Pernyataan Nyeleneh Seputar Anak Teater yang Sulit Dicerna Akal Sehat

Mitos Nyeleneh Seputar Anak Teater terminal mojok

Memilih ikut bergabung dalam sebuah kegiatan ataupun komunitas teater, ternyata tidak pernah bisa lepas dari beragam judgement orang-orang. Ada banyak label yang disematkan kepada anak teater, mulai dari yang cukup masuk akal, hingga yang nggak bisa dicerna pikiran sama sekali.

Bukan rahasia umum jika anak teater biasanya punya serangkaian kegiatan yang agak nyeleneh dibandingkan ekstrakurikuler, komunitas, maupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lainnya. Tetapi pernyataan orang-orang tentang anak teater, kadang hanyalah mitos belaka.

#1 Nggak punya urat malu

Sebenarnya kami masih punya malu kok, tapi saat latihan, kami dituntut untuk totalitas. Pada setiap momen latihan kami harus melakonkan peran dengan maksimal. Latihan pun tidak selalu di atas panggung atau di dalam sebuah gedung. Anak teater bisa berlatih di mana saja, mulai dari lapangan, parkiran motor, sekitaran jalan, bahkan di pinggiran sungai pun bisa, yang penting cukup kondusif dan sesuai kebutuhan.

Latihan teater memang melibatkan dialog yang menggunakan suara kencang, karena sering kali saat manggung, kami tidak pakai pengeras suara. Berlatih di tanah lapang atau lokasi nyeleneh bertujuan untuk cek vokal, apakah suara pemain terdengar jelas di tempat yang luas? Selain itu, latihan dengan all out di tempat nyeleneh akan membantu pemain menghilangkan demam panggung. Jadi ketika dilihatin orang-orang dan dibilang, “Kok malu-maluin?”, di sanalah kami belajar menguji mental.

#2 Dikira bisa menguasai berbagai hal

Kami harus bisa menampilkan yang terbaik, maka ketika proses produksi, kami harus  menyusun naskah, melakukan setting panggung sekalipun peralatannya seadanya, memberikan tata rias karakter walaupun alat makeup-nya cuma itu-itu saja. Belum lagi agar panggung dan pementasan lebih hidup, kami harus mencari dan membuat beberapa backsound, kami memanfaatkan lembaran koran bekas untuk menghasilkan suara tertentu, menggunakan barang bekas untuk memunculkan suara yang cocok dengan cerita, bahkan bisa mendadak bernyanyi dan menggunakan alat musik demi membuat pertunjukan tampak sempurna. 

Kami harus bisa melakukan banyak hal, tapi bukan berarti kami bisa melakukan segala hal dengan mahir. Anak teater dituntut punya problem solving yang baik, tak ada akar, rotan pun jadi.

#3 Pas latihan suka dibilang lagi main

Kalau anak teater lagi ketawa-ketiwi, nggak selamanya mereka lagi main stand-up comedy. Kadang tertawa keras dan teriak-teriak adalah bagian dari proses latihan. Tetapi justru karena banyak tertawa, anak teater yang latihan sering dikira lagi main-main.

Latihan anak teater itu banyak, mulai dari olah vokal, latihan gerak dan ekspresi, baca naskah, bahkan mematung bagai orang gila. Semua step latihan akan disesuaikan dengan kebutuhan pementasan.

#4 Kalau datang telat, chill aja!

Anak teater pun sama dengan anak-anak yang ikut kegiatan lain. Kami punya disiplin waktu dan etos kerja yang tinggi. Bukan karena anak seni, lantas kami bebas ngaret sesuka hati. Justru kalau kami telat, hukumnya bisa menyiksa sekali, mulai dari disuruh lari keliling lapangan, sampai harus memerankan berbagai peran seperti orang yang kurang waras.

Latihannya pun menguras fisik dan pikiran. Ada kalanya kami harus membuat konsep pementasan, mengasah imajinasi dan kreativitas, di sisi lain kalau mau pentas latihannya bisa berjam-jam. Kami juga diajarkan untuk bersikap profesional. Tidak peduli habis nangis tujuh hari tujuh malam, kalau di atas panggung dan latihan kami tetap harus fokus. Sebab, penonton hanya peduli dengan yang apa yang kami tampilkan di atas panggung, dan tidak mau tau apa yang terjadi sebelum naik panggung.

#5 Pakai ritual aneh sebelum naik panggung

Waktu ikut ekstrakurikuler teater pas SMA, saya dan kelompok teater punya “ritual” khusus sebelum naik panggung. “Ritual” ini bukan untuk mengundang setan atau merapal jampi-jampi agar penonton terkesima, ya. Sebelum naik panggung, para pemain melakukan sesi relaksasi dan berdiam sejenak untuk berkonsentrasi dengan cara duduk melingkar. Dipimpin oleh pelatih, kami menarik napas panjang dan memfokuskan pikiran supaya bisa menampilkan yang terbaik.

Tetapi waktu saya SMA, beberapa kali saat pemain turun panggung, tiba-tiba ada yang kesurupan dan pingsan. Muncullah rumor, kalau kami punya ritual aneh sebelum naik panggung, makanya habis itu pada kesurupan.

Eh, pas saya tanya yang kesurupan dan pingsan, mereka ngakunya terlalu lelah akibat diforsir latihan dan terlalu demam panggung hingga stres, makanya begitu turun panggung langsung ambruk. Bukan kesurupan lalu pingsan, ya. Gimana dengan penonton yang ikut pingsan dan kesurupan? Jawaban mereka sama, pingsan akibat kelelahan di sekolah, terus nggak langsung pulang dan malah nonton pementasan.

#6 Bajunya hitam-hitam

Baju hitam adalah kebutuhan wajib anak teater. Biasanya pementasan akan dilakukan di dalam sebuah ruang dengan setting serba gelap agar lighting di panggung bisa menyorot maksimal. Pada saat pementasan berlangsung, beberapa crew di balik layar harus selalu mondar-mandir untuk menggeser properti, memperbaiki makeup, mengecek lighting, maupun mengkondisikan akses keluar masuk pemain. Baju serba hitam yang digunakan crew bertujuan untuk kamuflase di atas panggung saat seliweran, agar penonton tetap fokus ke pemain.

#7 Turun panggung langsung happy

Turun panggung adalah saat mencekam yang sesungguhnya. Zaman saya SMA, selesai pementasan, seluruh tim teater akan duduk melingkar bersama para seniman, pelatih, senior, penonton, dan kelompok teater lain. Kami duduk melingkar untuk melakukan sesi diskusi dan apresiasi. Dikomandoi seorang moderator, sesi “pembantaian” pascaturun panggung pun dimulai. Semua orang berhak memberikan pujian dan kritik pedas atas pementasan hari itu. Tujuannya agar di pementasan berikutnya bisa lebih baik lagi.

Bergabung dalam sebuah kegiatan teater mengajarkan banyak hal. Banyak orang memandang sebelah mata ketika melihat anak teater. Mereka bilang kami gila, tidak punya malu, dan nyeleneh. Padahal dalam setiap membuat karya, kami sama saja dengan anak-anak lainnya, butuh kerja keras dan ngesot-ngesot juga. Kalau kami tidak gila, maka tidak akan pernah lahir karya-karya yang luar biasa di atas panggung sana.

BACA JUGA Dukun Itu Nggak Bisa Mencari Barang Hilang, Sudah Nggak Usah Berharap dan tulisan Rahmita Laily Muhtadini lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version