Percayalah, Menginap di Pelabuhan Saat Mudik Tidak Ekonomis dan Sangat Miris

Percayalah, Menginap di Pelabuhan Saat Mudik Tidak Ekonomis dan Sangat Miris

Percayalah, Menginap di Pelabuhan Saat Mudik Tidak Ekonomis dan Sangat Miris (Unsplash.com)

Bukan cuma terminal, bandara, dan stasiun yang ramai menjelang Lebaran. Pelabuhan pun dipadati para pemudik yang hendak pulang ke kampung halaman masing-masing. Fenomena ini utamanya terlihat di beberapa pelabuhan besar di Indonesia seperti Pelabuhan Merak, Tanjung Perak, dan Bakauheni. Bahkan, kadang beberapa pelabuhan kecil turut dipadati pemudik.

Sebagai anak rantau dari Jawa ke Sulawesi, tentu saja saya juga pernah mengalami mudik naik kapal laut. Berdasarkan pengalaman saya mudik menggunakan kapal, ada sebuah kebiasaan umum pemudik melalui jalur laut ini, yaitu menginap di pelabuhan.

Bagi saya, kebiasaan menginap di pelabuhan itu nggak efisien dan terkesan sangat miris. Nggak percaya? Nih, saya jelasin alasannya.

Kebutuhan menginap di pelabuhan mahal

Kita sepakat bahwa harga makanan dan minuman yang dijual di pelabuhan cenderung lebih mahal. Misalnya harga seporsi makanan di tempat umum cuma Rp10 ribu, di pelabuhan bisa dijual seharga Rp15 ribu hingga Rp20 ribu. Sebotol air mineral ukuran 1,5 liter yang biasa dibanderol Rp5 ribu sampai Rp7 ribu, dijual sekitar Rp10 ribu sampai Rp15 ribu di pelabuhan.

Misalnya ada sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak menginap di pelabuhan. Minimal mereka harus mengeluarkan uang Rp200 ribu untuk sehari semalam hanya untuk makan dan minum, lho. Rinciannya, sekali makan, mereka bisa menghabiskan uang sebanyak Rp60 ribu untuk 4 porsi makanan (Rp15 ribu per porsi). Berarti kalau makan 3 kali sehari, keluarga tersebut perlu merogoh kocek sebanyak Rp180 ribu. Ditambah kebutuhan 2 botol air mineral 1,5 liter seharga Rp10 ribu.

Itu belum menghitung kebutuhan alas tidur yang biasa dijual Rp10 ribu per lembar (ukuran 1 orang dewasa), ya. Keluarga dengan empat orang anggota tersebut minimal butuh 3 sampai 4 lembar alas tidur. Selain untuk menjadi alas badan, biasanya alas tersebut dipakai untuk mengalasi barang yang mudah rusak ketika terkena air. Itu belum termasuk jajanan anak atau biaya kopi atau teh orang tuanya, lho.

Rawan tindak kejahatan

Ketika musim mudik tiba, berbagai tempat yang ramai dipadati pemudik menjadi rawan tindak kejahatan. Tak terkecuali di pelabuhan. Bahkan berdasarkan pengalaman saya, pelabuhan jauh lebih rawan tindak kejahatan ketimbang stasiun dan bandara. Tingkat kerawanannya, jika dibandingkan dengan terminal, mungkin sebelas dua belas.

Dengan kondisi seperti itu, pemudik yang ingin hemat dengan menginap di pelabuhan, bukan malah untung, tapi bisa berpotensi jadi buntung. Sebab, barang bawaan dan harta benda dapat berpindah tangan dengan waktu sekejap. Terlebih, jika pemudik kurang waspada dan berhati-hati.

Sangat menguras tenaga

Menginap di pelabuhan saat malam itu dingin banget, lho. Sementara kalau siang hari panasnya nggak umum. Dengan keadaan seperti itu, tenaga para pemudik sungguh terkuras. Bahkan menginap di sana juga bisa mengundang banyak penyakit. Coba bayangkan kalau ada pemudik yang sedang flu, virusnya mudah sekali menyebar dan menjangkiti orang lain.

Padahal untuk menghadapi Lebaran, pemudik membutuhkan badan yang fit guna mengikuti berbagai rangkaian acara hari raya. Kamu tentu nggak mau kan kurang sehat saat Lebaran, apalagi kalau sampai sakit. Pasti nggak enak banget tuh.

Istirahat yang tidak optimal

Menginap di pelabuhan itu sebuah istiratahat yang sangat tidak optimal. Pasalnya, kondisi cuaca di pelabuhan tak menentu. Ditambah, pemudik nggak bisa tidur dengan lelap, soalnya tidur sambil menjaga barang bawaan dan harta benda yang rawan berpindah tangan ke orang yang tak bertanggungjawab.

Kondisi tersebut dapat diperburuk jika pemudik membawa bayi. Sebab, bayi nggak bisa istirahat dengan tenang jika keadaan sekitar kurang kondusif. Tahu sendiri kondisi pelabuhan kayak gimana menjelang lebaran. Banyak pemudik yang masih muda-mudi main gaplek, gitaran, dan nyanyi sampai dini hari.

Fasilitas toilet kurang memadai

Berbagai kemirisan tadi, digenapkan dengan fasilitas toilet pelabuhan yang kurang memadai. Bahkan, tak sedikit toilet yang kotor dan bau. Gimana mau nyaman menginap di pelabuhan kalau kebutuhan mandi dan buang air saja sulit? Makanya, banyak pemudik yang memilih nggak menggunakan toilet ketika mudik menggunakan kapal laut.

Memang separah itu kondisi toilet yang saya temui. Saya lebih baik menahan hasrat untuk buang air ketimbang harus berhadapan dengan toilet yang kotor. Harapan saya, pengelola pelabuhan dapat mencontoh kondisi toilet di stasiun atau bandara, supaya para pengguna kapal laut nyaman berlama-lama di sana.

Begitu sekiranya berbagai hal yang melatarbelakangi opini saya terkait menginap di pelabuhan itu tidak ekonomis dan sangat miris. Walaupun kondisi beberapa pelabuhan sekarang sedikit lebih baik, perlu diakui bahwa pelayanan pelabuhan dan kapal laut masih belum setara dengan stasiun atau bandara. Semoga tulisan ini dapat menjadi masukan bagi mereka, amin.

Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Menginap di Pelabuhan, Kiat Mudik Ekonomis Sedikit Miris.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version