Pengalaman Naik Bus Bukittinggi-Jakarta Buktikan Hanya 3 Kriteria Ini yang Cocok Jadi Penumpangnya

Pengalaman Naik Bus Bukittinggi-Jakarta Buktikan Hanya 3 Kriteria Ini yang Cocok Jadi Penumpangnya terminal mojok

Naik bus Bukittinggi-Jakarta penuh dengan cobaan hidup!

Beberapa tahun lalu saya berkesempatan melakukan perjalanan darat antara kota Jakarta dan Bukittinggi, Sumatra Barat. Perjalanan santai dengan mobil pribadi itu menghabiskan waktu tempuh lebih dari 30 jam. Imbasnya, saya masih merasakan lelah dan pegal sampai 168 jam berikutnya, alias satu minggu linu-linu!

Jadi, mohon maaf, bukannya sok kaya pengin naik pesawat saja, tapi kalau nggak darurat, sepertinya opsi jalan darat antarpulau ini kudu di-skip. Namun, saya memang nggak bisa menghindari kehadiran bus AKAP ini dalam hidup saya. Buktinya, beberapa waktu lalu saya kembali berhubungan dengannya. Kali ini rute Bukittinggi-Jakarta yang harus saya tempuh. Tentu saja karena terpaksa, Sodara-sodara.

Saat itu, saya harus secepatnya berlabuh di ibu kota negara. Teori “pesawat terbang adalah sarana transportasi tercepat” saat itu gugur setelah mengetahui bahwa di kota tempat tinggal saya, hasil PCR baru keluar 2×24 jam. Ketambahan pula kepotong libur di hari Sabtu dan Minggu, jadi petugas menyarankan saya tes di hari Senin saja, tunggu 2 hari, baru di hari keempat saya bisa beli tiket. Duh!

Akhirnya mau nggak mau, saya pun bermahar dengan salah satu PO bus, BKL namanya. Sebenarnya saya nggak serta-merta kepincut dengan BKL (jujur, baru kenal namanya ya saat itu). Ada beberapa opsi PO bus yang melayani trayek Bukittinggi-Jakarta seperti ANS, NPM, atau MPM. Siapa sangka, saat itu sedang high season-nya bus mania. Tiket bus ke Jakarta cepat sekali sold out. Padahal harganya bisa dibilang sama dengan tiket pesawat rute Padang-Jakarta saat itu, sekitar 500 ribu rupiah. Bedanya, naik pesawat kudu bayar PCR lagi 500 ribuan dan nunggu hasil keluar dua hari, sementara naik bus cuma perlu tes antigen di kisaran 100 ribuan, dan bisa dilakukan saat di perjalanan nanti.

Akhirnya setelah perjuangan sana-sini, saya dapat seat di bus BKL itu. Katanya, sih, dia masih grupnya MPM juga. Harganya pun sama. Ya sudah, buat saya yang penting kursinya (dari foto yang dijapri) nyaman. Satu-satu. Istilah mereka “le-gres”. Entah apa itu, saya manut.

Ketika tiba hari keberangkatan, barulah saya mengerti bahwa istilah “le-gres” yang dimaksud itu adalah “leg rest”, alias kursi nyaman yang ada sandaran khusus untuk kaki. Yaoloh, tolong!

Secara kasat mata, penampakan sang bus sendiri cukup ho’oh, mentereng, dan menguburkan semua keraguan akan ketidaknyamaan. Apalagi sebelumnya saya sudah teracuni oleh penampakan bus-bus AKAP modern di grup-grup WA yang pakai tempat tidur, tingkat, interior ala hotel bintang 5, sampai kursi yang bisa mijet sendiri. Wow banget, deh! Walaupun nggak berharap sehalu itu dengan bus rute ini, tapi ketika melihat penampilannya, saya tidak merasa insecure, kok.

