Ini adalah kisah Pak Saryanto, penjual bakpao di Temanggung yang tetap merana meski sudah beralih jualan pizza di bulan puasa.
Bakpao. Beberapa tahun belakangan panganan yang asal muasalnya dari Cina ini naik daun. Penyebabnya apa lagi kalau bukan cara penjualannya yang unik. Di beberapa daerah, bakpao dijual secara berkeliling menggunakan motor, lengkap dengan pengeras suara yang terus menerus memutar jingle untuk memanggil para pembeli.
Di Desa Semen, Kecamatan Wonoboyo, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, jingle bakpao terdengar sangat unik. Lirik “Bakpao hadir dalam keadaan hangat” menguar lantang, memanggil anak-anak yang baru saja selesai mandi sore untuk berlarian mendekat. Awalnya saya merasa ganjil dengan lirik jingle tersebut karena saya lebih familier dengan jingle di Jogja yang mengabsen varian rasa bakpaonya.
Penjual bakpao yang tiap hari berkeliling di Desa Semen sebenarnya bukan berasal dari daerah itu. Pak Saryanto, begitu namanya akrab disebut, berasal dari Jombor, Kecamatan Jumo. Penjual bakpao yang sangat ramah terhadap para pembelinya ini sudah lima tahun menekuni pekerjaannya. Dari Jumo setiap paginya ia harus pergi ke Kalipan, Kecamatan Kedu untuk mengambil dagangan di juragan bakpao.
Daftar Isi
Tempuh jarak puluhan kilometer
Rute yang diambil Pak Saryanto setiap harinya untuk menjajakan bakpaonya memang masih di dalam wilayah Kabupaten Temanggung. Tapi jangan kira bahwa perjalanannya mudah dan lancar.
Setelah mengambil stok bakpao di Kecamatan Kedu, Pak Saryanto akan mulai keliling tepat jam 6 pagi di Kecamatan Bejen, wilayah paling utara Temanggung yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal. Jarak antara Kecamatan Kedu dan Bejen ini mencapai 15 kilometer. Dalam perjalanannya, Pak Saryanto harus berkendara ekstra hati-hati karena kondisi jalan di Temanggung yang berlubang, bergelombang, dan naik-turun dengan ketinggian yang lumayan.
Setelah berkeliling ke sekolah-sekolah dan kampung-kampung di Kecamatan Bejen, Pak Saryanto lanjut berjualan ke Kecamatan Tretep. Inilah kecamatan yang medannya paling ekstrem karena berada di pegunungan dengan jurang di kiri-kanan jalan. Turun dari Kecamatan Tretep, Pak Saryanto juga berkeliling di Kecamatan Wonoboyo dan dilanjut ke Kecamatan Candiroto. Kedua wilayah ini jalannya juga masih naik-turun dan nggak rata.
Sebelum magrib Pak Saryanto sudah harus mengakhiri jualannya. Habis nggak habis beliau harus mengembalikan bakpao yang nggak terjual ke juragan.
Bayangkan saja dengan jarak puluhan kilometer dengan medan yang sangat sulit, Pak Saryanto harus berjualan setiap hari. Jika hujan turun, tantangan yang harus dihadapi oleh beliau jadi makin susah. Bukan hanya jalan menjadi licin, tapi Pak Saryanto terpaksa harus berteduh dan nggak melanjutkan keliling. Memaksa berkeliling hanya akan membuat dagangannya rentan rusak dan belum tentu juga ada pembeli bersedia keluar rumah.
Inilah tantangan yang harus dihadapi para pedagang keliling, tak terkecuali penjual bakpao seperti Pak Saryanto. Hujan turun bikin omzet ikut menurun.
Mengingat Pak Saryanto ambil stok ke juragan, sistem penjualan yang berlaku adalah komisi. Beliau akan dapat komisi persenan per biji.
Sebenanya pendapatan yang diperoleh Pak Saryanto per hari juga nggak sebanyak itu. Dengan harga bakpao Rp2.500 per biji, rata-rata beliau hanya memperoleh Rp50 ribu sampai Rp100 ribu sebagai penghasilan bersih. Tapi ada hari-hari ketika dagangannya laris dan beliau bisa dapat Rp300 ribu. Beliau bisa mendapat lebih seandainya nggak perlu keluar uang pribadi buat beli plastik dan bahan bakar. Soalnya juragannya hanya memberikan fasilitas berupa barang dagangan, motor, dan gerobak.
Saat bulan Ramadan, pabrik produsen bakpao yang dimiliki juragannya akan libur sementara. Kalau nggak libur, produksi akan beralih ke pembuatan pizza mini. Pak Saryanto juga akan mengikuti skema yang ditetapkan juragannya. Kalau pabrik libur, beliau ikut libur jadi penjual bakpao. Kalau pabrik produksi pizza mini, beliau ikut jualan pizza mini.
Coba beralih jualan pizza mini, tapi juga tak menguntungkan
Penjualan pizza mini saat bulan Ramadan nggak begitu menguntungkan kalau dibandingkan dengan bakpao. Walaupun harga pizza yang dijual Rp3.000, pendapatan Pak Saryanto paling banyak hanya Rp100 ribu saat bulan puasa. Hanya sepertiga dari penghasilan tertinggi per harinya saat menjadi penjual bakpao.
Alasannya ada dua. Pertama, waktu keliling jauh lebih singkat. Saat puasa, Pak Saryanto baru mulai keliling jam 3 sore dan harus selesai jam 7 malam. Kedua, nggak banyak orang yang beli pada bulan puasa. Paling pol dagangannya dilarisi oleh ibu-ibu yang mencari takjil.
Pak Saryanto pun merasa bahwa pendapatannya itu ngepas banget dengan kebutuhan keluarganya. Tapi mau bagaimana lagi, Pak Saryanto hanya tetap bisa menjalani pekerjaannya sebagai penjual bakpao karena untuk saat ini hanya profesi itu yang tersedia untuknya. Setiap keliling harapannya hanya satu, cuaca bersahabat dan anak-anak banyak yang membeli bakpao yang dijualnya.
Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Tempat Tinggal Terbaik di Kabupaten Temanggung Adalah Kecamatan Ngadirejo, Bukan Kedu.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.