Saat masih duduk di usia TK hingga SD, kita biasanya dibiasakan dibawakan bekal makanan dan minuman oleh ibu dari rumah. Bekal dalam wadah makanan ini bisa bermacam-macam rupanya. Bisa nasi goreng, nasi naget + kering tempe, nasi telor + sayur buncis, dan aneka olahan dapur lainnya. Untuk bekal minuman relatif homogen. Mayoritas cukup air putih atau teh. Belum pernah saya jumpai ada yang bawa bekal wine, vodka, atau tequilla. Kebiasaan perbekalan yang melambangkan kasih sayang dari orang tua yang nyangoni putra-putrinya agar dapat mengikuti pelajaran dengan nyaman ini ternyata bermetamorfosis seiring bertambahnya usia kita. Bekal makanan dan minuman mengalami pergeseran makna. Citranya bercabang. Setidaknya itulah yang saya lihat di banyak kesempatan.
Bawa bekal saat SMP
SMP saya adalah salah satu sekolah favorit di kabupaten Sleman. Prestasi akademisnya top. Pengalaman dengan bekal makan-minum saya alami langsung di awal kelas 7. Ndilalahe kelas saya bersebelahan dengan kantin sekolah. Kantin menjajakan sajian yang menggugah selera para siswa. Kadang pas ibu kantin nggoreng bakwan, baunya bisa sampai ke kelas. Maknyusss tenan. Soto, bakso, gorengan, siomay, es teh, hingga es jeruk cukup untuk menggoda berpindahnya duit dari dompet Dagadu ke tangan ibu kantin. Di tahap ini saya sempat tergoda untuk jajan. Njajal seperti apa sih enaknya menu kantin. Ya maklum, namanya juga siswa baru.
Terlena dengan kebiasaan jajan membuat kebiasaan membawa bekal saya berhenti lama. Ibu saya pun nggak masalah. Pikirnya saya udah gede jadi nggak perlu bawa bekal lagi. Suatu hari saya bekal nasi sayur sawi dengan lauk tempe goreng. Saya makan di kelas saat jam istirahat dan… sepi. Ada teman yang bawa bekal sih namun populasi manusia berbekal makanan ini dapat dihitung dengan jari tangan. Lain hari saya bawa bekal lagi. Kali ini nasi mi goreng dengan suwiran daging ayam. Beberapa kawan menghampiri, penasaran dengan apa yang saya bawa. Setelah tahu apa yang saya makan, berbasa-basi sebentar, lalu mereka pergi ke kantin.
Di posisi itu saya merasa kalau massa pembawa bekal makanan sudah berkurang jauh. Manusia yang masih setia dengan bekalnya ya cuma itu-itu aja, termasuk saya tentunya. Yang saya dengar banyak siswa memilih jajan karena kantin menjadi lokasi apik untuk pedekate dengan siswa yang ditaksir. Kantin adalah lokasi yang pas untuk mbarengi si dia jajan dan curi-curi pandang sembari sepik-sepik iblis. Bahkan pernah ada siswa yang nembak cewek di kantin. Hakikat kantin sebagai arena pemuas hasrat lapar sontak berubah menjadi venue reality show Katakan Cinta. Tapi bagi mereka yang tidak punya cewek incaran, setidaknya kantin menjadi tempat strategis untuk cuci mata. Tiada gebetan, nyawang “pemandangan” pun jadi.
Bawa bekal saat SMA
SMA saya berada di Klaten. Membawa bekal di SMA pada masa itu memerlukan mental kuat. Gimana nggak, lha wong cuma saya yang bawa bekal. Saya seolah seperti kaum marginal. Mangan dhewe. Tiada teman yang menyertai bawa bekal, apalagi menemani makan. Pokoknya bener-bener single fighter deh. Motivasi membawa bekal makanan di usia remaja ini tak lagi demi melestarikan kebiasaan yang diwariskan Ibu dari TK, tapi karena pertimbangan strategis bernama ngirit uang jajan. Orang tua saya bukan orang kaya dan uang jajan bernominal banyak menjadi kemewahan bagi saya. Maka bawa bekal adalah jalan hidup saya yang realistis.
Fenomena sosial yang ada di SMA lumayan mengejutkan. Saya sempat dianggap kurang soldier solider karena tidak ikut jajan di kantin. Ya biasa lah, di SMA pasti muncul geng-geng kan. Siswa mulai mengelompok dengan siswa lain yang dirasa cocok dan sefrekuensi. Nah, dengan jarang nggabungnya saya ke kantin, dikiranya saya sombong dan sok idealis. Saya juga dianggap sebagai anak yang freak dan cupu. Ibarat telenovela ya sebelas-dua belas dengan Betty La Fea sebelum di-make over lah. Anak-anak SMA merasa bangga dengan semangkok soto di tangan kanan dan segelas es teh di tangan kiri, duduk bergerombol, sambil hahahihi pethenthang-pethentheng. Kalau saya manusia super saiyan, sudah ku-kamehame tumpukan mangkok mereka.
