Pentingnya Alokasi Pos Dana untuk Psikolog, Bukan Berarti Kamu Gila Kok!

Pentingnya Alokasi Pos Dana untuk Psikolog, Bukan Berarti Kamu Gila Kok!

Untuk kaum pecinta korea (k-pop) seperti saya ini, pasti tahu kalau tahun ini banyak berita bunuh diri yang hadir, seperti Sulli, mantan anggota f(x) dan Goo Hara, mantan anggota Kara. Memang angka bunuh diri di negara ini relatif tinggi. Pembunuh utamanya adalah stres dan depresi, apalagi mereka adalah public figure yang tindak tanduknya banyak diperhatikan dan dikomentari masyarakan luas. Kesehatan mental memang selalu menjadi momok yang sering kali dibicarakan di negara ini, karena tingginya angka bunuh diri yang terjadi lantaran depresi dan stres.

Di Indonesia, isu mental health atau kesehatan mental sering kali terabaikan. Awareness orang-orang terhadap isu kesehatan mental masih rendah, apalagi banyaknya persepsi di masyarakat jika pergi ke psikolog atau psikiater itu berarti kamu merasa dirimu gila, padahal justru itu pertanda kamu sadar kamu bermasalah sehingga kamu mencari pertolongan dengan datang ke psikolog dan/atau psikiater, and honestly it is totally normal. Pergi ke psikolog bukan berarti kamu gila, tetapi itu berarti kamu ingin sehat secara mental dan mengharapkan hidup secara sehat adalah normal.

Sayangnya, profesi psikolog seringkali dipandang sebelah mata. Bahkan sering kali mereka yang mengambil jurusan Psikologi jadi ‘tempat curhat gratis’ teman-temannya. Padahal, perlu effort dan dana yang tidak sedikit untuk jadi psikolog, kan? Saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang meminta sesi konsultasi gratis hanya karena pertemanan. Benar-benar tidak mengerti. Mendengarkan hal seperti itu cukup melelahkan lho, mungkin tidak secara fisik, tapi secara mental.

Sayangnya banyak orang yang tidak memahami ini, sehingga sering kali menganggap remeh profesi satu ini. Padahal mereka tidak sekadar mendengarkan, mereka melakukan pendekatan-pendekatan yang tanpa kita sadari mengubah cara pandang kita menjadi lebih baik.

Mungkin ada beberapa yang pernah mendengar pendekatan-pendekatan secara linguistik untuk mengubah mindset dan pola pikir seseorang agar hidupnya lebih tertata dan lebih baik ke depannya, seperti NLP (Neurolinguistik Programme), Psychotheraphy treatment, atau CBT (Cognitive Behavioral Theraphy). Jadi bukan sekadar mengeluarkan keluh kesah saja. Kita juga bukan hanya ingin berkeluh kesah kan datang ke psikolog? Tapi ingin meningkatkan taraf hidup kita agar lebih berkualitas secara batiniah.

Apalagi kaum milenial sekarang ini banyak dihadapkan dengan persoalan kehidupan yang melibatkan mental. Oleh karena itu, tingkat stres dan depresi meningkat secara statistik terutama pada orang-orang yang hidup di kota yang serba cepat dan banyak tuntutan. Tidak heran dengan tren travelling di kaum milenial. Sebab nyatanya, travelling bisa menjadi obat stres yang tepat, walaupun hanya sementara saja. Begitu mereka kembali ke rutinitas yang biasa, mereka kembali terjebak dengan hal-hal yang membuat mereka stres dan depresi.

Jadi berpergian sekadar untuk kabur sejenak yang sayangnya tidak terlalu dapat menyelesaikan masalah. Sebab, masalahnya ada di dalam diri, sehingga pola pikirnya yang seharusnya diubah. Daripada nantinya malah perkara mental ini berefek ke orang-orang terdekat. Kita tidak mau kan menyakiti orang yang kita cintai?

Oleh karenanya, memberikan atau membagi pos dana travelling untuk dana pergi ke psikolog ataupun psikiater, bukanlah suatu hal yang salah. Karena jenuh akan terus berulang dan tidak selamanya travelling akan bisa menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memberikan pos dana untuk kesehatan mental, paling tidak untuk pergi ke psikolog secara rutin, misal 6 bulan sekali, 3 bulan sekali, atau sebulan sekali jika benar-benar memerlukannya.

Jadi, teman-teman jangan pernah malu untuk pergi ke psikolog. Semakin banyak kok kawula muda yang pergi ke psikolog dan itu sangat amat normal. Reaching for help is totally normal. Mari mulai merencanakan pos keuangan kita untuk kesehatan mental, bukan hanya kesehatan fisik. Kadang banyak sakit fisik, seperti GERD, atau biasa dikenal dengan nama asam lambung, sesak nafas, atau syaraf seperti kejang-kejang yang ternyata bersumber dari sakit mental. Di dalam jiwa yang sehat ada tubuh yang sehat, dan begitu juga sebaliknya. Mari menyehatkan jiwa kita sendiri! Kalau bukan kita yang menjaga kesehatan mental kita, siapa lagi?

BACA JUGA Nggak Harus Nunggu Gila Untuk Datang Ke Psikolog atau tulisan Risty Khoirunisa lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

 

Exit mobile version