Bus ini berkapasitas 28 seat non-smoking, dan 4 seat smoking. Terbagi dalam dua jalur, masing-masing berisi 2 seat le-gres, eh, leg rest. Seat smoking-nya sendiri terlihat terisolasi di bagian belakang, bergabung dengan kamar mandi ala-ala (maksudnya, sekadar ada kloset duduk, ember penuh air tiga biji, dan dua gantung kamper pewangi). Saya sempat berpikir apakah air tiga ember itu mampu melayani hasrat sekitar 50-an kepala? Eh, ternyata hampir di setiap perhentian sang supir dan kenek melakukan refill ember. Cukuplah untuk sekadar cebok.

Walaupun sepertinya bakalan asyik-asyik saja, perjalanan panjang naik bus Bukittinggi-Jakarta itu akhirnya menyadarkan bahwa saya nggak cocok jadi die hard fans-nya moda transportasi yang satu ini. Bodo amat mau dibilang sok kaya atau nggak mau ngerasain penderitaan kaum marjinal. Karena dari pengalaman tersebut, saya melihat setidaknya ada tiga kriteria calon penumpang yang lebih cocok daripada saya untuk naik bus ini.

#1 Doyan jajan

Klean yang doyan jajan, saran saya, cobalah sesekali travelling dengan moda ini. Bus sering sekali berhenti di tempat-tempat makan. Mulai dari restoran Padang, kedai sate, warung prasmanan, atau sekadar memberi kesempatan pedagang asongan dengan gandulan khasnya, “Kacang, kacang, tarahu, tarahu.” Ternyata, jajanan “tarahu” alias “tahu” khas Sunda ini sudah transmigrasi ke bumi Sumatra juga.

Bahkah ketika naga-naganya bus menolak masuk terminal Kota Solok pun, blio ngetem pas di samping kedai nasi dan gorengan. Meluruskan kaki sambil ngopi dan ngunyah gorengan, jelas merupakan opsi brilian yang tak terbantahkan. Mungkin juga sang sopir punya misi menggemukkan para penumpangnya? Entahlah. Yang jelas, buat yang lagi diet ketat atau penghematan super maksimal, sebaiknya merem saja, deh. Pura-pura tidur adalah sesuatu yang lebih baik dilakukan bila nggak mau tergoda jajan ini-itu.

Saya bukannya anti-jajan. Tapi, saya sudah kadung nyangu segala macam. Dan gembolan sangu itu akhirnya nggak kempes-kempes karena saya pun (tetap) ikutan jajan sepanjang perjalanan. Cilaka!

#2 Nggak masalah di-PHP-in

Ada beberapa hal di mana saya merasa di-PHP-in sama kru armada ini. Pertama, nuansa interior yang cukup nyaman dengan kursi le-gres yang digadang-gadang itu, membuat saya membayangkan nikmatnya duduk manis sambil ngemil, kemulan dan peyuk bantal sepanjang perjalanan. Masalah berikutnya justru di kursi andalan tersebut! Jarak antara bangku depan dan belakang itu ngepas sekali. Apalagi ketika le-gresnya dioperasikan secara maksimal. Mentok pol, Kak!

Belum lagi sebagai emak-emak, pastinya nggak bisa lepas dari ini-itu yang sepertinya perlu dibawa masuk semua ke dalam bus. Mau disimpan di “cabin” ala-ala pesawat terbang itu? Nggak bisa juga. Karena cabin dalam bus ternyata sudah dikapling oleh sederet sound system. Jadi nggak usah protes kalau akhirnya lutut dan betis kudu rela berbagai tempat dengan gembolan makanan dan teman-temannya.

Kedua, lama perjalanan yang katanya 30 jam sampai ibu kota. Jadi, kalau sesuai jadwal bus berangkat jam 9 pagi, maka sampai Jakarta adalah hari berikutnya sekitar jam 3 atau 4 sore. Dengan catatan, jalanan nggak macet dan lancar di lokasi penyebrangan antarpulau.

