Ironi Indonesia: Mengaku Peduli Anak, tapi Membiarkan Pewarna Makanan Sintetis Berkeliaran Bebas

Ironi Indonesia: Mengaku Peduli Anak, tapi Membiarkan Pewarna Makanan Sintetis Berkeliaran Bebas

Ironi Indonesia: Mengaku Peduli Anak, tapi Membiarkan Pewarna Makanan Sintetis Berkeliaran Bebas (Pixabay.com)

Saya tahu, hidup kita belakangan memang muram. Cuaca panas, pergolakan politik, kecurangan keadilan, bikin hidup di Indonesia serasa menyebalkan. Tapi, saya merasa perlu memberi tahu kawan-kawan perkara bahaya yang benar-benar dekat dengan kita semua, yaitu bahaya pewarna makanan sintetis.

Ngomongin pewarna makanan sintetis ini memang bikin galau. Sebab, nyatanya, pertumbuhan industri makanan dan minuman bikin negara ini beneran untung.

Nih, lihat datanya. Produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan industri makanan dan minuman naik 4,90% pada 2022. Nilai PDB industri ini sangat fantastis yaitu Rp813,06 triliun pada 2022, porsinya setara 38,35% dan yang terbesar terhadap industri pengolahan nonmigas. Tahun 2023 industri makanan minuman diperkirakan tumbuh di atas 5 persen.

Sayangnya, pertumbuhan industri makanan minuman di Indonesia tidak disertai dengan kesadaran kesehatan bagi para konsumennya. Kesadaran mengenai konsumsi makanan yang baik dan bermanfaat memang bukan topik yang seksi, apalagi dibandingkan isu 2024.

Saya kerap bertanya dan overthinking, apakah hal ini karena rendahnya literasi di Indonesia sehingga pengetahuan mengenai komposisi makanan minuman yang berdampak negatif itu sangat rendah? Atau karena negara kita tercinta ini masyarakatnya masih berjuang untuk mendahulukan isi perut baru yang lainnya?

Atau, memang dasarnya negara yang tak peduli?

Pewarna makanan sintetis ada dan berlipat ganda

Coba tengok kanan kiri ke tetangga, teman, dan saudara yang memiliki anak atau keponakan. Adalah pemandangan yang wajar melihat anak jaman sekarang mengkonsumsi berbagai macam jajanan kemasan. Dengan warna-warni yang menarik, jajanan terlihat menggiurkan dan bahkan sering diasosiasikan dengan buah atau sayur. Misalnya makanan minuman berwarna pink, di benak konsumen pink itu ya strawberry.

Menjadi kontradiksi ketika konsumen mengira telah membeli produk yang sehat, padahal sesungguhnya berbahaya. Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pewarna sintetis banyak diaplikasikan di makanan dan minuman untuk anak-anak seperti permen, jelly, sereal, dekorasi kue dan lainnya. Berbahan baku utama petroleum atau crude oil, pewarna sintetis tidak membawa dampak positif sama sekali. Justru hal tersebut berisiko buruk bagi kesehatan bagi konsumen khususnya anak.

Jurnal dan artikel mengenai risiko kesehatan pewarna makanan sintetis sudah teramat banyak. Lumrahnya, harusnya, sebagai manusia waras, kita tidak mengabaikan begitu saja. Berikut adalah beberapa alasan mengapa kita seharusnya menghindari makanan yang mengandung BTP pewarna sintetis.

Beberapa jenis pewarna makanan sintetis meningkatkan risiko kanker

Kita tahu kalau pewarna sintetis itu berbahaya. Ini tak bisa didebat. Tapi apa saja sih pewarna makanan sintetis yang berbahaya? Nggak lucu juga kita waspada tapi nggak tahu apa-apa.

Jawabnya sih, banyak. Tapi saya mau kasih beberapa contoh saja. Pewarna makanan jenis Red No. 40 Allura Red, Yellow No. 5 Tartrazine, dan Yellow No. 6 Sunset Yellow mengandung Benzidine. Benzidine adalah zat karsinogenik yang berbahaya namun dinyatakan aman dikonsumsi dalam jumlah yang sangat minimal.

Selain itu, beberapa pewarna makanan lainnya juga dikaitkan dengan potensi kanker. Kayak, Biru No.2 Indigotin, Yellow No. 6 Sunset Yellow, dan lain-lain. Lengkapnya, cari sendiri ya.

