Apa sih yang merasuki para pedagang sampai nekat menciptakan pentol kotak?
Sebagai orang yang lahir di Indonesia, saya bersyukur karena selain kaya akan budaya, negeri ini juga kaya akan camilan nikmat yang mampu menggoyang lidah. Beberapa camilan yang menjadi favorit banyak orang di antaranya batagor, tahu bulat, cimol, cireng, dan masih banyak lagi.
Akan tetapi dari sekian banyak camilan yang saya sebutkan di atas, ada satu camilan yang mendapat tempat khusus di hati saya, yakni pentol. Menurut saya, olahan campuran tepung dan daging dengan bentuk bulat ini adalah camilan yang enak dan minimalis. Kita nggak perlu memikirkan banyak hal saat akan menyantapnya selain mikirin mau pakai sambel atau nggak.
Selain itu, menemukan makanan satu ini juga bukan perkara sulit. Di mana pun kamu berada, kamu pasti mudah menemukannya. Makanya saya menobatkan makanan satu ini sebagai camilan terfavorit abad ini. Bahkan, saya sampai ingin merevisi kalimat Karl Marx yang mengatakan “agama itu candu” menjadi “pentol itu candu”.
Sayangnya, belakangan ini saya dibuat kecewa dengan inovasi para pedagang yang menciptakan pentol dengan bentuk kotak. Jujur saja, pentol kotak adalah inovasi yang nggak mutu dan cenderung menyalahi kodrat makanan itu sendiri.
Pentol kotak hanya mengurangi esensi dan kenikmatan makan yang sesungguhnya
Menurut saya, pentol itu bentuknya wajib dan harus bulat. Saya yakin, mendengar namanya saja, kamu pasti langsung kebayang bentuknya yang bulat, kan? Bahkan dari beberapa generasi terdahulu bentuk pentol sudah pasti bulat. Lalu, kenapa para pedagang kini menyimpang dari pakem tersebut?
Pentol kotak hanya membuat saya merasakan culture shock saat menikmatinya. Sebab, bertahun-tahun saya terbiasa dengan bentuknya yang bulat dan kenyal. Meskipun terbuat dari adonan yang sama, percayalah kalau perasaan saat menikmatinya itu beda, seperti memasukkan benda asing ke dalam mulut.
Baca halaman selanjutnya: Inovasi yang mempersulit diri sendiri…