sampah sembarangan atau bakar sampah di pinggir jalan, tapi gimana mau tertib kalau sistemnya aja nggak mendukung? Di beberapa tempat, petugas kebersihan masih nggak teratur datangnya. Bak sampah penuh, pengangkutan nggak rutin, akhirnya warga nyerah dan pilih cara yang praktis meskipun salah.

Solusi yang nggak sekadar hukum, tapi sistem

Kalau mau aturan larangan bakar sampah benar-benar berhasil, ya, harus dimulai dari pembenahan sistemnya dulu. Bukan cuma sekadar larang-melarang. Mulai dari pemilahan sampah yang jelas di setiap rumah tangga, sediakan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, dan pastikan semua warga, termasuk yang berpenghasilan rendah, bisa mengakses layanan kebersihan dengan harga terjangkau. Percuma saja kalau peraturannya dibuat ketat tapi sistemnya masih amburadul. Jangan sampai aturan ini malah berakhir sebagai alat untuk menjerat warga miskin yang sebenarnya tidak punya pilihan lain.

Memang, mungkin kita nggak bisa langsung berharap masyarakat akan disiplin seperti di Finlandia. Tapi, kalau sistemnya rapi, perubahan itu pasti mungkin terjadi. Pada akhirnya, aturan yang baik harus didukung dengan sistem yang kuat dan sosialisasi yang jelas. Semoga Menteri Hanif benar-benar serius membenahi hal ini, supaya kita bisa menikmati hidup di negara yang lebih bersih tanpa perlu terus-menerus mengeluh tentang asap pembakaran sampah di jalanan.

Saya tidak akan membenarkan perilaku membakar sampah sembarangan—bagi saya, tindakan itu salah, tolol, dan mengganggu. Tapi, jika solusinya adalah aturan pidana bagi pembakar sampah tanpa disertai sistem pengelolaan sampah yang murah (bahkan kalau bisa gratis) dan memadai, maka kebijakan ini tetap saja seperti “menyembunyikan debu di balik karpet,” memberikan solusi instan tanpa benar-benar menyelesaikan akarnya.

Penulis: Armandoe Gary Ghaffuri
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Membakar Sampah Adalah Kejahatan!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version