Google memang hebat, tapi tidak akan menggeser perpustakaan sebagai sumber informasi.
Sebagai seorang pustakawan, saya cukup kenyang mendengar pertanyaan dan pernyataan miring seputar perpustakaan. Salah satu yang paling sering saya dengar adalah tempat ini sudah tidak ada gunanya karena segala sesuatu bisa dicari melalui Google. Perpustakaan telah tergantikan dengan gadget yang terkoneksi dengan internet.
Saya gatal sekali ingin merespon argumen-argumen itu. Saya sebagai pustakawan yang memahami seluk-beluk di dunia perpustakaan meyakini perpustakaan tidak akan terganti. Perpustakaan masih punya keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki Google. Keunggulan ini yang menjadi daya tawar agar posisinya tidak akan tergeser.
Kelemahan Google
Saya tidak memungkiri, saat ini Google digunakan oleh hampir seluruh manusia di dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan data dari statista.com per Juli 2023, Google menempati puncak klasemen pemegang pangsa pasar dengan persentase sebanyak 83,49 persen.
Besarnya pangsa pasar yang dimiliki Google tidak terlepas dari berbagai layanan dan kemudahan yang ditawarkan. Siapa sih yang tidak tertarik mendapat berbagai macam informasi hanya dengan mengetik di kolom pencarian. Berbagai hal bisa kalian akses secara gratis mulia dari artikel, foto, video, siniar.
Saya akui kehebatan Google yang satu ini. Namun, perannya tidak lebih dari sekadar mesin pencari saja. Sebuah alat yang mengumpulkan informasi di internet dari seluruh dunia untuk ditampilkan kembali. Tidak peduli siapa pencipta dari informasi tersebut, selama relevan dengan kata kunci yang dimasukkan, Google pasti akan menampilkannya.
Pihak Google memang sudah berusaha menerapkan algoritma untuk memfilter informasi hoaks. Namun, hal itu tetap tidak bisa jadi jaminan bahwa informasi yang ditampilkan benar semua. Berbeda halnya dengan buku-buku yang lebih terjamin kebenaran informasinya. Oleh karena itu, sehebat apa pun Google, ia tidak akan bisa menggeser perpustakaan begitu saja.
Tidak semudah itu menggeser perpustakaan
Selain informasi yang lebih valid, tempat penuh bacaan ini punya tiga hal lain yang sulit disaingi oleh Google. Pertama, masih terkait validasi, perpustakaan lebih terpercaya. Pustakawan akan memilah buku-buku apa saja yang masuk ke dalam katalog. Jadi tidak sembarang buku bisa terpajang di rak.
Kedua, akses gratis untuk semua orang. Mayoritas perpustakaan di dunia tidak mengenakan tarif bagi mereka yang ingin memanfaatkan fasilitas di dalamnya. Sebut saja perpustakaan umum kota/kabupaten, pernah dengar ada bayar tiket untuk masuk ke dalamnya? Berdasarkan pengalaman pribadi hal seperti itu tidak pernah terjadi.
Ketiga, interaksi sosial dan komunitas di dalamnya. Di perpustakaan, setiap orang bisa menyalurkan fitrahnya sebagai makhluk sosial. Pertemuan antar pengunjung, percakapan/diskusi dengan rekan, dan berkonsultasi dengan pustakawan adalah sebagian kecil interaksi sosial di perpustakaan. Selain itu, banyak perpustakaan menawarkan kegiatan berbasis komunitas seperti klub buku dan pameran budaya. Hal yang tidak mungkin ditemukan hanya dengan duduk manis mengakses Google di rumah.
Terus beradaptasi
Jika melihat seluk-beluknya, kira-kira apa yang membuat tempat ini terus ada dan masih bertahan? Jawabannya mudah saja, mampu beradaptasi dengan zaman. Buktinya, kini telah hadir perpustakaan digital, pengelolaan secara otomatis, dan layanan dengan memanfaatkan produk TI.
Menurut saya, Google, Artificial Intelligence (AI), maupun kemunculan teknologi-teknologi canggih lain tidak akan pernah menjadi musuh. Sebaliknya, teknologi justru memberi kesempatan baru bagi perpustakaan untuk semakin menunjukkan eksistensinya lewat program, kegiatan, dan layanan yang ada.
Google dan kawan-kawannya, tidak serta merta menempatkan perpustakaan dalam kondisi sekarat. Justru yang menjadikan tempat ini sekarat adalah ulah penyelenggara dan SDM di dalamnya yang tidak mengerti dan memahami pentingnya menghidupkan perpustakaan.
Penulis: Maulana Hasan
Editor: Kenia Intan ‘
BACA JUGA Ironi Perpustakaan Sekolah, (Katanya) Gudang Ilmu tapi Nyaris Tak Tersentuh
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.