Jujur saja, saya agak muak dengan tren review saldo-saldoan yang saat ini sedang viral. Sikap tersebut menunjukkan bahwa orang Indonesia kurang memiliki rasa empati yang besar karena saat ini sedang masa sulit. Di samping itu, saya yakin dengan mereka yang memiliki uang banyak, ketaatan serta kepatuhan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan sangat rendah. Mungkin saat ini, admin dari DJP sedang bahagia-bahagianya memelototi netizen yang secara tiba-tiba kaya mendadak dengan postingan mereka atas saldo yang ada di rekeningnya. Begitu berurusan dengan pajak, baru gelagepan.
Jadi, saudara sebangsa dan setanah airku sekalian, janganlah heran bila Anda akan kena imbauan pajak. Tujuannya hanya satu, untuk pengujian atas kewajiban dan kepatuhan perpajakan Anda saja, kok. Sah-sah saja kalau Anda pamer saldo, tapi kewajiban lapor dan menyetor pajak harusnya juga oke. Kalau hanya pamer saldo, tok, ya mending nggak usah gaya sekalian. Bila saya petugas pajak, hal yang sama tentu akan saya lakukan demi menegakkan kedisiplinan dalam membayar dan melapor pajak.
#1 Akan diimbau terlebih dahulu
Bila saya seorang fiskus, dengan adanya keterbukaan informasi serta kecanggihan medsos, memamerkan saldo di media sosial tentu akan memudahkan saya dalam meneliti kewajiban perpajakannya. Salah satunya dengan menerbitkan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan). Nah, surat cinta dari pajak ini yang kadang-kadang membuat WP tidak bisa tidur semaleman. Padahal, kalau dibaca dengan tenang, pajak itu hanya ingin meminta penjelasan saja dari data yang sebetulnya ditemukan oleh fiskus, kok. Kalau dirasa oke dan cocok, fiskus akan menerimanya. Tentu ini dibuktikan dengan data atau dokumen pendukung yang jelas juga.
Kalau cuma modal pamer saldo di medsos, begitu ditelusuri ternyata tidak pernah melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya, bahkan tidak dilapor semenjak dia baru punya NPWP. Tentu secara tegas, fiskus akan menegakkan kedisiplinan untuk memintanya melaporkan dan menghitung pajaknya. Bila tidak kooperatif? Ya, fiskus memiliki hak untuk meneliti secara mendalam: sebetulnya dari mana penghasilan si WP tersebut, sampai-sampai saldonya besar tapi tidak pernah mau laporan pajak?
Kapok, kon!
#2 Usulan pemeriksaan
Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan memiliki dasar yang kuat, mengapa WP tersebut layak dan harus diperiksa. Pada kasus ini, saya akan membahas pemeriksaan terhadap WP Orang Pribadi yang gemar review-reviewan saldo.
Pada dasarnya, kantor pajak dalam hal ini dikenal sebagai Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP), memiliki beberapa indikator mengapa seorang WP layak untuk diperiksa. Di artikel sebelumnya, saya pernah membahas orang yang mengurus NPWP hanya karena ada kebutuhan tertentu, seperti pengajuan kredit rumah atau kredit kendaraan bermotor. Setelah itu, blas sebablas bablase ia nggak pernah laporan pajak. Secara standar mutu kepatuhan, hal itu akan menjadi catatan buruh bagi WP itu sendiri. Apalagi ia tidak pernah melaporkan atau menyetorkan pajak terutangnya, paling tidak tiga tahun bahkan bisa lebih.
Awalnya, WP tersebut akan diimbau dalam bentuk penerbitan SP2DK. Namun, karena tidak dipedulikan dan didiamkan saja, kantor pajak akan mengambil tindakan tegas seperti penerbitan kembali SP2DK atau Surat Peringatan. Nah, yang paling parah adalah usulan pemeriksaan. Dalam mengusulkan pemeriksaan, kantor pajak tentu tidak bisa semena-mena dengan mengandalkan hak preogratifnya sebagai pengawas negara di bidang perpajakan untuk memeriksa WP tanpa ada alasan jelas. Mereka harus terlebih dahulu mengumpulkan bukti-bukti yang dirasa akurat dan bisa menjadi dasar kuat mengapa si WP layak dan wajib diperiksa.
Di dalam struktur kantor pajak, mereka memiliki suatu bagian tersendiri yang tugasnya betul-betul menganalisis dan mengolah data dari WP-WP yang betul-betul bandel dan tidak bisa diatur. Pengolahan data tersebut dikenal sebagai analisis IDLP (Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan) atau CTA (Center Tax Analysis). Indikator ketidakpatuhan bisa didasari dari analisis tersebut. Misalnya, selain fiskus memeriksa secara langsung data yang dimiliki oleh WP, ada juga bentuk pelaporan dari pihak ketiga yang memang memiliki data tambahan untuk memperkuat indikasi ketidakpatuhan si WP.
Saya ilustrasikan untuk mempermudah
Misal ada WP bernama Gogon, gemar sekali memamerkan saldo. Nah, ndilalah ini ketahuan sama si AR (Account Representative)-nya. Begitu ditelusuri melalui sistem, ternyata betul si Gogon ini tidak pernah laporan pajak bahkan sejak dia pertama kali memiliki NPWP. Dari situ, si AR menerbitkan SP2DK kepada si Gogon. Lantaran Gogon tidak peduli dan malas merespons, surat itu tidak pernah dibalasnya. Sebagai catatan, itulah pentingnya membalas surat konfirmasi data, balas saja sebisanya. Kalau tidak mampu membuat surat balasan secara resmi, bisa mengatur jadwal dengan AR dan dijelaskan secara langsung. Ini masih bisa diterima, kok.
Pada akhirnya, buntut kekesalan si AR karena suratnya tidak direspon, si Gogon masih diberikan kesempatan terakhir dalam surat peringatan. Ini tujuannya agar dapat membalas atau paling tidak memberikan konfirmasi data secara lengkap. Ndilalah kersane ngalah, ternyata ada laporan dari pihak ketiga yang melaporkan beberapa penghasilan Gogon ke kantor pajak dalam bentuk pengaduan. Dari dasar tersebut, si fiskus tentu dengan mudah meneliti si Gogon secara mendalam dalam bentuk usulan pemeriksaan. Bisa nggak hal itu terjadi? Kemungkinan bisa, bila melihat keparahan dari kepatuhan kewajiban perpajakan si WP.
Saya tetap berharap, bagi teman-teman yang ikutan review saldo untuk turut melaporkan pajaknya. Pasalnya, dalam penghasilan yang diterima, ada pula kewajiban lain yang harus dipenuhi. Selain zakat, infaq, dan sedekah, kontribusi kepada negara dalam bentuk menyetorkan pajak tidak kalah penting. Kalau sudah diperiksa dan potensi pembayaran pajaknya lebih besar, ditambah sanksi yang akan diterima, bagaimana?
Poinnya adalah patuh dan hati-hati, bukan dalam artian menutup-nutupi. Cukuplah yang tahu penghasilanmu hanya kamu, perusahaanmu, dan negara. Yang lain tidak perlu tahu. Kalau sudah disuruh lapor pajak, bayar pajak, pating nggreges, terus siapa yang salah? Kamu? DJP? atau cepumu?
Repot, kan?
BACA JUGA Salah Kaprah Definisi Penghasilan dalam Perpajakan dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.