Perkara yang Membuat Sebagian Orang Abangan Nggak Respek Sama Kiai

kejawen islam sufistik sufisme abangan kiai MOJOK.CO

kejawen islam sufistik sufisme abangan kiai MOJOK.CO

Selain model ritual ibadah yang agak nyeleneh—sedikit melawan arus utama fikih-syariat masyarakat muslim pada umumnya—orang-orang abangan, setidaknya dari yang saya jumpai, juga punya sentimen tertentu terhadap beberapa oknum kiai. Seperti misalnya yang saya ulik dari Pandi (bukan nama asli), salah seorang penganut abangan yang sejak semester lalu sering diskusi sama saya.

Sebelum melangkah jauh ke pokok bahasan mengenai alasan mereka agak sensi sama beberapa kiai, izinkan saya menjelaskan sesuatu.

Begini, sebagai penganut abangan sejak lahir, Pandi mengaku sudah diberi pemahaman oleh lingkungannya sesama orang abangan bahwa bumi itu adalah kakak dari manusia. Sebab, jika ditarik dari alur sejarahnya nih, ya, secara kronologis bumi itu diciptakan sebelum Adam (manusia) diciptakan. Bumi sudah ada jauh-jauh hari sebelum Adam “diadakan” oleh Pengeran (bahasa orang abangan untuk menyebut Tuhan).

Kenapa disebut kakak? Karena dalam proses selanjutnya, Pengeran “menitipkan” Adam ke bumi dan bumi merawatnya dengan baik dan memberikan apa pun yang dia punya; oksigen, air, dan bentang alam dengan manfaat yang berlimpah, sampai hari ini. Ini adalah gambaran fitrah seorang kakak yang berkewajiban merawat adiknya dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks ini adalah bumi merawat manusia.

Ada dua sudut pandang yang unik dari bagian ini. Pertama, orang abangan memilih menggunakan kata “menitipkan” ketimbang “mengusir” atau “menurunkan” (seperti yang kita gunakan selama ini) untuk kasus Nabi Adam.  “Mengusir itu terlalu kasar, Mas. Sementara Pengeran itu welas asih. Kalau menurunkan, rasa-rasanya juga kurang pas karena seolah surga lebih tinggi kedudukannya dari bumi. Padahal keduanya setara; sama-sama makhluknya Pengeran, hanya beda fungsinya saja,” tutur Pandi.

Jadi, “menitipkan” adalah istilah yang menurutnya paling cocok karena pada prinsipnya manusia di dunia memang titipan. Kelak pasti bakal diambil lagi sama yang punya (Pengeran) alias mati.

Sebenernya bagian ini juga menarik, sih, karena biasanya kita berpandangan bahwa yang jadi titipan itu bumi dan seisinya. Mangkanya dalam doktrin agama kita dianjurkan buat jangan terlalu mengejar-ngejar dan menuruti hasrat duniawi karena sifatnya hanya titipan.

Kalau kata orang Jawa, aja kedonyan. Sama orang abangan logikanya dibalik; yang titipan itu kita (manusia). Dititipin ke bumi dan sewaktu-waktu pasti disuruh kembali ke tempat asal (Pengeran).

Baik, kita coba lanjut yang kedua, orang abangan memiliki pemahaman bahwa sebagai kakak, bumi sudah dengan sangat bertanggung jawab kepada kita, adiknya. Mulai dari masa Bapa Adam sampai saat ini, loh.

Sudah berapa ribu tahun bumi menghidupi kita? Maka dari itu mereka punya keyakinan; harus menghargai dan senantiasa berterimakasih kepada bumi melalui ritual slametan dan membalas jasa bumi dengan merawatnya balik; nggak merusak seenak jidat, nggak mengeksploitir secara ugal-ugalan.

“Logikanya gini tho, Mas. Sampeyan punya kakang yang ngerawat sedari kecil. Terus pas udah gede, tiba-tiba sampeyan lupa dan nggak pernah ngasih penghargaan sama sekali ke kakang sampeyan, minimal terima kasih. Kira-kira gimana perasaan kakang sampeyan? Apalagi kalau sampeyan sampai tega menguliti kakang sampeyan sendiri. Sudahlah nggak tahu diuntung, kejem juga iya,” begitu Pandi memaparkan.

“Ya kurang lebih sama dengan bumi, Mas. Sebagai sesama makhluk, saya percaya kalau bumi juga punya perasaan,” tambahnya.

