Konon, Terminal Mojok antusias dan sangat terbuka dengan tulisan yang berbau dengan kondisi atau kebudayaan suatu daerah. Karena topik-topik umum bisa saja dibahas semua orang, tapi tidak dengan topik daerah. Kemarin saya membahas tentang Jogja, kota dimana saya bekerja. Rasanya tidak adil, bisa menulis tentang kota rantauan tapi belum menulis tentang kota kelahiran. Akhirnya saya putuskan untuk menulis tentang daerah saya, yaitu kabupaten Grobogan.
Kemarin lur Restu menulis artikel yang membahas daerah Pati. Dan mendapat banyak feedback dari netizen khususnya orang asli Pati. Saya jadi semangat buat bahas Grobogan, siapa tahu bisa dapat feedback positif juga kan? Kali aja bisa terkenal jadi selebwriter gitu. Eh.
Oke, kita mulai dari pertanyaan, “Apakah ada yang tahu kabupaten Grobogan?” Tentu, jawabannya banyak yang belum tahu. Padahal kabupaten Grobogan adalah kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah setelah kabupaten Cilacap.
Grobogan punya ibu kota bernama Purwodadi. Orang-orang lebih banyak mengenal Purwodadi, dibanding Grobogan itu sendiri.
Terletak di jalur lalu lintas alternatif dari Semarang-Surabaya, dan menjadi kota penghubung kota-kota di Pantura Timur (yaitu Kudus, Jepara, Pati, Rembang dan Blora) menuju ke Kota Solo atau Surakarta.
Kalau misal orang lain bertanya asal dan saya jawab Grobogan, mereka malah nggak tahu. Tahunya ya ibu kotanya, Purwodadi. “Aslinya mana, mbak?”, “Oh, Purwodadi Temanggung itu ya?” Hadehh, salah alamat, Pakdhe. Kadang, kalau sudah mentok malas menjawab, saya asal jawab, “Grobogan itu lho Pantura”. Padalah ya sebenarnya nggak pantura-pantura amat, lha wong Grobogan letaknya agak di tengah, jauh dari laut.
Sedangkan orang yang tahu daerah Grobogan (Purwodadi) biasanya nggak sengaja maido, “Oh yang jalannya rusak itu ya?” Hadehh, ya memang sih, jalan di sana meskipun dibangun, beberapa tahun kemudian bakal mleyot bergelombang lagi. Jadi kesannya dari dulu jalannya rusak nggak dibangun-bangun, padahal dibangun, kok. Masalah ini disebabkan oleh topografi lembah dan diapit oleh dua pegunungan kapur sehingga struktur tanahnya sering tidak stabil.
Karena masih dekat dengan Pantura, orang Grobogan rata-rata agak keras, sedikit galak dan hobinya misuh. Orang-orang Pantura itu kan ngomongnya sedikit berlogat medok, jadi kalau misuh itu mantep dan nggak wagu. Sebelas dua belaslah kayak orang Suroboyo. Bener orak? Wis toh, iyoni ae hehehe
Makanan khas daerah Grobogan adalah Swike, makanan ini berbahan dasar dari kodok atau katak. Tentunya yang dimasak tidak sembarang katak. Yakali pangeran katak di masak juga.
Di Jogja, Semarang dan tempat lainnya, saya sering menjumpai warung-warung yang menjual “Swike Purwodadi”. Nggak mau sombong, rata-rata warungnya juga rame. Ternyata banyak juga yang penasaran dan doyan makanan ini. Selain itu, makanan khas lainnya adalah nasi jagung, botok yuyu, peyek laron, walang goreng dan ungker jati. Hmmm, ekstrem juga ya makanan khas Grobogan ini? Kalau diulas Abu Yahya bisa-bisa warga Grobogan dicap kafir karena masak dan makan makanan haram lagi. Lha wong yang jelas-jelas kerja banting-tulang-meras-keringat saja dibuatkan list dan dicap haram.
Btw, walang goreng favorit saya, lho~
Selain makanan, apa yang istimewa dari Grobogan? Saya mantap menjawab orang-orangnya. Meskipun tidak seramah masyarakat Jogja, tidak sekaya masyarakat di Semarang, dan kota lainnya. Orang Grobogan menurut saya paling nyah-nyoh.
Di sini tidak ada yang namanya pelit, tetangga butuh apa ya dibantu, tetangga ada gawe pasti ikut rewang (bantu-bantu), temen minta bantuan ya ditolong, sedulur kesusahan ditemenin, pokonya nyah-nyoh pol. Sebab, di sini kalau ada orang yang pelit bakal jadi bahan rasan-rasan, orang yang pelit biasanya disebut “BAKIL”.
Masyarakat kami mayoritas berkerja sebagai petani, otomatis kami cuma sugih di bidang hasil bumi. Kalau ada sedulur yang kurang mampu, pas panen padi ya dikasih semampunya, paling tidak sekarung. Kalau ndelalah panen terong, onyong, cipir, pare langsung dikasih, dibagi-bagikan ke tetangga. Punya sayur-mayur yang sebenarnya cukup untuk keluarga sendiri, dibagikan ke tetangga juga, saking lumo (murah hati).
Saya punya tetangga yang alhamdulillah gemati banget. Kalau masak bubur, masak opor, masak kletikan, masak tetek bengek, selalu dikasih disuruh icip-icip. Intinya orang Grobogan itu nyah-nyoh, nggak ada yang pelit di sini. Pokoknya semua dianggap sedulur. Sebab orang-orang di sana punya moto hidup “Kombuling cipto hangroso jati”. Berasal dari Bahasa Jawa yang artinya “bersatunya kehendak dengan Nyang Agung menumbuhkan rasa sejati hidup dalam kesucian”. Bener orak lur?
Salam Grobogan Bersemi~
(Bersih, Sehat, Mantap, dan Indah)
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Menebak Kepribadian Orang Jogja karena Mereka Suka Menganggukkan Kepala dan tulisan Rinawati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.