Sebagai seorang yang empat tahun mengenyam pendidikan tentang ilmu kehidupan alias Biologi, ada banyak sekali pengalaman-pengalaman yang saya dapat. Salah satunya adalah pengalaman mengamati atau dalam bahasa kerennya monitoring hewan yang digandrung-gandrungi oleh Panji Petualang. Apalagi kalau bukan ular.
Ini adalah salah satu pengalaman saya yang tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Menonton secara langsung fisik dari si ular di alam liar adalah salah satu cita-cita saya sejak kecil. Ya walaupun saya pernah menonton ular di kandang kebun binatang. Perasaan saya sudah kadung menggebu-gebu. Terutama setelah melihat si Panji Petualang yang dulu masih di tivi itu beraksi menarik-narik (menari-nari) dengan satwa liar, utamanya ular. Saya jadi kepengin suatu hari nanti entah kapan bisa menemui ular liar layaknya Panji Petualang. Apakah rasanya benar-benar semenyenagkan itu.
Lalu tibalah saat itu. Saya masih ingat ini kejadian pada 2018. Saya dan teman-teman kuliah kebetulan ditugasi untuk mendata keanekaragaman hayati di suatu kabupaten. Istilahnya kalau BPS itu nyensus penduduk yang berupa manusia, nah kita-kita inilah yang menyensus penduduk yang berupa hewan dan tumbuhan. Saya di tim ini kebagian jadi tim yang mendata hewan khususnya burung. Lah malah nyasar ke burung sih, mana ularnya? Sabar, Hyung, tak jelaske dhisek.
Walaupun berada di tim burung saya juga tetap dipasrahi untuk membantu di tim lain soalnya emang sedikit orangnya. Di sinilah saya bisa merasakan yang namanya monitoring ular beneran itu seperti apa. Akhirnya setelah sekian lama impian saya tercapai juga. Bayangan saya langsung ke king kobra. Bagaimana saya nanti bisa melihatnya bahkan memotretnya, kebetulan saya dipasrahi jadi juru kamera, soalnya tidak begitu mengerti soal perularan duniawi. But it’s fine, yang penting saya bisa lihat ular.
Ternyata, dalam kegiatan monitoring ular itu dilakukan mayoritas di malam hari. Tempatnya pun tidak sembarangan yaitu di bantaran kali, wabilkhusus yang banyak pohon bambunya. Demi keselamatan juga wajib memakai boots dan kalau bisa bawa tongkat khusus handling ular. Perasaan saya yang kala mendengar itu kaget. Loh bukannya Panji Petualang dulu syutingnya siang-siang bolong ya, lagian ngapain harus menelusuri kali, perasaan Panji jalan bentar aja dah ketemu tuh king kobra, terus ini kenapa make boot si Panji aja sandal jepitan tidak masalah loh.
Pertanyaan-pertanyaan itu lalu saya tujukan ke teman-teman saya kala itu yang nampaknya sudah sedikit berpengalaman soal beginian. Mereka menjelaskan satu persatu. Ular itu ternyata sebagian besar bersifat nokturnal yakni aktif di malam hari. Kemudian sering dijumpai di dataran rendah yang sekiranya ada aliran airnya semata-mata karena banyak sumber mangsanya seperti kodok, tikus, dan mamalia kecil lain. Ular ternyata juga tidak suka dingin jadi kemungkinan kecil bertemu ular di pegunungan. Lalu mengapa memakai boots? Ya sekadar untuk keamanan, karena di sungai malam-malam kan gelap ya jadi lebih waspada saja takutnya nanti ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Dari jawaban itu saya jadi sedikit tercerahkan. Oh spesifik juga ya kalau kita kepengin ketemu ular, harus di tempat dan jam-jam tertentu. Seketika saya bertanya dalam hati, lalu si Panji Petualang ini dapat ularnya siang-siang dari mana coba? Mana jalan sebentar udah bisa dapet king cobra lagi. Akhirnya berangkatlah kita ke lokasi. Waktu itu menunjuk jam delapan malam, lokasi yang dituju adalah sungai yang ada di pinggir jalan desa setempat. Tak seperti yang dibayangkan, ternyata kalau jalan malam-malam gelap juga ya tanpa penerangan. Suasananya juga sedikit horor karena kanan-kiri ada rimbunan pohon bambu. Sudah begitu juga nyamuknya naudzubillah banyaknya. Saya yang rada penakut ini kok ya malah mikirin hal-hal mistis, jadi makin merinding saya pas mengikuti rombongan ini cari ular.