Kalau saya nih ya, baiknya nggak usah dikonsumsi, meski kadarnya kecil banget. Nah, masalahnya adalah, jenis pewarna sintetis yang disebutkan di atas masih diperbolehkan oleh BPOM yang tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan. Pitikih?

Pewarna makanan sintetis dikaitkan erat dengan perilaku hiperaktif pada anak

Pernah nggak, kalian bertanya-tanya, si bocil itu kenapa hiperaktif, kenapa bocil ini begini, begitu? Salah satu jawabannya ya karena pewarna makanan sintetis ini.

Penelitian yang diterbitkan Jurnal Neurotherapeutics pada 2012 menunjukkan bahwa pewarna sintetis menunjukkan pengaruh yang yang berbahaya yang walaupun rendah, tetapi signifikan terhadap anak-anak. Meski studi tersebut menunjukkan pewarna sintetis bukan penyebab ADHD, tapi pewarna sintetis dapat mempengaruhi hiperaktivitas pada anak normal sekalipun.

Penelitian terakhir oleh California’s Office of Environmental Health Hazards Assessment (OEHHA) pada 2022 mempertegas hal tersebut. Udah dua penelitian, masih kurang yakin? Boleeeh.

Pada 2008, Uni Eropa menerapkan regulasi yang mewajibkan produsen untuk melabeli produk makanan minuman dengan pewarna sintetik. Aturan ini diikuti oleh UAE di tahun 2016, selanjutnya Bahrain, Kuwait, Oman, dan Saudi Arabia dan kemudian diikuti oleh Amerika Serikat.

Indonesia gimana?

Hehehe. Hehehehehehehehe.

Baca halaman selanjutnya

Ditolak di luar, dirangkul di dalam

Efek lain yang sama-sama ngerinya

Kalau kalian sudah merasa bahwa efek pewarna sintetis di atas udah buruk banget, kalian salah. Soalnya, MASIH ADA LAGI EFEK LAINNYA.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan hubungan positif konsumsi pewarna makanan dengan genotoksisitas. Genotoksisitas adalah kemampuan bahan kimia merusak kromosom atau mutasi gen pada sel tertentu. Salah satu pewarna makanan yang bikin genotoksisitas adalah tartrazine.

Tartrazine adalah pewarna sintetis yang paling sering diaplikasikan di makanan dan minuman. Pewarna ini paling banyak menimbulkan reaksi alergi dengan gejala paling umum adalah gatal-gatal. Tapi nih tapi, tartrazine atau Yellow No. 5 adalah salah satu BTP Pewarna Makanan Sintetis yang diperbolehkan oleh BPOM dalam Peraturan nomor 11 tahun 2019.

Lho, lho, lho.

Dilarang di luar, dirangkul di dalam 

Inilah yang bikin saya bingung. Walaupun di negara maju dilarang, tapi di Indonesia masih dibolehkan. Di Eropa sudah dibatasi, tapi di Indonesia masih dijual bebas. Dan inilah fakta mengerikannya, apa-apa yang sudah dilarang di luar, masih dengan bebas beredar di Indonesia.

Celakanya, makanan/minuman berwarna lucu ini yang mengonsumsi ya anak-anak. Inilah yang bikin saya makin hah-heh-hoh sama negara ini. Katanya mempersiapkan Indonesia Emas 2045, tapi kok biarin aja zat-zat berbahaya ini dikonsumsi anak-anak?

Orang ngefans MU aja jadi keliatan masuk akal ketimbang hal di atas.

Sektor industri makanan dan minuman tak bisa dimungkiri lagi, sebagai salah satu penyumbang pendapatan terbesar. Yang tentunya, bakal memiliki bargaining power yang tinggi terhadap negara.

Tapi, apakah keuntungan tersebut sepadan dengan menukar masa depan negara? Apakah negara akan hadir dan memihak masa depan generasi penerus bangsa?

Saya kerap dengar kelakar “nyawa di Indonesia itu murah”. Tapi, tetap saja, andai itu benar, harusnya tak semurah ini.

Penulis: Maryza Surya Andari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 33 Istilah Khusus pada Kemasan Makanan biar Paham Apa yang Kalian Makan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version