Usut punya usut, seringnya mereka jajan di kantin karena nraktir gebetan diklaim sebagai keharusan yang hakiki. Mosok gebetan nggak ditraktir, lelaki macam apa itu? Huh… mosok mau deketin cewek tapi jam istirahat masih saja di jalur independen bawa bekal maem? Apa iya gebetanmu mau disuruh menyantap hidangan bekalmu se-Tupperware berdua? Dikira ini lagi syuting FTV berjudul pacarku anak tukang sayur po? Ingat, ini SMA lho…. Es-em-a! Era di mana ego, gengsi, dan pencitraan itu gede-gedenya. Bisa njajakke gebetan seolah menjadi indikator penting dalam ujian seberapa pantas diri cowok di mata sang cewek. Menurut survei yang tidak pernah dilakukan oleh lembaga surve mana pun, ya memang begitulah adanya. Dan saya… hanya bisa memandang mereka dari sudut emperan kelas ditemani bapak tukang kebon yang menyapu halaman sesuai passion-nya.
Bawa bekal saat kuliah
Di usia yang udah dianggap dewasa ini, frekuensi membawa bekal sudah jarang. Entah kenapa kuliah yang saya anggap seperti sekolah ini menggugurkan prinsip bawa bekal secara signifikan. Secara umum, jarang ada mahasiswa yang sangu nasi bungkus atau wadah makan. Jajan di kantin atau foodcourt kampus menjadi prestise tersendiri. Meski begitu saya masih rutin bawa bekal minum air putih. Alasannya ya ngirit uang jajan dan kalau di kampus haus tidak perlu jalan jauh beli minum. Pengalaman unik seputar perminuman saya dapati di sini.
Jujur saja saya nggak tahu apakah air putih yang saya bawa ini di mata teman-teman sekelas dilihat sebagai air Ponari atau air suci menara Kirin-nya Yajirobe yang pernah diseruput Son Goku, bekal minum saya selalu larisss manisss tanjung kimpul. Di jam kuliah dan jam kosong ada saja yang minta minum. Kadang saya mikir apa tampang saya sudah seperti juragan galon ya…. Setelah berminggu-minggu fenomena ini terjadi, bertanyalah saya pada mereka kok maniak amat dengan air putih? Kok nggak pernah bawa bekal air minum? Bla bla bla, jawab mereka, lha haus je, dan kalau mau bawa botol dari rumah males tur ribet. Yak, males menjadi kata kunci di fase ini. Atau sesungguhnya males karena gengsi ya mbuh yo. Lha wong cuma air putih doang lho gaesss. Apakah membawa bekal air putih menurunkan kadar ketampanan mahasiswa? Monggo dijawab.
Bawa bekal setelah lulus
Profesi saya memberikan kesempatan untuk berkunjung ke sekolah-sekolah. Suatu saat saya mengantar sepupu saya ke sekolah. Dia sekolah di SMA yang terkenal elite di Ibu Kota. Sambil jalan di lorong sekolah saya lirik kiri-kanan melihat bangunan sekolah dan para penghuninya. Hebatnya, banyak dari siswa-siswanya yang bawa bekal dan menunya pun nggak jauh beda dari bekal saya jaman SMA dulu. Tak ketinggalan air putih juga dibawa. Gileee… Campuran rasa takjub dan salut spontan tanpa uhuuuyyy memenuhi hati saya.
Karena penasaran, saya dekati salah satu kerumunan penikmat bekal itu dan terlontarlah asal-muasal kebiasaan bawa bekal hingga umur SMA. Jadi mereka ini dididik di lingkungan rumah tentang pentingnya higienitas dan menyisihkan uang saku untuk tabungan. Bukan berarti mereka menganggap kantin nggak bersih dan anti-kantin lho. Mereka juga masih mampir ke kantin kok, tapi untuk bawa bekal mah tetep. Bukan berarti pula mereka nggak mampu jajan lho. Yang ini jelas nggak mungkin, wong sekolahnya saja sekolah terkenal secara prestasi akademis, non-akademis, dan keelitannya. Berpikir mereka bawa bekal karena punya riwayat sama seperti jaman pas saya SMA adalah hil yang mustahal.
Dari sini saya terus berpikir kok bisa ya sekolah favorit di Ibu Kota gini siswa-siswanya justru gemar bawa bekal? Sementara SMA saya dulu yang di pinggiran kota dan bukan termasuk sekolah favorit saja siswanya pada gengsian bawa bekal dan milih jajan di kantin hanya karena harga diri yang harus dijaga. Bisa jadi waktu itu saya adalah siswa yang sekolah di SMA yang “salah”. Di SMA saya, cowok bawa bekal wes koyo ora ono regone di mata cewek apalagi kategori cewek populer. Namun, di SMA yang saya kunjungi ini, bawa bekal adalah pemandangan umum yang jamak ditemui. Jajan kantin silakan, bawa bekal juga silakan. Semua sama, egaliter, tanpa ada yang bersikap sok membuat pengkotak-kotakan dengan diferensiasi berbasis asumsi ngawur.
Padahal kalau dilihat baik-baik, filosofi kenapa Ibu menanamkan tradisi bawa bekal dari TK itu bisa jadi agar kelak buah hatinya terlatih dengan jagad perbekalan sehingga punya cukup bekal untuk mengarungi biduk lautan rumah tangga. Bukankah ini amanat bijak yang harus dijaga. Ngomong-ngomong kapan terakhir kali kamu bawa bekal ke sekolah?
BACA JUGA Dari Pengalaman Saya, Ada yang Lebih Penting dari Menyekolahkan Anak di Sekolah Mahal dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.