Teknik yang dipakai untuk mencari ular ini nggak sulit-sulit banget kok. Setibanya di lokasi beberapa orang menyorot saja senter yang sudah dibawa ke arah sungai dan ke ranting-ranting bambu. Sepuluh menit, lima belas menit, setengah jam, satu jam kita hanya berjalan-jalan dengan sabar menyorot lampu senter tak menemukan apa-apa, nihil. Sudah gelap, dingin, merinding, dicokoti nyamuk lalu tidak mendapatkan hasil adalah sebuah kesia-siaan yang sial. Saya lalu mengingat kembali si Panji Petualang, beneran nggak sih acaramu dulu?
Lalu di tengah kebosanan tak dapat apa-apa itu, tiba-tiba dari seberang ada suara-suara memanggil, katanya dia menemukan ular. Seketika kami pun buru-buru mendatanginya, saya pun kembali excited. Setibanya di sana, kami diperlihatkan ular kecil yang berada di ranting pohon. Saya lupa nama jenisnya apa, soalnya pas diperlihatkan itu saya tiba-tiba perasaan saya kecewa. Tau-taunya hanya seekor ular kecil berwarna coklat, tidak berbisa dan tidak menarik yang ditemukan.
Kemudian selang beberapa lama di lokasi yang hampir sama beberapa kawan menyoroti bagian bawah dekat sungai dan menemukan jenis ular yang sampai hari ini tidak akan pernah saya lupakan. Jenisnya dalam bahasa ilmiah saja saya masih ingat, Trimeresurus albolabris yang biasa disebut albo oleh teman-teman. Ular itu dalam bahasa Indonesia bernama viper hijau. Subhanallah, warnanya sungguh aesthetic dibanding ular pertama tadi, hijau mengkilat dengan sedikit warna merah di ujung ekornya. Walaupun berada dekat sungai yang becek warnanya tetap bersih. Nampak matanya yang merah menatap tajam kita yang ramai-ramai menontonnya. Dia diam anteng di batang bambu dekat air.
Saya yang sedari tadi memegang kamera tak menyia-nyiakan kesempatan langka ini untuk mengabadikan si viper ini. Baru beberapa langkah ingin mendekat saya ditarik oleh salah satu teman sambil dibentak, jangan dekat-dekat ini berbahaya berbisa hemotoksin (toksik yang bisa memecah pembuluh darah). Saya aslinya tahu kalau ular ini berbisa, si Panji dulu pernah cerita di tivi soalnya, tapi saya yang kadung kelewat bahagia saat menonton viper ini secara langsung. Bentakan itu yang bikin saya langsung berhenti dan mengurungkan niat mendekat lagi, akhirnya saya foto saja dari situ seada-adanya dan sekenanya. Satu dua kali keclapan flash kamera sudah saya disuruh teman yang lain untuk mundur dan meninggalkan ular itu. Lah ngono tok gumamku. Nggak ada yang mau megang ini ular nih atau menari-nari seperti si Panji. Semua geleng-geleng kepala karena sadar diri takut dan mungkin ilmunya belum cukup untuk handling si ular berbisa ini. Tau gitu saya motonya yang banyak sekalian biar puas, hadehh.
Hasil yang kami dapat malam itu hanya dua jenis itu, tidak lebih. Saya jadi mengerti kegiatan monitoring memang begitu. Perlu kesiapan, ilmu dan kesadaran diri sebelum terjun ke lapangan untuk bertemu dengan si ular. Tak semenarik dan seasik petualangan si Panji yang ujug-ujug dapet ular, ujug-ujug narik-narik ular, dan menari-nari dengannya.
BACA JUGA Reptil dan Tarantula Adalah Pilihan Tepat ketimbang Pelihara Hewan Lain dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.