Penyakit Orang Berbuat Baik menurut K.H. Anwar Zahid

Penyakit Orang Berbuat Baik menurut K.H. Anwar Zahid

Penyakit Orang Berbuat Baik menurut K.H. Anwar Zahid (Pixabay.com)

Gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggalkan belang, manusia mati tinggalkan nama. Artinya apa bang Messi? Orang yang meninggal kerap kali meninggalkan hal-hal yang baik, juga buruk. Dengan begitu, sudah sepantasnya manusia berbuat baik. Minimal, ketika meninggal tidak hanya meninggalkan catatan buruk, tapi juga hal-hal baik.

Kita mesti mafhum bahwa manusia ada di bumi hanya untuk berbuat kebaikan. Dengan bentuk dari rupa yang bermacam-macam. Bisa dengan berbagai dengan sesama, bisa dengan beribadah, dengan apa pun yang sekiranya itu baik. Pastinya, otak manusia sudah bisa menjangkau perihal yang baik dan buruk ini. Tidak perlu untuk diajari lagi.

Sayangnya, paham terhadap baik-buruk tidak meniscayakan bisa mengamalkan itu. Ada banyak orang yang paham bahwa merebut pasangan orang buruk, tapi tetapi dilakoni. Tidak sedikit yang paham bahwa bersedekah adalah kebaikan, tapi minim yang mengamalkan. Lazimnya, pengetahuan tidak berbanding lurus dengan perbuatan.

Urip soyo sue, soyo sae

Padahal, menurut K.H. Anwar Zahid, manusia harus berusaha menjadi manusia yang terus meng-upgrade kebaikannya. Sepantasnya, hidup semakin lama semakin bermakna agar tidak sia-sia belaka. Urip tambah sue tambah sae. Hari ini harus lebih baik dari kemarin dan besok harus lebih baik dari hari ini. Maka, belajarlah dari falsafah padi yang semakin tua semakin berisi.

Artinya, setiap hari harus melakukan evaluasi. Mencoba mengoreksi dna mempertanyakan diri sendiri, apakah sudah lebih baik dari kemarin. Hidup tidak boleh memegang prinsip ‘aku masih seperti yang dulu’. Karena kalau begini berarti hidup tidak ada perkembangan dan kemajuan, tidak melakukan perbaikan-perbaikan. Padahal, manusia ada di muka bumi semata-mata untuk berbuat baik.

Hal yang harus diingat bersama bahwa tugas manusia hanya berbuat kebaikan. Berbuat baik akan membawa beberapa hal positif. Orang yang dengan sungguh-sungguh melakukan kebaikan, ia tidak akan pernah bisa dijelek-jelekkan. Seseorang yang pada dasarnya memang baik, dijelek-jelekkan dengan cara apa pun tetap akan terlihat baik.

Kata beliau, orang baik tidak bakal bisa diremehkan oleh orang lain, juga tidak bisa dijelek-jelekkan. Semakin orang baik dijelek-jelekkan dan diremehkan, maka akan semakin nampak kebaikannya. Perumpamaan orang yang baik itu adalah permata yang semakin ditempa maka semakin berkilau. Berbanding terbalik dengan orang yang mempunyai perangai jelek.

Seseorang yang mempunyai perangai jelek, dipuji dengan cara apa pun akan tetap jelek. K.H. Anwar Zahid mengibaratkan itu dengan seseorang yang bukan kiai tapi memaki outfit agamis, namun tetap saja tidak bakal ada yang menghormat. Musabab pada dasarnya memang bukan kiai, bukan orang baik. Berbeda dengan kiai yang real, meski tidak memakai outfit agamis, tetap saja dihormati.

Nabi Muhammad sebaik-baiknya teladan

Sejujurnya, umat Islam telah mempunyai teladan bagaimana menjadi orang baik itu. Nabi Muhammad adalah teladan yang dimiliki umat Islam. Seminim-minimnya, seorang muslim harus mencontoh sifat nabi. Karena memang beliau yang menjadi patokan bagaimana menjadi seorang muslim yang ideal. Kalau tidak bisa mencontoh nabi, bagaimana? Ya, bisa tidak bisa harus bisa, sebab nabi role model kita.

Tatkala manusia sudah bisa berbuat baik, maka urusannya dalam hidup hampir selesai. Lagi-lagi, karena hidup memang hanya bertujuan untuk berbuat kebaikan. Dengan bentuknya yang bermacam-macam itu. Tidak peduli bagaimana bentuknya, selama itu kebaikan, maka tetap kebaikan. Sayangnya, orang yang sudah bisa berbuat baik bisa melahirkan penyakit. Sebuah penyakit hati yang dalam agama Islam dipandang buruk sekali: pamer!

Hari ini seseorang berbuat baik tanpa publikasi bak rokok tanpa kopi. Berapa banyak orang yang dengan entengnya berbagai dan terlihat sangat dermawan. Namun, di saat yang bersamaan harus mengabadikan momen itu untuk dibagikan di media sosial. Kelihatannya memang tidak masalah, namun dari sana penyakit muncul, rasa ingin pamer dan ingin dipuji (riya’).

Yang terlihat alim pun bisa kena penyakit

Bahkan, orang salat juga bisa terkena penyakit haus pujian ini. K.H. Anwar Zahid memberikan contoh seorang imam yang dikhusuk-khusukkan, bacaannya dibuat sebagus mungkin, tujuannya hanya ingin dipuji. Bahkan, menurutnya, dirinya sendiri yang notabene kiai juga rentan diserang penyakit pamer dan sebangsanya.

Karena marwah seorang kiai pada saat yang sama potensi melahirkan perasaan bangga. Belum lagi seorang kiai yang omongannya banyak diikuti oleh jamaah. Beliau katakan “bisa jadi omongan saya provokasi, bisa jadi omongan saya memecah belah umat, bisa jadi omongan saya menjadi sumber fitnah, berat risikonya, makanya agak mahal”.

Artinya, bahkan di dalam perbuatan-perbuatan yang baik masih ada celah keburukannya. Kalau di dalam perbuatan baik saja masih ada potensi keburukan, lalu bagaimana dengan perbuatan buruk? Tentu, tidak ada yang bisa membayangkan. Beliau juga menuturkan bahwa untuk menjadi baik harus mengikuti apa kata hatinya.

Akhirulkalam, manusia memang sudah selayaknya berbuat baik di muka bumi. Ingat, bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk berbuat kebaikan. Pada saat itu, malaikat menganggap bahwa manusia hanya akan berbuat keburukan. Maka, untuk mematahkan anggapan malaikat, satu-satunya jalan adalah dengan berbuat kebaikan. 

Penulis: Moh. Rofqil Bazikh
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Benarkah Kamu Merindukan Ramadan?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version