Orang abangan—dalam hal ini adalah Pandi—mengakui ketidakberdayaannya membalas jasa atas segala yang pernah bumi berikan. Sebab kenyataannya, makin ke sini, manusia kian rakus dengan terus menggerogoti dan memamah potensi alam secara tidak terkendali.

Untuk itu, satu-satunya hal yang bisa dilakuin orang abangan adalah mencoba terus berterima kasih dan memberi penghargaan kepada bumi. Tujuannya, biar bumi nggak marah sama adik-adiknya (manusia) yang durjana ini.

Ungkapan terima kasih itu mereka salurkan lewat tradisi slametan dengan menyuguhkan sesajen di tempat tertentu dan dalam momen tertentu pula. Misalnya, menjelang atau sehabis panen. Umumnya sih, kalau nggak di sawah-sawah langsung, melarung sesajen ke laut, kadang juga di pohon-pohon beringin desa yang bagi mereka merupakan simbol kesuburan.

Nah, sayangnya, ada seorang kiai di desa Pandi—menurutnya—terlalu menelan mentah-mentah dogma agama. Sudah sejak awal 2000an praktik semacam itu dilarang di desa mereka. Alasannya syirik lah, apa lah, sesat lah. Padahal si kiai—lagi-lagi menurut Pandi—nggak tahu persis apa yang diniatkan orang-orang abangan dalam melakukan tradisi tersebut.

“Istilahnya gini, Mas, kami ngasih sesajen ke laut itu ya wujud syukur kami karena laut sudah ngasih kami (para nelayan) penghidupan dari sana. Begitu juga hubungan antara sawah dan petani. Emang bener rejeki itu dari Pengeran, tapi kan ada perantaranya, Mas. Perantaranya itu ya alam,” terang Pandi dengan nada agak ditekan.

“Bersyukur kepada Pengeran itu pasti, mas. Tapi berterima kasih kepada kakang kita sendiri ya tetep harus. Ibaratanya gini, saya sakit terus periksa ke dokter. Nah, yang ngasih kesembuhan kan emang Gusti Pengeran, Mas. Tapi yang saya kasih imbalan kan tetep saja si dokter yang ngasih saya obat. Sebab perantara kesembuhannya dari situ. Kalau Pengeran mestinya nggak butuh dikasih imbalan, ha wong kita ini malah nggak bisa apa-apa tanpa Dia, kok,” pungkasnya kemudian.

Bagi Pandi (yang di desanya beberapa masih menganut abangan) oknum kiai kayak gini sangat lancang dan nggak tahu diri. Narasi “menghapus praktik syirik” lewat forum-forum ngaji berhasil memengaruhi sebagian besar masyarakat. Imbasnya, nggak cuma berhenti dari aktivitas slametan, kadang kalau masih ada orang abangan melakukan ritual tersebut, pasti sesajennya dibuang oleh mereka yang melihatnya.

“Sudah belasan tahun di desa ini nggak ada slametan, mas. Jadi sampeyan tahu kenapa desa ini terkenal sangat panas dan paling susah buat ditandur (ditanami) macem-macem tumbuhan. Panen sering gagal, hujan jarang turun. Padahal loh, Mas, di desa sebelah subure puoll. Beda dengan masa belasan tahun silam pas tanah di sini masih subur-suburnya, “ keluh pandi, “saya kira bumi, kakang kita, sudah jengah sama adik-adiknya yang nggak tahu diuntung ini, Mas.”

Jadi, ketidakcocokan orang abangan di sini hanya kepada kiai yang fundamentalis; oknum kiai yang menolak tradisi warisan leluhur. Terlebih jika praktik slametan pure dilakukan tanpa disentuh unsur-unsur keagamaan seperti yang dilakukan Wali Songo. Ada sih orang abangan yang menerapkan konsep akulturasi semacam ini. Namun, khusus Pandi (selaku informan saya), ada di posisi tidak memasukkan unsur agama di dalamnya.

“Jadi, kalau ada kiai yang luwes dan longgar, sampeyan apa bisa respek ke mereka?” Tanya saya.

“Oh tentu, Mas, kalau itu. Kami hanya nggak suka sama kiai yang sok ngatur dan ngelarang ritual ibadah kami, padahal nggak paham maksud sebenernya.”

Nb: ada di pihak manakah Anda sekalian? Lagi-lagi adalah tanggung jawab Anda masing-masing. Tulisan ini tidak punya otoritas membenarkan atau menyalahkan pihak mana pun. Tabik.

BACA JUGA Cari Kerja Itu Tidak Susah dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

 

 

Exit mobile version