Perspektif Hannah Arendt dalam Banalitas Kejahatan dan Pemberi Harapan Palsu

Perspektif Hannah Arendt dalam Banalitas Kejahatan dan Pemberi Harapan Palsu

Para pelaku kejahatan tidaklah harus selalu orang yang jahat, berhati kejam, berwajah menyeramkan atau bertampang setan. Justru para pelaku kejahatan masa kini sering kali hadir dalam sosok lembut, rambut sebahu, bermata sendu, dan lesung pipit nan lucu. Dalam tulisan ini saya mencoba menggambarkan pandangan Hannah Arendt dengan para pemberi harapan palsu zaman sekarang.

Hannah Arendt adalah salah seorang filsuf politik kebanggaan Jerman yang menjadi korban otoritarian rezim fasis Hitler. Menurut Arendt Banalitas Kejahatan adalah situasi di mana kejahatan dirasa bukan lagi sebuah kejahatan melainkan adalah hal yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Mungkin gambaran seperti ini dapat sedikit banyak menjelaskan kondisi dari para pemberi harapan palsu, mulai dari pendekatan, dibuat nyaman, penembakan, hingga fase penolakan.

Dengan dalih ingin fokus dalam bidang akademik hingga kehidupan pribadi para remaja putri dengan ringan melakukan penolakan terhadap para pria -pria yang sudah berupaya maksimal untuk memenangkan hatinya tanpa memikirkan aspek psikologis yang akan dihadapi si korban

Hannah Arendt menjelaskan sedikitnya ada dua faktor utama Penyebab Banalitas kejahatan dalam konteks nya. Faktor pertama adalah diskriminasi sistemik. maksud Arendt adalah diskriminasi yang telah mengakar dalam budaya masyarakat dan dianggap sebagai hal yang umum contohnya seorang pemuda dituntut memiliki tubuh yang atletis apabila ingin mendapatkan gadis pujaannya, atau seorang pemuda minimal harus naik motor ninja jika ingin menjemput gadis idamannya, atau dalam kondisi yang lebih ekstrem seorang pemuda dituntut memiliki wajah seperti adam lallana jika ingin berkencan dengannya, hal hal semacam inilah yang mendiskreditkan para pejuang cinta (jomblo) yang hanya bermodal hati yang tulus untuk menyenangkan hati gadis impiannya

Faktor kedua adalah kurangnya imajinasi. Andai wanita sekarang mau berimajinasi lebih lagi bahwa pacaran bukanlah sekedar foto selfie berdua, pakai display picture seragam, pamer kemesraan di media sosial mungkin saja mereka sudah dibahagiakan dengan sejuta puisi romantis para jomblo idealisidealis, dibuatkan lagu indah dengan lirik yang menyentuh hati , atau bahkan dapat diajarkan cara orasi menuntut nasionalisasi sumber daya alam guna pemulihan nilai tukar rupiah (bukan mendoakan mirip ustad kebanggaan masyarakat itu hehehe).

Mungkin apabila Hannah Arendt hidup di zaman kekinian dia akan sepakat dengan saya bahwa memberikan sebuah harapan kosong dan tanpa kepastian dalam sebuah hubungan merupakan salah satu tindakan banal yang dilakukan di luar kesadaran. Hannah Arendt juga pernah jadi mahasiswi kok dan memiliki kisah cinta yang legendaris dengan seorang filsuf juga namanya Heidegger. Konsep Banalitas Kejahatan diciptakan Arendt saat ia menyaksikan sidang di Pengadilan Internasional Yerusalem. Saat itu salah seorang petinggi SS Nazi bernama Eirmann disidangkan atas kejahatan genosida. Dalam pembelaannya di persidangan, ia mengungkapkan bahwa apa yang telah ia lakukan merupakan instruksi militer dari atasannya dan ia hanya melakukan tugasnya atas dasar sebuah kepatuhan.

Sering kali remaja putri jaman sekarang tanpa sebuah imajinasi yang lebih rasional melakukan penolakan penolakan terhadap korban dengan alasan-alasan tidak masuk akal dan didasari oleh diskriminasi sistemik memberikan vonis terhadap korbannya seperti maaf ya aku mau fokus kuliah penolakan ini menunjukan bahwa menjalin sebuah hubungan akan mempengaruhi bidang akademisnya atau dengan “kukira kita hanya berteman” padahal sudah jelas dari awal pendekatan si korban (jomblo) telah dengan jelas melakukan pendekatan dengan harapan lebih dari sekedar pertemanan.

maka dari itu sebagai mahasiswa tingkat akhir yang kebetulan mempelajari filsafat Hannah Arendt saya ingin memberi sebuah kritik langsung bagi para individu yang tidak menyadari telah melakukan banalitas kejahatan untuk merenungkan kembali, atau sekedar mempertimbangkan kembali bahwasannya kejujuran diawal adalah lebih baik ketimbangan memberikan vonis vonis yang menurut saya amat sangat tidak fair terhadap korban contoh dengan berkata “aku harap kamu tahu bahwa kedekatan kita tidak lebih dari pertemanan” atau jika ingin lebih halus dapat dengan menjaga jarak dengan si korban tidak perlu setiap malam mengucapkan good night atau udah makan belum atau bahkan yang benar benar meninggikan hati si korban kamu kemana aja si itu sama saja dengan mengharapkan kehadirannya di awal.

Jadi cukup jelaskan untuk berbuat jahat itu tidak perlu melakukan hal-hal yang membuang buang tenaga, bahkan cukup dengan satu atau dua kalimat “baper” dapat merubuhkan semangat seseorang

Hidup rakyat !!!!

Media sosial: @rakyatertindas

Exit mobile version