Yang saya alami, setelah melalui beberapa kota/kabupaten seperti Padang Panjang, Solok, Sawah Lunto, Sijunjung, Lubuk Batu, Dhamasraya, Jambi, Muaro Bungo, Palembang, dan kemudian pelabuhan penyebrangan Bakauheni di Lampung, bus ini akhirnya sukses merapat di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, jam 11 malam. Jadi total perjalanan yang saya tempuh adalah 38 jam (iya, kalian nggak salah baca, tiga-puluh-delapan-jam!). Hei, itu over durasi delapan jam sudah bisa nonton Squid Game full satu musim!

#3 Sabar dan toleransi tingkat dewa

Kalau kalian selama ini merasa jadi orang paling sabar karena tahan diselingkuhi berkali-kali, atau merasa jadi orang paling toleran karena tinggal pas di samping masjid punya sohib dari berbagai suku, ras, agama, dan cebong-kampret, bisa dipastikan bahwa kalian salah besar! Karena di perjalanan naik bus Bukittinggi-Jakarta inilah ujian kesabaran dan toleransi tingkat dewa yang sesungguhnya.

Beberapa kali bus berhenti di pinggir jalan tanpa kita sebagai penumpang tahu apa visi misi serta maksud dan tujuannya. Apakah sang supir pengin buang air? Ah, nggak juga. Apakah mesin bus panas sehingga kudu diistirahatkan sebentar? Sepertinya nggak mungkin karena AC bus selalu menyala dengan embusan yang kencang maksimal. Jadi, buat apa bus sering berhenti? Sampai detik ini pun saya belum nemu jawabannya. Suer!

Yang paling juara adalah ketika bus memasuki Kota Palembang jam setengah delapan pagi. Tiba-tiba, seperti sebelumnya, bus main berhenti saja di pinggir jalan. Ditunggu lima menit, lima belas menit, setengah jam, kok nggak jalan-jalan juga. Kira-kira di menit keempat puluh, sang kenek mengabarkan bahwa di sinilah pengurusan surat tes antigen. Para penumpang diharap turun ke kantor PO bus di ruko seberang jalan untuk menunggu proses selanjutnya. Teruuus, kenapaaa harus nunggu empat puluh menit untuk menyiarkan maklumat itu haaa…?

Dan ternyata, empat jam waktu yang kami perlukan untuk menunggu “surat sakti” tes antigen keluar di kota pempek ini. Sebagai penumpang newbie, yang bisa saya lakukan hanya manut. Nggak berani protes juga karena takut diturunin di pinggir jalan!

Seakan belum puas menguji mental, di perjalanan menuju pelabuhan penyeberangan Bakauheni pun “pengurus” bus kembali woro-woro tentang status penyeberangan nanti. Kapalnya kelas ekonomi, nggak pakai AC, dan waktu tempuh bisa tiga jam. Kalau mau naik feri cepat, masing-masing penumpang ditarik biaya lagi lima belas ribu. Keunggulannya jelas, kapal cepat lebih nyaman, pakai AC, dan satu jam sudah sampai Pelabuhan Merak. Secara badan sudah semakin lelah, saya seperti dihadapkan pada dua pilihan antara bayar tambahan atau masuk UGD?

Sebagian besar penumpang ternyata memilih membayar untuk bisa upgrade ke feri cepat. Eh, ndilalah ada penumpang yang nggak mau. Biarlah pakai feri ekonomi, katanya. Masalahnya, bus kita bukan Optimus Prime yang bisa dibagi dua terus satu naik ekonomi dan yang lainnya naik feri cepat gitu. Ketika ada penumpang yang nggak sepakat, ya secara AD/ART, keputusan batal. Akhirnya, kami yang setuju pun legowo untuk membayari upgrade mereka.

Daaan… kebayang kan betapa bahagianya saya ketika bus akhirnya merapat di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta? Terima kasih lho BKL telah memberikan materi cerita yang seru ke Terminal Mojok cucu-cucu saya nantinya. Apakah suatu saat kita akan ketemu lagi? Monmaap, sepertinya saya sendiri nggak masuk dalam tiga kriteria tersebut.

Sumber Gambar: Unsplash

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version